Hingga 76 tahun Indonesia merdeka, minyak bumi, ditambah gas bumi, belum tergantikan sebagai lokomotif perekonomian bangsa. Bahkan kendala dan tantangan kekinian menjadi motivasi tersendiri untuk terus memainkan peran sentral dalam pembangunan tersebut.
Laporan Zulkifli Ali, Pekanbaru
Eksistensi minyak bumi di Nusantara sudah dinikmati sejak zaman penjajahan Belanda. Tentu saja penikmatnya adalah raja atau penguasa lokal, individu ataupun maatschappij (perusahaan) asal Belanda yang menjadi pionirnya.
Sejarah mencatat pada 1883 ditemukan rembesan minyak bumi secara tidak sengaja di daerah Langkat, Sumatera Utara. Seperti dikisahkan historia.id, Aeilko Jans Zijlker, seorang juragan tembakau di Sumatera Timur, sangat tertarik dengan temuan tersebut. Maka ia pun berupaya mendapatkan konsesi lahan di daerah Telaga Said tersebut dari Sultan Langkat.
Pada 15 Juni 1885 ia melakukan pemboran di sumur Telaga Tunggal pada kedalaman 121 meter. Pemeriksaan cairan hasil galiannya dilakukan di Batavia pada 1886. Ternyata cairan yang berasal dari lahan konsesi Zijlker mengandung minyak bumi berkualitas. Perlahan, Zijlker yang tadinya tuan kebun yang kurang berhasil, menjelma menjadi raja minyak.
Sebelumnya, pada 1871 seorang pedagang Belanda Jan Reerink dikabarkan juga menemukan adanya rembesan minyak di daerah Majalengka, daerah di lereng Gunung Ciremai, sebelah barat daya Kota Cirebon, Jawa Barat. Minyak tersebut merembes dari lapisan batuan tersier yang tersingkap ke permukaan.
Dia lalu melakukan pengeboran dengan menggunakan pompa yang digerakkan oleh sapi. Total sumur yang dibor sebanyak empat sumur, dan menghasilkan 6.000 liter minyak mentah. Usaha Reerink ini diklaim sebagai produksi minyak bumi pertama di Indonesia.
Namun usaha untuk memproduksi secara besar-besaran tidak bisa dilakukan. Lantaran Reerink tidak mendapat pinjaman modal dari NV Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). Dan akhirnya ia memutuskan menutup sumur-sumur tersebut dan kembali ke usaha dagang sebelumnya.
Hal sebaliknya justru terjadi di Langkat. Usaha penambangan lebih masif dilakukan dan terus berkembang. Ini bermula pada 1890, Zijlker mengalihkan konsesinya kepada perusahaan minyak Belanda, Royal Dutch. Direktur pelaksananya ialah J.A. de Gelder, seorang insinyur berpengalaman di Hindia Belanda dan berkantor pusat di Pangkalan Brandan.
Terbukti dengan dibangunnya kilang minyak di Pangkalan Brandan pada 1892. Untuk memperlancar distribusi, dibangun pula beberapa tangki penimbunan dan pelabuhan di Pangkalan Susu yang selesai pada 1898. Sejak pembangunan kilang, Royal Dutch telah memproduksi minyak sebanyak 1.200 ton dari lapangan Telaga Said.
“Dari Pangkalan Susu minyak mentah dan kerosin untuk penerangan diekspor ke wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur Jauh,” tulis tim peneliti ESDM suntingan Djoko Darmono dalam ''Mineral dan Energi Kekayaan Bangsa: Sejarah Pertambangan dan Energi Indonesia''.
Dalam laporannya di Trade Information Bulletin No.11 tahun 1923 berjudul “Petroleum Production and Trade The Dutch East Indies” Albert Thomson Coumbe mencatat, kilang minyak Pangkalan Brandan mampu menghasilkan 10.000 barrel oil per day (BOPD/barel minyak per hari).
Cadangan minyak mentahnya sebesar 1.000.000 barel sedangkan dalam bentuk bahan bakar hasil penyulingan sebesar 50.000 barel. Angka itu belum termasuk deposit minyak untuk produk olahan. Produktivitas itu menempatkan Pangkalan Brandan sebagai kilang minyak terbesar di Sumatera hingga 1920-an.
Sementara itu, jurnalis senior Polycarpus Swantoro dalam ''Masa Lalu Selalu Aktual'' menyebut, Pangkalan Brandan sebagai tonggak eksploitasi minyak pertama di Indonesia. Eksploitasi tersebut terjadi dalam periode mulai mengalirnya investasi modal di bidang pertambangan. Peralihan orientasi ke sektor pertambangan terjadi karena merosotnya harga komoditas pertanian dan produk olahannya.
Dari Pangkalan Brandan bisnis minyak bumi telah memperlihatkan hasil yang menjanjikan. Sehingga para pemodal semakin terdorong membiayai kegiatan penemuan minyak bumi di wilayah Hindia Belanda yang lain. Pada paruh kedua abad 19 terdapat tidak kurang dari 18 perusahaan besar dan kecil yang terlibat dalam eksplorasi dan eskploitasi minyak di beberapa daerah di Hindia Belanda.
Menguatnya Peran Negara
Pascaproklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, minyak bumi juga prioritas untuk dikelola. Langkah pertama dengan mengambil alih ladang minyak dan fasilitas pendukungnya yang sempat dikelola oleh penjajahan Jepang.
Namun itu tidak mudah. Selain masih belum berpengalaman, pada masa itu juga terjadi gangguan militer dari pemerintah Belanda, yang disebut Indonesia sebagai Agresi Militer Belanda I (Juli-Agustus 1947) dan Agresi Militer Belanda II (Desember 1948). Tujuan dari agresi tersebut jelas merebut kembali ladang-ladang minyak di Jawa dan Sumatera dengan sandi ''Operatie Produkt''.
Padahal pada awal kemerdekaan itu, Pemerintah RI sudah membentuk sejumlah perusahaan yang menjadi cikal bakal PT Pertamina. Di antaranya, Perusahaan Tambang Minyak Nasional Rakyat Indonesia (PTMNRI) untuk mengelola ladang minyak dan kilang di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Kemudian Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI) yang menangani ladang minyak di Talang Akar, Sumatera Selatan. Berikutnya, Perusahaan Tambang Minyak Negara (PTMN) yang diserahi tugas mengelola kilang dan sumur-sumur minyak di Kawenangan (Jawa Tengah).
Karena agresi militer Belanda itu, ladang minyak dan fasilitas pendukungnya dikembalikan ke perusahaan asing sebagai operator awal. Ladang-ladang minyak di Sumatra Selatan kembali ke Stanvac, ladang-ladang minyak di Riau dan Jambi (Sumatera Tengah) dikembalikan kepada Caltex, dan ladang minyak Cepu diambil alih pengelolaannya oleh BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij).
Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949, ladang-ladang minyak kembali dimiliki Indonesia namun pengelolaannya tetap dipercayakan kepada perusahan-perusahaan asing tadi. Pada 10 Desember 1957 pemerintah membentuk Perusahaan Tambang Minyak Negara (PERMINA), dengan Ibnu Sutowo sebagai Direktur Utama. Pada 30 Juni 1958, PERMINA melakukan ekspor minyak mentah perdana serta ekspor kedua pada Agustus 1958.
Satu poin penting dari industri hulu migas pascakemerdekaan adalah muncul pemikiran akan pentingnya penguasaan penuh oleh negara melalui pemerintah terhadap kekayaan sumber daya alam, terutama minyak bumi. Ini juga tidak lepas dari hadirnya sekaligus penerapan dari UUD 1945 Pasal 33.
Oleh karena itu lahirlah apa yang disebut sistem Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract (PSC). Pada sistem PSC, kepemilikan (ownership) dan pengawasan ada di tangan pemerintah. Pembagian atau sharing hasil pertambangan sesuai persentase yang telah ditentukan bukan berbagi hasil penjualan.
Sebelum PSC, Indonesia sempat menganut dua model bisnis, yaitu konsesi dan kontrak karya (skkmigas.go.id). Rezim konsesi dianut Indonesia pada era kolonial Belanda sampai awal kemerdekaan. Karakteristiknya, semua hasil produksi dalam wilayah konsesi dimiliki oleh perusahaan. Negara dalam sistem ini hanya menerima royalti yang secara umum berupa persentase dari pendapatan bruto dan pajak. Keterlibatan negara sangat terbatas.
Rezim Kontrak Karya berlaku saat Indonesia menerapkan Undang-undang No. 40 tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Regulasi ini mengatur bahwa sumber daya migas adalah milik negara. Status perusahaan diturunkan dari pemegang konsesi menjadi kontraktor negara. Pada sistem ini, negara dan perusahaan berbagi hasil penjualan migas. Meskipun perusahaan tidak lagi menjadi pemegang konsesi, kendali manajemen masih berada di tangan mereka. Peran pemerintah terbatas pada kapasitas pengawasan.
Skema PSC pertama kali berlaku tahun 1966 saat PERMINA menandatangani kontrak bagi hasil dengan Independence Indonesian American Oil Company (IIAPCO). Kontrak ini tercatat sebagai PSC pertama dalam sejarah industri migas dunia. Penerapan PSC di Indonesia dilatarbelakangi oleh keinginan supaya negara berperan lebih besar dengan mempunyai kewenangan manajemen kegiatan usaha hulu migas.
Dengan pola PSC, negara bisa memanfaatkan anugerah sumber daya migas karena modal dan teknologi disediakan oleh investor. Di sisi lain, negara tidak terpapar risiko kegagalan eksplorasi karena biaya modal dalam kondisi tersebut tidak diganti dalam skema cost recovery. Pemerintah sebagai perwakilan negara juga memiliki kontrol baik atas manajemen operasional maupun kepemilikan sumber daya migas.
Peran Penting Migas
Produksi masif minyak baru dilakukan pada era pemerintahan Orde Baru (Orba). Fakta ini semakin terkonfirmasi dengan kehadiran Indonesia sebagai anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak atau OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) pada 1962.
Di masa pemerintahan Soeharto ini, sektor migas terutama minyak bumi, menjadi penyumbang devisi terbesar Indonesia. Apalagi pada periode 1974-1982 dengan tingginya harga minyak di pasar internasional. Malah pada 1977, Indonesia sampai memproduksi sangat banyak minyak hingga mencapai 1,68 juta BOPD. Padahal masa itu konsumsi bahan bakar minyak (BBM) rakyat Indonesia hanya sekitar 300.000 BOPD.