JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Harapan para penderita cerebral palsy untuk mendapatkan akses ganja guna pengobatan harus tertunda. Sebab, dalam Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan, Rabu (20/7), MK (Mahkamah Konstitusi) menolak permohonan legalisasi ganja medis.
Gugatan tersebut diajukan oleh tiga ibu dari anak penderita cerebral palsy. Yakni Dwi Pertiwi, Nafiah Murhayanti, dan Santi Warastuti. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim MK Daniel Yusmic menjelaskan, meski ganja medis sudah banyak digunakan di luar negeri, di Indonesia belum dilakukan kajian secara serius.
Karena itu, ketentuan di luar negeri tidak bisa diikuti secara serta-merta. Sebab, setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. "Baik jenis bahan narkotikanya, struktur, dan budaya hukum masyarakat dari negara yang bersangkutan, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan," ujarnya.
Apalagi, ganja yang termasuk narkotika kategori 1 memiliki ketergantungan tinggi pada pemakainya. Karena itu, kalaupun akan digunakan, harus ada persiapan dari berbagai unsur. Baik itu secara medis maupun pengendaliannya.
MK meminta pemerintah melakukan penelitian dan kajian atas hipotesis ganja sebagai obat atau sarana terapi. "Selanjutnya, hasil pengkajian dan penelitian secara ilmiah tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang," kata hakim MK Suhartoyo.
Jika hasil kajian menyimpulkan ganja dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan, pembuat UU harus mengatur secara detail tentang antisipasi kemungkinan penyalahgunaannya. "Mengingat kultur dan struktur hukum di Indonesia masih memerlukan edukasi secara terus-menerus," kata Suhartoyo.
Sementara itu, salah seorang pemohon, Dwi Pertiwi, mengaku kecewa dengan putusan MK. Sebab, dengan putusan itu, keinginannya agar anak-anak penderita cerebral palsy mendapat terapi ganja belum bisa dilakukan. Padahal, terapi ganja sangat krusial. Mengingat obat-obatan yang saat ini digunakan tidak cukup efektif. "Ketika Musa (nama anak) menggunakan ganja, membantu banget," ujarnya.
Meski kecewa, dia menilai putusan MK memberi sedikit angin segar. Sebab, MK meminta pemerintah segera melakukan kajian. Dwi berharap pemerintah bisa menindaklanjuti secepatnya. Sebab, penelitian berkejaran dengan penyakit yang terus menggerogoti penderita.
Pemohon lainnya, Nafiah Murhayanti atau akrab disapa Novi, berharap pemerintah memberikan perhatian sebagai kebutuhan jangka pendek. Dia mengakui banyak orang tua dari penderita yang sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Kalau ganja belum bisa digunakan, akses pada obat alternatif harus dipastikan ketersediaannya. "Obat menangani kejang sempat menghilang di pasaran," ungkapnya.(far/c17/oni/jpg)