Senin, 13 Mei 2024

Rohingya Etnis yang Tak Pernah Ada

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Saya akan menjadi buron atau tidak eksis sama sekali. Kalimat itu adalah penggalan isi buku From First, They Erased Our Name: A Rohingya Speaks karya Habiburahman.

Pria yang dipanggil Habib itu warga asli Rohingya. Dia lahir di salah satu desa di Rakhine, Myanmar, pada 1979. Habib melarikan diri dari negaranya dan tiba di Australia pada 2009 dengan menaiki perahu.

Yamaha

Buku karya Habib tersebut baru dirilis bulan ini. Di dalamnya, dia menceritakan perjuangan hidup, hinaan, dan ketakutan yang dialami penduduk Rohingya sehari-hari. Setidaknya dari yang dialami Habib selama tinggal di Rakhine.

Habib dan seluruh penduduk Rohingya tak pernah diakui sebagai warga negara Myanmar. Pun demikian ketika dia sampai di Australia. Nasibnya belum jelas. Meski dia diakui sebagai pengungsi dan punya visa sementara, status kewarganegaraannya masih tak pasti.

Baca Juga:  Pembagian BLT Ricuh, Massa Demo, Bakar Mobil dan Motor

"Saya tak bisa pergi ke mana-mana," ujar Habib sebagaimana dikutip The Guardian.

- Advertisement -

Habib menceritakan, pada 1982, diktator Myanmar Ne Win mengeluarkan aturan hukum yang menyatakan bahwa warga negara seharusnya anggota etnis tertentu. Di daftar etnis itu, tak ada Rohingya. Sejak saat itu, kata Rohingya menjadi terlarang. Mereka dilabeli sebagai pengungsi dari Bangladesh.

Habib yang kala itu masih anak-anak sering dipanggil dengan sebutan kalar. Itu adalah istilah hinaan untuk menyebut orang berkulit gelap. Warga Rohingya harus mendapat izin jika keluar ke desa lain atau untuk menikah. Akses kesehatan dan pendidikan sangat dibatasi dan bahkan kadang terlarang. Habib harus menyembunyikan identitasnya agar bisa kuliah.

- Advertisement -
Baca Juga:  APRIL 2030: Target Satu Dekade Grup APRIL di Bidang Keberlanjutan

Suap sudah menjadi hal yang wajar. Penduduk Rohingya rela memberikan apa saja ke militer atau pejabat pemerintah lainnya agar terhindar dari masalah. Mereka bahkan harus rela rumahnya diambil untuk toilet militer.

Habib mengaku ingin menuliskan kisahnya karena penderitaan warga Rohingya tidak pernah dilaporkan selama puluhan tahun. Mereka yang pernah menulis hanya tahu dari luar, tidak menjalaninya sehari-hari. Habib ingin seluruh orang tahu seperti apa rasanya menjadi seorang Rohingya.

"Generasi baru di Burma (Myanmar, Red), mereka tak tahu apa-apa tentang Rohingya," terangnya.

Sumber : Jawapos.co
Editor : Rinaldi

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Saya akan menjadi buron atau tidak eksis sama sekali. Kalimat itu adalah penggalan isi buku From First, They Erased Our Name: A Rohingya Speaks karya Habiburahman.

Pria yang dipanggil Habib itu warga asli Rohingya. Dia lahir di salah satu desa di Rakhine, Myanmar, pada 1979. Habib melarikan diri dari negaranya dan tiba di Australia pada 2009 dengan menaiki perahu.

Buku karya Habib tersebut baru dirilis bulan ini. Di dalamnya, dia menceritakan perjuangan hidup, hinaan, dan ketakutan yang dialami penduduk Rohingya sehari-hari. Setidaknya dari yang dialami Habib selama tinggal di Rakhine.

Habib dan seluruh penduduk Rohingya tak pernah diakui sebagai warga negara Myanmar. Pun demikian ketika dia sampai di Australia. Nasibnya belum jelas. Meski dia diakui sebagai pengungsi dan punya visa sementara, status kewarganegaraannya masih tak pasti.

Baca Juga:  Revisi UU Pemilu Digarap Lebih Awal

"Saya tak bisa pergi ke mana-mana," ujar Habib sebagaimana dikutip The Guardian.

Habib menceritakan, pada 1982, diktator Myanmar Ne Win mengeluarkan aturan hukum yang menyatakan bahwa warga negara seharusnya anggota etnis tertentu. Di daftar etnis itu, tak ada Rohingya. Sejak saat itu, kata Rohingya menjadi terlarang. Mereka dilabeli sebagai pengungsi dari Bangladesh.

Habib yang kala itu masih anak-anak sering dipanggil dengan sebutan kalar. Itu adalah istilah hinaan untuk menyebut orang berkulit gelap. Warga Rohingya harus mendapat izin jika keluar ke desa lain atau untuk menikah. Akses kesehatan dan pendidikan sangat dibatasi dan bahkan kadang terlarang. Habib harus menyembunyikan identitasnya agar bisa kuliah.

Baca Juga:  Tak Ada Lagi Kasus Baru, Taiwan Berhasil Tekan Pandemi Covid-19

Suap sudah menjadi hal yang wajar. Penduduk Rohingya rela memberikan apa saja ke militer atau pejabat pemerintah lainnya agar terhindar dari masalah. Mereka bahkan harus rela rumahnya diambil untuk toilet militer.

Habib mengaku ingin menuliskan kisahnya karena penderitaan warga Rohingya tidak pernah dilaporkan selama puluhan tahun. Mereka yang pernah menulis hanya tahu dari luar, tidak menjalaninya sehari-hari. Habib ingin seluruh orang tahu seperti apa rasanya menjadi seorang Rohingya.

"Generasi baru di Burma (Myanmar, Red), mereka tak tahu apa-apa tentang Rohingya," terangnya.

Sumber : Jawapos.co
Editor : Rinaldi

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari