PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Masih tingginya angka kriminalitas terhadap anak, menjadikan berbagai instansi yang berhubungan dengan anak dan perempuan diundang untuk hadir di acara pertemuan koordinasi dan evaluasi kegiatan Balai Rehabilitasi Sosial terhadap Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) di aula BRSAMPK Jalan Khayangan, Rumbai Pesisir, Kota Pekanbaru, Kamis (21/11).
Dalam sambutannya, Kepala BRSAMPK mengatakan masih ada hak-hak anak yang belum dipenuhi oleh negara, masih banyak yang dihukum, dipenjara dan lainnya. "Dengan demikian, tentunya ini menjadi perhatian kita semua. Dalam pertemuan ini bisa membantu anak-anak untuk mendapatkan haknya," sebutnya.
Sementara pemaparan dari Manajer Kasus Pekerja Sosial BRSAMPK Yustisia menyampainkan, pekerja sosial itu profesi dari lulusan sarjana jurusan pekerja sosial.
BRSAMPK berada di bawah Kementerian Sosial (Kemensos) RI. BRSAMPK yang berada di Rumbai Pesisir, jangkauan wilayah di Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat dan Lampung. "Sepanjang 2019 BRSAMPK menangani 170 AMPK, untuk anak laki-laki sebanyak 129 orang dan anak perempuan sebanyak 41 orang. Provinsi Riau ada 142 anak, Kepri ada sembilan anak, Sumbar ada 15 anak, sementara Lampung tidak ada," sebutnya.
Kemudian, untuk jumlah AMPK berdasarkan kluster permasalahan di antaranya 80 ABH, 53 anak korban kejahatan seksual, satu anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, empat anak dengan perilaku sosial menyimpang, lima anak korban kekerasan fisik atau psikis, dua anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, sembilan anak yang menjadi penyalahgunaan napza, 11 anak korban penelantaran, tiga anak yang menjadi korban pornografi dan dua anak penyandang disabilitas.
"Anak perilaku sosial menyimpang yang masuk di kami itu ada dari Riau dan Sumbar," ucapnya. Selanjutnya, anak yang disodomi pun ada.
Untuk korban kekerasan fisik tentunya yang paling menyita perhatian publik adalah Rizki, yang saat itu ditangani Polsek Tenayan Raya dan dibawa ke BRSAMPK. Lalu, anak yang mengalami eksploitasi terjadi di jalanan. Katanya, jika tidak mengemis atau memberi uang akan dipukul oleh bos jalanan.
Anak yang menjadi penyalahgunaan napza, pernah satu anak dari Kuansing pernah memiliki 60 butir. Katanya, supaya percaya diri. Sangat disayangkan sehingga jiwanya terganggu.
Pun terdapat anak yang menjadi korban penelantaran terjadi karena orangtua lalai dan tidak mengontrol anaknya dalam bermain gadget. Sehingga saat bermain hp atau warnet yang dibuka situs porno. Lalu timbullah di pikirannya hanya orang telanjang padahal memakai baju. Saat itu berani mengeluarkan alat kelaminnya di sekolah dasar.
Yustisia melanjutkan, masing-masing anak kasusnya berbeda. Perubahan perilakunya pun berbeda. Pernah kejadian katanya, terdapat anak yang hobinya meminta-minta. Setiap tamu ynag datang ke BRSAMPK selalu dimintainya uang. Sebab anak tersebut tidak tahu "nilai". Jika tidak diberi uang, orang tersebut dikencinginya.
BRSAMPK pun mempunyai cara untuk menangani masalah itu, dengan terapi psikolog, terapi fisik, terapi reaksional, terapi seni, terapi keagamaan dan berbagai terapi lainnya.
Kasi Rehabilitasi Sosial Mohammad Toher mengatakan, anak-anak yang berada di BRSAMPK selama enam bulan.
Nantinya pada 2020 hanya ada 20 anak per hari di BRSAMPK. Artinya dalam setahun itu 80 anak. Katanya, akan fokus ke anak yang terkena HIV/AIDS. Sebab, sudah ada ditemukan delapan anak yang terkena HIV/AIDS. Bahkan jika ditelusuri mungkin bisa lebih.(*3/ade)
Laporan MUSLIM NURDIN, Kota