Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Beda Pendapat soal Kerja Sama Vaksin, Erick-Luhut Bikin Geleng Kepala

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menekankan bahwa pemerintah punya berbagai pertimbangan dalam menentukan vaksin yang akan didistribusikan ke masyarakat. Seperti diketahui, pemerintah saat ini tengah bekerja sama dengan China dalam produksi vaksin Covid-19.

“Kenapa misalnya nanti pemerintah pilih Sinovac, atau Novavax, atau AstraZeneca, itu karena alasan-alasan ini. Kenapa Pfizer dan Moderna belum bisa? Karena memang cold chain-nya yang satu -75 (derajat celsius), yang satu -20 (derajat celsius),” ujar Erick dalam webinar, Selasa (24/11).

Erick mengatakan salah satu faktor vaksin dipilih adalah vaksin tersebut mampu didistribusikan dan disimpan di dalam suhu 2 sampai 8 derajat celsius. 

“Vaksin yang akan dibeli pemerintah juga merupakan vaksin yang cold chain-nya atau distribusinya yang friendly dengan distribusi kita, 2-8 derajat celsius,” ucapnya.

Erick menuturkan, jika Indonesia memilih merek vaksin Covid-19 yang penyimpanan di bawah suhu 2 derajat celsius, maka akan kesulitan dalam pendistribusiannya. Apalagi, persiapan untuk mendistribusikan vaksin waktunya tak banyak.

Dengan demikian, Erick menambahkan, pemerintah akan memilih vaksin yang cocok di Indonesia. Sebab, pendistribusian vaksin harus dilakukan sesegera mungkin.

“Jangan nanti terpikir, bahwa pemerintah beli merek ini (karena) ini berbisinis. Tidak. Jadi, ini yang tentu pemerintah lihat juga, siapa yang bisa men-deliver dengan kuantitas yang kita tentukan,” tuturnya.

Namun, pernyataan berbeda disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut mengatakan, salah satu hasil kunjungannya ke Amerika Serikat (AS) yaitu kelanjutan kerja sama produksi vaksin Covid-19.

Rombongan Luhut telah melakukan pembahasan bersama dengan Wapres AS Mike Pence. 

“Wapres Pence dan saya berbicara hampir 15 menit. Kami bicara menyangkut masalah vaksin dan Amerika,” ujarnya dalam webinar CEO Networking 2020, Selasa (24/11).

Luhut menyebut, dirinya telah melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan Pence mengenai kerja sama vaksin Covid-19. Menurutnya, telah ada kesepakatan antara Pfizer dan PT Biofarma untuk melakukan kerja sama vaksin korona.

Bahkan, kedua belah pihak telah saling berkoordinasi secara virtual dengan Secretary of Health dan Wakil Menteri Budi Sadikin, serta BPOM. 

“Tadi malam kami sudah follow-up lewat video call. Jadi, untuk Pfizer membuat kerja sama dengan Biofarma,” ungkapnya.

Lebih jauh, Luhut mengatakan, pembicaraan mengenai kerja sama produksi vaksin tersebut terus dilakukan. Selain dengan Pfizer, Luhut juga mengatakan mereka mengajak Johnson & Johnson dalam kerja sama ini.

“Kemarin kami bicara sama Wapres Pence dengan vaksin. Semalam Pak Honesti juga ikut. Kami bicara sama Secretary of Health. Kami minta kerja sama produksi Pfizer atau Johnson & Johnson ke Indonesia,” ujarnya dalam sebuah diskusi, Rabu (25/11).

Baca Juga:  Aturan Perjalanan Dalam Negeri dan Menutup Masuknya WNA Diperpanjang

Luhut menjelaskan, Direktur Utama Biofarma Honesti Basyir sudah diminta untuk segera merampungkan kesepakatan kerja sama dengan AS. Dia mengatakan kemungkinan kesepakatan bisa diraih 10 hari ke depan.

“Jadi, kemungkinan kita akan ada dua vaksin, satu dari Tiongkok dan satu dari Amerika Serikat,” ucapnya.

Sementara, hingga saat ini, tim JawaPos.com (Riau Pos Group) belum mendapatkan respons dari pihak Biofarma mengenai hal tersebut.

Sebagai informasi, dalam keterangan KBRI Washington, Luhut bertemu dengan Wakil Presiden AS Mike Pence pada Selasa (17/11). Saat bertemu Pence, Luhut ditawari kerja sama untuk memproduksi vaksin Covid-19.

Pada kesempatan itu, Pence menawarkan kerja sama produksi vaksin yang bisa digarap oleh perusahaan Indonesia dan AS. Hal itu disampaikan langsung kepada Luhut saat berada di kantor Pence.

Sejumlah pengamat mengusulkan beberapa saran untuk pemerintah. Pada intinya, pemerintah diminta mempertimbangkan kembali keuntungan dan kendalanya dalam membeli vaksin Pfizer yang diklaim manjur hingga 95 persen.

Pakar Kesehatan dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dr. Hermawan Saputra menilai pemerintah harus mempertimbangkan dan hati-hati dalam membeli vaksin Pfizer. Salah satunya karena uji klinis vaksin tersebut tidak dilakukan di Indonesia.

“Pertama tentang pfizer ini kita sangat harus hati-hati ya, karena pertama clinical trial mereka tak dilakukan di Indonesia. Efikasi mereka walaupun 95 persen tetapi itu lebih ke menurunkan gejalanya, belum kita tahu reaksi alergi atau dampak lanjutan atau dampak ikutan bila terjadi ketidaksesuaian dari dampak injeksi vaksin,” tegasnya kepada JawaPos.com, Rabu (25/11).

Selain itu, kata dr. Hermawan, ada support system yang memang agak berbeda antara Amerika Serikat dan Indonesia. Sebab hal itu terkait dengan rantai pendingin atau cold chain untuk penyimpanan vaksin.

“Suhu derajat penyimpanan vaksin itu berbeda, dan itu sangat berpengaruh sekali terhadap cost atau biaya,” ujarnya.

Menurutnya, akan sulit mewujudkan vaksinasi dengan vaksin Pfizer jika ingin mengejar awal tahun 2021. Sebab di AS saja baru akan dilakukan vaksinasi pada kuartal I 2021.

“Waktunya tak mungkin diadakan di awal Januari kalaupun memang memaksa kerja sama dengan Pfizer. Di AS sendiri baru pada akhir kuartal I, atau paling cepat di akhir April atau malah di awal kuartal II,” jelasnya.

Baca Juga:  Cek Kesehatan

Dia menilai lebih baik lanjutkan kerja sama dengan Sinovac dan Sinopharm dengan CanSino. Atau mendorong penuh pada tim peneliti vaksin Merah Putih agar segera selesai uji klinisnya.

“Jadi, memang itu poinnya, tentu Pfizer agak sulit diharapkan ya. Kalau mau fokus lanjutkan kerja sama Sinovac dengan Biofarma atau bahkan vaksin Merah Putih yang didorong untuk dipercepat dan di-support habis-habisan.

“Karena di samping harus penuhi standar WHO atau global regulatory, juga ada review and approval yang sifatnya internal Indonesia, butuh proses,” katanya.

Hal senada diungkapkan Epidemiolog dan Pakar Kesehatan dari Fakuktas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko Wahyono. Menurutnya setiap vaksin ada keunggulannya, namun ada kelemahannya. Kelebihan vaksin Pfizer selain manjur 95 persen, bisa disuntikkan pada anak kecil, tapi penyimpanannya susah yakni harus di kulkas dengan suhu di bawah minus 2.

“Jadi, menurut saya, harus sesuaikan dengan apa yang kita bisa. Jangan beli mahal ditambah lagi kita harus menambah mahal lagi dengan beli cold chain di puskesmas, kita punya sistem. Walaupun Pfizer efektivitasnya lebih bagus, misalnya efek sampingnya lebih bagus ya kita harus take a risk dengan sistem yang ada di Indonesia,” jelasnya.

Menurut Tri Yunis, karena biaya untuk membeli vaksin Pfizer cukup besar untuk pengadaan cold chain, lebih baik dipertimbangkan ulang. “Kalau kita negara kaya enggak apa-apa beli semua aja. Kalau kaya ya, enggak jadi masalah,” tukasnya.

Minimnya Cold Chain

Belum seluruh kabupaten di Indonesia punya cold chain yang mumpuni. “Kalau dari 514 kabupaten, saya yakin cuma 200an kabupaten yang punya. Lalu nanti operasionalnya juga susah sampai puskesmas gimana dan sistem kita sudah berjalan,” katanya.

“Menurut saya sih harus dipertimbangkan (beli vaksin Pfizer) itu juga, kecuali kita kaya ya. Kita kaya beli apa aja boleh,” ungkapnya.

Menurut Tri Yunus, mestinya Luhut menjajaki skema business to business terlebih dahulu. Tidak langsung government to government.

“Namun kalau memang mau tetap beli Pfizer, mungkin untuk anak-anak kalau masih membutuhkan vaksin silakan. Karena kan yang Sinovac, Sinopharm, dan CanSino untuk anak di bawah 18 enggak disuntik. Nah kalau mau selamatkan bangsa ini, kalau mau disuntikkan pakai Johnson and Johnson paling tidak, atau Pfizer. Atau kalau mau, menunggu vaksin Merah Putih,” tuturnya.

Sumber: JawaPos.co
Editor: M Ali Nurman

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menekankan bahwa pemerintah punya berbagai pertimbangan dalam menentukan vaksin yang akan didistribusikan ke masyarakat. Seperti diketahui, pemerintah saat ini tengah bekerja sama dengan China dalam produksi vaksin Covid-19.

“Kenapa misalnya nanti pemerintah pilih Sinovac, atau Novavax, atau AstraZeneca, itu karena alasan-alasan ini. Kenapa Pfizer dan Moderna belum bisa? Karena memang cold chain-nya yang satu -75 (derajat celsius), yang satu -20 (derajat celsius),” ujar Erick dalam webinar, Selasa (24/11).

- Advertisement -

Erick mengatakan salah satu faktor vaksin dipilih adalah vaksin tersebut mampu didistribusikan dan disimpan di dalam suhu 2 sampai 8 derajat celsius. 

“Vaksin yang akan dibeli pemerintah juga merupakan vaksin yang cold chain-nya atau distribusinya yang friendly dengan distribusi kita, 2-8 derajat celsius,” ucapnya.

- Advertisement -

Erick menuturkan, jika Indonesia memilih merek vaksin Covid-19 yang penyimpanan di bawah suhu 2 derajat celsius, maka akan kesulitan dalam pendistribusiannya. Apalagi, persiapan untuk mendistribusikan vaksin waktunya tak banyak.

Dengan demikian, Erick menambahkan, pemerintah akan memilih vaksin yang cocok di Indonesia. Sebab, pendistribusian vaksin harus dilakukan sesegera mungkin.

“Jangan nanti terpikir, bahwa pemerintah beli merek ini (karena) ini berbisinis. Tidak. Jadi, ini yang tentu pemerintah lihat juga, siapa yang bisa men-deliver dengan kuantitas yang kita tentukan,” tuturnya.

Namun, pernyataan berbeda disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut mengatakan, salah satu hasil kunjungannya ke Amerika Serikat (AS) yaitu kelanjutan kerja sama produksi vaksin Covid-19.

Rombongan Luhut telah melakukan pembahasan bersama dengan Wapres AS Mike Pence. 

“Wapres Pence dan saya berbicara hampir 15 menit. Kami bicara menyangkut masalah vaksin dan Amerika,” ujarnya dalam webinar CEO Networking 2020, Selasa (24/11).

Luhut menyebut, dirinya telah melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan Pence mengenai kerja sama vaksin Covid-19. Menurutnya, telah ada kesepakatan antara Pfizer dan PT Biofarma untuk melakukan kerja sama vaksin korona.

Bahkan, kedua belah pihak telah saling berkoordinasi secara virtual dengan Secretary of Health dan Wakil Menteri Budi Sadikin, serta BPOM. 

“Tadi malam kami sudah follow-up lewat video call. Jadi, untuk Pfizer membuat kerja sama dengan Biofarma,” ungkapnya.

Lebih jauh, Luhut mengatakan, pembicaraan mengenai kerja sama produksi vaksin tersebut terus dilakukan. Selain dengan Pfizer, Luhut juga mengatakan mereka mengajak Johnson & Johnson dalam kerja sama ini.

“Kemarin kami bicara sama Wapres Pence dengan vaksin. Semalam Pak Honesti juga ikut. Kami bicara sama Secretary of Health. Kami minta kerja sama produksi Pfizer atau Johnson & Johnson ke Indonesia,” ujarnya dalam sebuah diskusi, Rabu (25/11).

Baca Juga:  Kekayaan Hayati Indonesia Jadi Sumber Pangan dan Kesehatan Dunia

Luhut menjelaskan, Direktur Utama Biofarma Honesti Basyir sudah diminta untuk segera merampungkan kesepakatan kerja sama dengan AS. Dia mengatakan kemungkinan kesepakatan bisa diraih 10 hari ke depan.

“Jadi, kemungkinan kita akan ada dua vaksin, satu dari Tiongkok dan satu dari Amerika Serikat,” ucapnya.

Sementara, hingga saat ini, tim JawaPos.com (Riau Pos Group) belum mendapatkan respons dari pihak Biofarma mengenai hal tersebut.

Sebagai informasi, dalam keterangan KBRI Washington, Luhut bertemu dengan Wakil Presiden AS Mike Pence pada Selasa (17/11). Saat bertemu Pence, Luhut ditawari kerja sama untuk memproduksi vaksin Covid-19.

Pada kesempatan itu, Pence menawarkan kerja sama produksi vaksin yang bisa digarap oleh perusahaan Indonesia dan AS. Hal itu disampaikan langsung kepada Luhut saat berada di kantor Pence.

Sejumlah pengamat mengusulkan beberapa saran untuk pemerintah. Pada intinya, pemerintah diminta mempertimbangkan kembali keuntungan dan kendalanya dalam membeli vaksin Pfizer yang diklaim manjur hingga 95 persen.

Pakar Kesehatan dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dr. Hermawan Saputra menilai pemerintah harus mempertimbangkan dan hati-hati dalam membeli vaksin Pfizer. Salah satunya karena uji klinis vaksin tersebut tidak dilakukan di Indonesia.

“Pertama tentang pfizer ini kita sangat harus hati-hati ya, karena pertama clinical trial mereka tak dilakukan di Indonesia. Efikasi mereka walaupun 95 persen tetapi itu lebih ke menurunkan gejalanya, belum kita tahu reaksi alergi atau dampak lanjutan atau dampak ikutan bila terjadi ketidaksesuaian dari dampak injeksi vaksin,” tegasnya kepada JawaPos.com, Rabu (25/11).

Selain itu, kata dr. Hermawan, ada support system yang memang agak berbeda antara Amerika Serikat dan Indonesia. Sebab hal itu terkait dengan rantai pendingin atau cold chain untuk penyimpanan vaksin.

“Suhu derajat penyimpanan vaksin itu berbeda, dan itu sangat berpengaruh sekali terhadap cost atau biaya,” ujarnya.

Menurutnya, akan sulit mewujudkan vaksinasi dengan vaksin Pfizer jika ingin mengejar awal tahun 2021. Sebab di AS saja baru akan dilakukan vaksinasi pada kuartal I 2021.

“Waktunya tak mungkin diadakan di awal Januari kalaupun memang memaksa kerja sama dengan Pfizer. Di AS sendiri baru pada akhir kuartal I, atau paling cepat di akhir April atau malah di awal kuartal II,” jelasnya.

Baca Juga:  Waduh…Diduga Hilangkan Barang Bukti, 7 Personel Satresnarkoba Diperiksa Propam

Dia menilai lebih baik lanjutkan kerja sama dengan Sinovac dan Sinopharm dengan CanSino. Atau mendorong penuh pada tim peneliti vaksin Merah Putih agar segera selesai uji klinisnya.

“Jadi, memang itu poinnya, tentu Pfizer agak sulit diharapkan ya. Kalau mau fokus lanjutkan kerja sama Sinovac dengan Biofarma atau bahkan vaksin Merah Putih yang didorong untuk dipercepat dan di-support habis-habisan.

“Karena di samping harus penuhi standar WHO atau global regulatory, juga ada review and approval yang sifatnya internal Indonesia, butuh proses,” katanya.

Hal senada diungkapkan Epidemiolog dan Pakar Kesehatan dari Fakuktas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko Wahyono. Menurutnya setiap vaksin ada keunggulannya, namun ada kelemahannya. Kelebihan vaksin Pfizer selain manjur 95 persen, bisa disuntikkan pada anak kecil, tapi penyimpanannya susah yakni harus di kulkas dengan suhu di bawah minus 2.

“Jadi, menurut saya, harus sesuaikan dengan apa yang kita bisa. Jangan beli mahal ditambah lagi kita harus menambah mahal lagi dengan beli cold chain di puskesmas, kita punya sistem. Walaupun Pfizer efektivitasnya lebih bagus, misalnya efek sampingnya lebih bagus ya kita harus take a risk dengan sistem yang ada di Indonesia,” jelasnya.

Menurut Tri Yunis, karena biaya untuk membeli vaksin Pfizer cukup besar untuk pengadaan cold chain, lebih baik dipertimbangkan ulang. “Kalau kita negara kaya enggak apa-apa beli semua aja. Kalau kaya ya, enggak jadi masalah,” tukasnya.

Minimnya Cold Chain

Belum seluruh kabupaten di Indonesia punya cold chain yang mumpuni. “Kalau dari 514 kabupaten, saya yakin cuma 200an kabupaten yang punya. Lalu nanti operasionalnya juga susah sampai puskesmas gimana dan sistem kita sudah berjalan,” katanya.

“Menurut saya sih harus dipertimbangkan (beli vaksin Pfizer) itu juga, kecuali kita kaya ya. Kita kaya beli apa aja boleh,” ungkapnya.

Menurut Tri Yunus, mestinya Luhut menjajaki skema business to business terlebih dahulu. Tidak langsung government to government.

“Namun kalau memang mau tetap beli Pfizer, mungkin untuk anak-anak kalau masih membutuhkan vaksin silakan. Karena kan yang Sinovac, Sinopharm, dan CanSino untuk anak di bawah 18 enggak disuntik. Nah kalau mau selamatkan bangsa ini, kalau mau disuntikkan pakai Johnson and Johnson paling tidak, atau Pfizer. Atau kalau mau, menunggu vaksin Merah Putih,” tuturnya.

Sumber: JawaPos.co
Editor: M Ali Nurman

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari