Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Gunakan Barang Bekas tanpa Khawatir Terpapar Covid-19

Ada sekitar seribu pemulung yang memungut sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Muara Fajar. Mereka tidak menerapkan protokol kesehatan (prokes). Tidak pakai masker, tidak cuci tangan. Jaga jarak kadang ada kadang tidak. Padahal sampah adalah sumber penyakit, dari sejumlah bakteri dan virus berbahaya. Termasuk virus ganas Covid-19. Kebalkah mereka?

Laporan SOFIAH, Pekanbaru

AROMA busuk dari gunungan sampah di TPA Muara Fajar, Rumbai, Pekanbaru itu seakan tidak tercium sedikit pun di hidung Fati Eli Ulu (26). Dia santai saja memungut barang bekas di sana, Selasa (19/1) lalu. Masih banyak barang bekas yang bisa dijual kembali dan dijadikan uang. Tanpa menghiraukan bau yang menyengat, juga berbagai bakteri dan virus, dia sangat santai memungut barang bekas. Tanpa sarung tangan, tanpa masker. Kadang bergerombol juga, tanpa jaga jarak.

Tidak hanya laki-laki dan perempuan dewasa, terlihat juga remaja dan anak-anak. Mereka turut serta mengambil sampah di TPA ini. Tenda-tenda juga terlihat di balik gunungan sampah. Saat panas terik, dia dan beberapa rekannya berlindung di balik tenda yang dibuat seadanya dari barang bekas juga.

Lae, pemulung lainnya pun juga demikian. Hari itu dia mengenakan pakaian dan sepatu bot. Keduanya tidak dibeli, tapi hasil dipungut dari TPA. Menurutnya pakaian dan sepatu bot itu masih bagus dan ketika dicuci masih terlihat baru. Apakah tidak takut terkontaminasi bakteri, termasuk virus Covid-19?

"Tidak," katanya, Selasa (19/2).

Lae sama sekali tidak merasa khawatir. Bahkan dia berani menggunakan barang-barang bekas itu. "Ini baju yang saya pakai dan sepatu bot yang saya pakai dapat di sini. Jarang kali saya beli baju," kata Lae.

Kenyataannya memang para pemulung ini jarang sakit. Tidak ada juga klaster pemulung TPA Covid-19. Mereka seakan kebal. Padahal mereka memungut dan tak jarang memakai barang-barang bekas yang mungkin saja pernah digunakan orang-orang yang terpapar Covid-19. Mereka berhadapan langsung dengan sisa barang yang mungkin pernah digunakan penderita Covid-19 yang tidak dirawat di rumah sakit, alias pasien dengan status orang tanpa gejala (OTG).

Lae pun masih sering menemukan masker sekali pakai. Bahkan jumlahnya sangat banyak. Masker kain bekas juga sering ditemukan. Pakaian bekas, sepatu bot, jas hujan juga biasa ditemukan. Kadang juga face shield bekas. Sebagai catatan, tidak semua fasilitas kesehatan menggunakan hazmat standar. Apalagi di era awal pandemi dimulai. Banyak petugas yang menggunakan jas hujan biasa. Jas hujan bekas itu bisa saja berakhir di TPA ini.

"Kalau masker sekali pakai memang kami sering jumpa. Apalagi kalau truk itu baru datang buang sampah," sebut pria ini.

Diceritakannya, dia sudah memulung barang bekas selama tiga tahun. Pria yang memiliki dua anak itu sudah masuk "jam kantor" di TPA Muara Fajar dari pukul 08.00 WIB. Dia biasa bertugas di "kantornya" ini hingga petang, dan baru pulang pukul 17.00 WIB.

Baca Juga:  Massa Aksi Tolak Omnibus Law Terlibat Saling Dorong di DPRD Riau

"Seringnya pulang malam jam 11 (pukul 23.00 WIB, red)," ujarnya.

Menurutnya, hasil sampah bekas cukup menjanjikan. Sehingga, meski itu pekerjaan kotor namun tetap dilakoni. Ia pun tak malu selagi pekerjaan itu halal. Bahkan, sudah hal biasa bagi pria berdarah Nias itu.

"Dominan yang mungut sampah di sini orang Nias sama Batak. Kalau Jawa paling satu dua, apalagi Minang hampir tidak ada kurasa. Yang mulung di sini mencapai seribuan orang," ujarnya.

Barang apa saja yang bisa diambil? Ternyata, sampah yang berada di TPA Muara Fajar itu dapat diuangkan semua. Tak sedikit pemulung menggunakan kembali barang bekas yang dinilainya masih layak pakai. Termasuk dirinya yang kerap menggunakan baju, celana, jaket, jas hujan, hingga sepatu dan bot.

"Kadang ada pakaian bekas, sepatu bekas, ataupun jas hujan yang masih layak pakai," katanya.

Dia sendiri mengambil sampah bekas dengan tangan terbuka. Jarang sekali menggunakan pengait ataupun sarung tangan. Tanpa masker juga. Apalagi, lama kelamaan, bau khas sampah seakan hilang setelah beberapa lama berada di lokasi itu. Tentu tidak begitu juga dengan virus dan bakteri yang menempel pada barang-barang bekas itu.

Diceritakannya, dalam sehari ia bisa mengumpulkan 70 kg sampah dan bisa meraup Rp250 ribu. Tentu sangat besar untuk ukuran sekarang. Apalagi dia sempat bekerja di pabrik pembuatan batu bata yang penghasilannya tidak seberapa.

"Kalau kerjaan orang tuanya kayak gini, aku berharap anakku tidak seperti ini kerjanya. Makanya aku harus kerja keras," ujarnya.

Agar sampah yang dipungutnya bisa berharga mahal, maka dia harus melakukan beberapa hal. Di antaranya, dia harus memilah dan membersihkannya terlebih dahulu sebelum dijual ke pengepul. Para pengepul ini ternyata sangat teliti dan hanya akan membeli barang yang sudah dibersihkan saja. Misalnya, untuk sampah jenis bening (botol). Jika sudah dibersihkan bisa seharga Rp8 ribu per kilogram. Sementara, untuk jenis bw atau berwarna dihargai Rp2.500 per kilogram. Ada juga sampah plastik kresek. Meski kotor sekali pun, ternyata masih bisa diuangkan. Namun, karena harganya murah, Rp300 rupiah per kilogram, maka jarang sekali pemulung mengambilnya. Namun, tak bisa dipungkiri, dia menyebut, untuk mendapat Rp100 ribu dari plastik kresek dalam sehari itu bisa-bisa saja.

Di waktu yang sama, tampak pemulung lain juga mengambil barang bekas sisa masyarakat dengan tangan terbuka. Dengan keadaan jongkok, ia pun memilah-milah sampah yang dianggap berharga. Pria itu tidak hanya membawa satu karung goni. Namun, bisa membawa tiga hingga lima karung goni. Terkadang, ia jual langsung kepada pengepul di sana jika terdesak. Sebab, harga di lokasi lebih murah, hanya Rp2 ribu.

Baca Juga:  Sutiyoso: Pemindahan Ibu Kota Kurangi Beban Jakarta

Tak Berubah sejak Pandemi
Pandemi Covid-19 ternyata tidak mengubah cara kerja para pemulung di area TPA Muara Fajar di Jalan Ikan Raya, Kelurahan Muara Fajar, Kecamatan Rumbai, Pekanbaru. Mereka tetap ramai, sama sebelum pandemi Covid-19. Beberapa kali petugas memang datang ke lokasi ini. Ada juga untuk sosialisasi bahaya Covid-19. Tapi itu tak mengubah apa-apa atau mengurangi aktivitas pemulung di sana. Keterangan yang berhasil dihimpun Riau Pos, beberapa petugas kepolisian baru saja mendatangi TPA Muara Fajar. Tapi bukan untuk tujuan sosialisasi bahaya Covid-19, melainkan untuk meminta keterangan terkait sampah yang kini belum terangkut ke TPA ini. Sampah masih menggunung di seantero Pekanbaru tanpa terkendali.

Di TPA Muara Fajar terdapat dua lokasi. TPA Muara Fajar I hanya berfungsi menimbang saja. Hal itu lantaran di TPA yang kedua timbangan tidak dapat berfungsi. Sejak sampah tidak terkendali, dan masih menumpuk di perkotaan, sehari hanya bisa diangkut ke TPA ini sebanyak 10 truk. Satu truk rata-rata bermuatan empat ton. Padahal biasanya sehari bisa diangkut hingga 60 truk. Artinya memang masih banyak sekali sampah yang belum terangkut ke TPA ini.

"Sudah sekitar tiga tahun hanya digunakan untuk menimbang. Dari siang sampai sore baru 10 mobil," sebut Operator Timbangan TPA I Muara Fajar Risma Yeti alias Iyet.

Menurut perempuan yang sudah 12 tahun kerja itu, usai melakukan timbangan dan mendapat print, truk bergerak ke TPA baru. Itulah yang disebut TPA II. Di sanalah para pemulung beraksi karena sampah dibuang ke sana setelah ditimbang di TPA I Muara Fajar.

Selain jadi tempat penimbangan, di TPA Muara Fajar I terdapat juga olahan sampah yang bisa digunakan untuk kompos. Letaknya sebelah kiri dari pintu masuk. Namun, pekerja hanya bekerja setengah hari. Mandor DLHK Nanang menyebutkan, luas TPA Muara Fajar sekitar 4,8 hektare. TPA ini dibuka pukul 07.00 WIB – 23.00 WIB. Artinya berkisar 15 jam. Ditanyakan ada tidaknya ditemukan sampah medis, pria itu menjawab tidak.

"Di sini tidak ada sampah medis. Itu dibawa ke Minas," katanya.

Lalu bagaimana jika ditemukan adanya mobil yang membawa sampah medis? Nanang menjawab tidak membolehkannya dan menyetop mobil itu. "Tidak boleh dan kami stop untuk tidak di sini," ujarnya.

Di lokasi TPA Muara Fajar II terdapat tiga ekskavator. Namun, saat Riau Pos di sana kondisinya mangkrak. Begitu juga dengan letak timbangan sampah yang menjorok ke dalam, terlihat tak berfungsi. Nanang menyebut, ekskavator memang sedang dalam keadaan rusak. "Itu rusaknya hari ini aja kok. Baru tadi pagi tidak berfungsi," kilahnya.(muh)

 

Ada sekitar seribu pemulung yang memungut sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Muara Fajar. Mereka tidak menerapkan protokol kesehatan (prokes). Tidak pakai masker, tidak cuci tangan. Jaga jarak kadang ada kadang tidak. Padahal sampah adalah sumber penyakit, dari sejumlah bakteri dan virus berbahaya. Termasuk virus ganas Covid-19. Kebalkah mereka?

Laporan SOFIAH, Pekanbaru

- Advertisement -

AROMA busuk dari gunungan sampah di TPA Muara Fajar, Rumbai, Pekanbaru itu seakan tidak tercium sedikit pun di hidung Fati Eli Ulu (26). Dia santai saja memungut barang bekas di sana, Selasa (19/1) lalu. Masih banyak barang bekas yang bisa dijual kembali dan dijadikan uang. Tanpa menghiraukan bau yang menyengat, juga berbagai bakteri dan virus, dia sangat santai memungut barang bekas. Tanpa sarung tangan, tanpa masker. Kadang bergerombol juga, tanpa jaga jarak.

Tidak hanya laki-laki dan perempuan dewasa, terlihat juga remaja dan anak-anak. Mereka turut serta mengambil sampah di TPA ini. Tenda-tenda juga terlihat di balik gunungan sampah. Saat panas terik, dia dan beberapa rekannya berlindung di balik tenda yang dibuat seadanya dari barang bekas juga.

- Advertisement -

Lae, pemulung lainnya pun juga demikian. Hari itu dia mengenakan pakaian dan sepatu bot. Keduanya tidak dibeli, tapi hasil dipungut dari TPA. Menurutnya pakaian dan sepatu bot itu masih bagus dan ketika dicuci masih terlihat baru. Apakah tidak takut terkontaminasi bakteri, termasuk virus Covid-19?

"Tidak," katanya, Selasa (19/2).

Lae sama sekali tidak merasa khawatir. Bahkan dia berani menggunakan barang-barang bekas itu. "Ini baju yang saya pakai dan sepatu bot yang saya pakai dapat di sini. Jarang kali saya beli baju," kata Lae.

Kenyataannya memang para pemulung ini jarang sakit. Tidak ada juga klaster pemulung TPA Covid-19. Mereka seakan kebal. Padahal mereka memungut dan tak jarang memakai barang-barang bekas yang mungkin saja pernah digunakan orang-orang yang terpapar Covid-19. Mereka berhadapan langsung dengan sisa barang yang mungkin pernah digunakan penderita Covid-19 yang tidak dirawat di rumah sakit, alias pasien dengan status orang tanpa gejala (OTG).

Lae pun masih sering menemukan masker sekali pakai. Bahkan jumlahnya sangat banyak. Masker kain bekas juga sering ditemukan. Pakaian bekas, sepatu bot, jas hujan juga biasa ditemukan. Kadang juga face shield bekas. Sebagai catatan, tidak semua fasilitas kesehatan menggunakan hazmat standar. Apalagi di era awal pandemi dimulai. Banyak petugas yang menggunakan jas hujan biasa. Jas hujan bekas itu bisa saja berakhir di TPA ini.

"Kalau masker sekali pakai memang kami sering jumpa. Apalagi kalau truk itu baru datang buang sampah," sebut pria ini.

Diceritakannya, dia sudah memulung barang bekas selama tiga tahun. Pria yang memiliki dua anak itu sudah masuk "jam kantor" di TPA Muara Fajar dari pukul 08.00 WIB. Dia biasa bertugas di "kantornya" ini hingga petang, dan baru pulang pukul 17.00 WIB.

Baca Juga:  Pemakaman Buya Syafii Maarif Berlangsung Khidmat

"Seringnya pulang malam jam 11 (pukul 23.00 WIB, red)," ujarnya.

Menurutnya, hasil sampah bekas cukup menjanjikan. Sehingga, meski itu pekerjaan kotor namun tetap dilakoni. Ia pun tak malu selagi pekerjaan itu halal. Bahkan, sudah hal biasa bagi pria berdarah Nias itu.

"Dominan yang mungut sampah di sini orang Nias sama Batak. Kalau Jawa paling satu dua, apalagi Minang hampir tidak ada kurasa. Yang mulung di sini mencapai seribuan orang," ujarnya.

Barang apa saja yang bisa diambil? Ternyata, sampah yang berada di TPA Muara Fajar itu dapat diuangkan semua. Tak sedikit pemulung menggunakan kembali barang bekas yang dinilainya masih layak pakai. Termasuk dirinya yang kerap menggunakan baju, celana, jaket, jas hujan, hingga sepatu dan bot.

"Kadang ada pakaian bekas, sepatu bekas, ataupun jas hujan yang masih layak pakai," katanya.

Dia sendiri mengambil sampah bekas dengan tangan terbuka. Jarang sekali menggunakan pengait ataupun sarung tangan. Tanpa masker juga. Apalagi, lama kelamaan, bau khas sampah seakan hilang setelah beberapa lama berada di lokasi itu. Tentu tidak begitu juga dengan virus dan bakteri yang menempel pada barang-barang bekas itu.

Diceritakannya, dalam sehari ia bisa mengumpulkan 70 kg sampah dan bisa meraup Rp250 ribu. Tentu sangat besar untuk ukuran sekarang. Apalagi dia sempat bekerja di pabrik pembuatan batu bata yang penghasilannya tidak seberapa.

"Kalau kerjaan orang tuanya kayak gini, aku berharap anakku tidak seperti ini kerjanya. Makanya aku harus kerja keras," ujarnya.

Agar sampah yang dipungutnya bisa berharga mahal, maka dia harus melakukan beberapa hal. Di antaranya, dia harus memilah dan membersihkannya terlebih dahulu sebelum dijual ke pengepul. Para pengepul ini ternyata sangat teliti dan hanya akan membeli barang yang sudah dibersihkan saja. Misalnya, untuk sampah jenis bening (botol). Jika sudah dibersihkan bisa seharga Rp8 ribu per kilogram. Sementara, untuk jenis bw atau berwarna dihargai Rp2.500 per kilogram. Ada juga sampah plastik kresek. Meski kotor sekali pun, ternyata masih bisa diuangkan. Namun, karena harganya murah, Rp300 rupiah per kilogram, maka jarang sekali pemulung mengambilnya. Namun, tak bisa dipungkiri, dia menyebut, untuk mendapat Rp100 ribu dari plastik kresek dalam sehari itu bisa-bisa saja.

Di waktu yang sama, tampak pemulung lain juga mengambil barang bekas sisa masyarakat dengan tangan terbuka. Dengan keadaan jongkok, ia pun memilah-milah sampah yang dianggap berharga. Pria itu tidak hanya membawa satu karung goni. Namun, bisa membawa tiga hingga lima karung goni. Terkadang, ia jual langsung kepada pengepul di sana jika terdesak. Sebab, harga di lokasi lebih murah, hanya Rp2 ribu.

Baca Juga:  Koalisi Save KPK Siap Tarung di MK

Tak Berubah sejak Pandemi
Pandemi Covid-19 ternyata tidak mengubah cara kerja para pemulung di area TPA Muara Fajar di Jalan Ikan Raya, Kelurahan Muara Fajar, Kecamatan Rumbai, Pekanbaru. Mereka tetap ramai, sama sebelum pandemi Covid-19. Beberapa kali petugas memang datang ke lokasi ini. Ada juga untuk sosialisasi bahaya Covid-19. Tapi itu tak mengubah apa-apa atau mengurangi aktivitas pemulung di sana. Keterangan yang berhasil dihimpun Riau Pos, beberapa petugas kepolisian baru saja mendatangi TPA Muara Fajar. Tapi bukan untuk tujuan sosialisasi bahaya Covid-19, melainkan untuk meminta keterangan terkait sampah yang kini belum terangkut ke TPA ini. Sampah masih menggunung di seantero Pekanbaru tanpa terkendali.

Di TPA Muara Fajar terdapat dua lokasi. TPA Muara Fajar I hanya berfungsi menimbang saja. Hal itu lantaran di TPA yang kedua timbangan tidak dapat berfungsi. Sejak sampah tidak terkendali, dan masih menumpuk di perkotaan, sehari hanya bisa diangkut ke TPA ini sebanyak 10 truk. Satu truk rata-rata bermuatan empat ton. Padahal biasanya sehari bisa diangkut hingga 60 truk. Artinya memang masih banyak sekali sampah yang belum terangkut ke TPA ini.

"Sudah sekitar tiga tahun hanya digunakan untuk menimbang. Dari siang sampai sore baru 10 mobil," sebut Operator Timbangan TPA I Muara Fajar Risma Yeti alias Iyet.

Menurut perempuan yang sudah 12 tahun kerja itu, usai melakukan timbangan dan mendapat print, truk bergerak ke TPA baru. Itulah yang disebut TPA II. Di sanalah para pemulung beraksi karena sampah dibuang ke sana setelah ditimbang di TPA I Muara Fajar.

Selain jadi tempat penimbangan, di TPA Muara Fajar I terdapat juga olahan sampah yang bisa digunakan untuk kompos. Letaknya sebelah kiri dari pintu masuk. Namun, pekerja hanya bekerja setengah hari. Mandor DLHK Nanang menyebutkan, luas TPA Muara Fajar sekitar 4,8 hektare. TPA ini dibuka pukul 07.00 WIB – 23.00 WIB. Artinya berkisar 15 jam. Ditanyakan ada tidaknya ditemukan sampah medis, pria itu menjawab tidak.

"Di sini tidak ada sampah medis. Itu dibawa ke Minas," katanya.

Lalu bagaimana jika ditemukan adanya mobil yang membawa sampah medis? Nanang menjawab tidak membolehkannya dan menyetop mobil itu. "Tidak boleh dan kami stop untuk tidak di sini," ujarnya.

Di lokasi TPA Muara Fajar II terdapat tiga ekskavator. Namun, saat Riau Pos di sana kondisinya mangkrak. Begitu juga dengan letak timbangan sampah yang menjorok ke dalam, terlihat tak berfungsi. Nanang menyebut, ekskavator memang sedang dalam keadaan rusak. "Itu rusaknya hari ini aja kok. Baru tadi pagi tidak berfungsi," kilahnya.(muh)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari