Senin, 24 Juni 2024

Diskusi Film Dewan Kesenian Siak dengan Deddy Mizwar (2/Habis)

Menggagas Siak untuk Membuat Film

Aktor Deddy Mizwar “memanas-manasi” para sineas dan Pemkab Siak untuk membuat film tentang Siak dengan ide besar yang bisa dijual ke pasar nasional. Apa saja yang harus dilakukan?

RIAUPOS.CO – FILM bisa menjadi alat yang efektif dalam memasukkan banyak hal, termasuk propaganda, dan mempengaruhi masyarakat. Amerika Serikat (AS) sudah lama melakukan ini. Juga negara-negara yang memiliki tradisi film kuat seperti Prancis, Italia, atau Jerman. Di Asia, India sudah lama terkenal dengan ratusan hingga ribuan film yang mereka produksi setiap tahun dengan tema yang hampir sama: menyatukan tarian, musik, dan cerita yang khas India. Jika film AS disebut “film Hollywood”, maka India disebut “film Bollywood”.

- Advertisement -

Meski tak sebanyak India dalam memproduksi film, Jepang juga punya tradisi film yang lumayan kuat sejak lama. Film-film mereka secara kualitas bisa bersaing di dunia dalam berbagai festival dan bisa tembus pasaran di banyak negara. Namun kini Jepang dianggap tertinggal dari Korea Selatan (Korsel) yang berlari jauh setelah mereka belajar banyak dan membangun budaya populer yang disebut K-Pop. Film dan drama Korea (Drakor) saat ini menjadi tontonan wajib bagi banyak orang di banyak negara seiring dengan banyaknya kelompok musik mereka yang mampu bersaing di tataran global.

Lalu Indonesia bagaimana? Pada masa Orde Baru (Orba), dunia film Indonesia punya semboyan “menjadi tuan rumah di negeri sendiri”. Ketika itu, meski belum mampu menembus pasar internasional dan secara kualitas masih banyak film yang pas-pasan, tetapi produksi film Indonesia lumayan banyak. Pada masa itu bahkan banyak film yang mengumbar aurat dengan dana kecil diproduksi. Gunting Lembaga Sensor Film (LSF) tak setajam sekarang setelah kesadaran religius masyarakat meningkat. Tetapi, setelah itu dunia film Indonesia mengalami titik terendah dalam waktu lama. Seperti mati suri. Film Ada Apa dengan Cinta? (AADC/2002) garapan Rudi Soedjarwo dianggap sebagai pembangkit produksi film Indonesia yang bertahan baik hingga hari ini.

Menurut aktor senior Deddy Mizwar, mestinya Indonesia bisa mencontoh negara-negara tersebut menjadikan film –selain untuk hiburan— sebagai cara untuk memperkenalkan dan menjelaskan identitas bangsa ke berbagai pihak, termasuk negara lain. Harus ada political will dari pemerintah untuk hal itu seperti yang dilakukan AS, Jepang, atau Korsel, yang kemudian dipahami dan dijabarkan oleh para sineas.

- Advertisement -

“Dengan budaya Indonesia yang beragam, itu hal yang bisa dieksplorasi dan sekaligus menjelaskan betapa kayanya Indonesia dengan seluruh budaya beragam yang dimilikinya,” kata Deddy.

Siak yang punya kekayaan budaya dan sejarah dan ingin menjadi pusat kebudayaan Melayu, kata Deddy, harus berpikir ke arah sana. Harus ada cara yang bisa dilakukan dengan adanya peluang tersebut, dengan membuat kolaborasi antara seniman, masyarakat, dan pemerintah untuk mewujudkan itu. Dia yakin masyarakat Siak dan Pemkab Siak bisa mewujudkan hal itu, yakni menjadi pusat budaya Melayu, yang merupakan visi besar. Budaya harus dipertahankan untuk mendukung keindahan alam.

“Harus ada gagasan besar dan terus dilakukan. Festival film bagus dilakukan dan terus berlanjut. Anak muda perlu diberi ruang untuk membuktikan siapa dirinya. Saya dulu pernah membuat festival film di Jawa Barat, ratusan yang ikut. Tapi setelah saya tak jadi wakil gubernur lagi, kegiatan itu terhenti,” katanya sambil tertawa.

Baca Juga:  Pameran Seni Rupa "Kembali ke Pangkal", Membangun Kolaborasi Seniman Sumatra

Dia menjelaskan, film adalah bisnis. Ada itungan untung atau rugi di dalamnya. Karena tak mungkin membuat film hanya untuk membakar uang. Maka ada sutradara dan penulis naskah yang berpikir tentang ide, dan ada produser yang berpikir tentang pengeluaran dan pemasukan uang alias bisnis. Namun, kata dia, gagasan yang bisa mempengaruhi orang secara positif juga sebuah “bisnis” yang bisa dijual. Dia mencontohkan saat membuat film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) tahun 2010 yang bercerita tentang anak-anak yang hidup di jalanan yang membuat Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) waktu itu merasa berdosa mengapa dia tak memikirkan untuk “membasmi” anak jalanan ketika dia masih berkuasa. Artinya, JK sangat mengapresiasi film tersebut. Dan meski membawa ide yang tak populer, film yang langsung dia sutradarai dan menjadi salah satu pemerannya itu secara bisnis juga menguntungkan.

Deddy tidak menolak jika masyarakat dan Pemkab Siak punya ide membuat film dan mengajaknya untuk bekerja sama. Ide daerah membuat film sudah sering dilakukan di masa lalu. Misalnya Pemprov Lampung pernah membuat film Cintaku di Way Kambas (1990) yang diperankan oleh Mathias Muchus dan Ira Wibowo. Beberapa daerah lain juga pernah membuat seperti film Si Pahit Lidah (Sumatra Selatan), Selembut Wajah Anggun (Sumatra Barat), dll. Film-film tersebut kebanyakan digunakan untuk kampanye pariwisata dengan pengambilan gambar di beberapa daerah wisata masing-masing.

Namun, Deddy mengingatkan bahwa jika ingin membuat film, sekali lagi, harus punya gagasan yang bagus. Gagasan yang bagus akan menghasilkan skenario yang bagus, dengan begitu film yang dihasilkan akan bagus. Jika skenario tidak bagus meski secara teknis bagus, maka hasil filmnya tetap tidak bagus. Gagasan dan skenario adalah dasar dari pembuatan film.

“Saya banyak belajar dari para senior saya seperti Nyak Abas Acub, Teguh Karya dll. Mereka yang bilang begitu. Coba cermati, tak ada film mereka yang tidak bagus,” katanya lagi.

Alam demokrasi, jelas Deddy lagi, telah menciptakan kreativitas, apa pun bisa dilakukan. Menurutnya kita harus bersyukur karena kebebasan kreativitas dijamin UU. Namun demokrasi dan kebebasan tetap ada aturan untuk menyelamatkan kebebasan itu sendiri. Cina yang tidak demokratis saja pemerintahnya punya keinginan untuk mengembangkan industri kreatif.

Sementara itu produser yang sering menangani film-film dan sinetron yang dibuat Deddy Mizwar, Zairin Zain, mengapresiasi kegiatan diskusi film yang diselenggaran Dewan Kesenian Siak (DKS) dan Pemkab Siak tersebut. Sependapat dengan Deddy, dia mengatakan bahwa kebudayaan bisa menggerakkan roda ekonomi seperti K-Pop yang dimiliki Korsel yang membuat Drakor –salah satunya—seperti “menjajah” semua bangsa di dunia saat ini.

Zairin juga menjawab pertanyaan dari salah seorang sineas Siak mengapa pengorbanan Raja Siak, Sultan Syarfih Kasim II, yang menyerahkan Siak menjadi bagian dari NKRI dan menyumbangkan hartanya sebesar 13 juta gulden kepada pemerintah, tetapi tak ada sineas Indonesia yang mau membuat filmnya. Menurut produser senetron sukses Para Pencari Tuhan (PPT) dan beberapa film lainnya ini, membuat film biopik tidak semudah dibanding film lainnya karena masyarakat sudah tahu tentang si tokoh. Banyak pemilik perusahaan film yang harus berhitung pahit soal ini karena kebanyakan memang merugi. Dia mencontohkan beberapa film biopik dari tokoh terkenal yang flop di pasaran seperti Sultan Agung, Sang Kyai, Soekarno, dan banyak lagi. Film-film tersebut bujetnya tinggi karena penulis skenario dan sutradaranya harus melakukan riset panjang dan lama, namun tak banyak ditonton orang di gedung bioskop karena mereka sudah membaca kisah hidup mereka dan sudah mengenalnya dengan baik. Namun, film seperti itu tetap dibuat, meski merugi, karena bernilai tinggi. Kadang produser dan pemilik modal melakukan subsidi silang dengan membuat film ringan berbujet rendah tetapi laris di pasaran.

Baca Juga:  Tunak, 23 Tahun Menjaga Kegelisahan di Jalan Sunyi

“Sultan Syarif Kasim II ini menarik untuk difilmkan. Masalahnya, ada nggak produser yang berani karena biaya tinggi tadi, termasuk harus mengembalikan setting sejarah dan riset yang tidak ringan. Di sinilah peran pemerintah daerah jika memang masyarakatnya menginginkannya,” jelas lelaki yang mengaku banyak belajar dari sutradara dan penulis naskah Ali Shahab ini.

Wakil Bupati Siak, Husni Merza, yang hadir dalam diskusi tersebut menjelaskan tentang beberapa keterbatasan Pemkab Siak jika bicara soal film. Misalnya, dia menjawab pertanyaan tentang mengapa pihaknya tidak memikirkan mendirikan bioskop mini yang bisa digunakan untuk memutar film. Menurutnya, dia sudah mengusulkan supaya di perpustakaan daerah dibuat ruangan khusus untuk memutar film, termasuk film-film pendek yang dibuat sineas Siak. Dia mencontohkan, saat kuliah di International Islamic University, Malaysia, di lantai paling atas perpustakaan universitas ada bioskop mini yang bisa digunakan untuk nonton film.

“Saya sudah meminta kepada pengelola perpustakaan kita untuk merancang theater room. Jadi perpustakaan isinya bukan hanya buku, tetapi juga film-film, minimal film tentang sejarah dan budaya,” kata Husni Merza.

Menyinggung tentang Pemkab Siak akan membuat film, dia masih mencari masukan dari kalangan seniman Siak, termasuk melakukan riset ke beberapa tempat tentang dampak film bagi daerah. Dia pernah ke Belitung, melihat tempat-tempat yang disebut dan dipakai sebagai setting film Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan sekuelnya karya novelis Andrea Hirata. Menurutnya, di sana, film-film tersebut memang bisa memberikan dampak signifikan dalam bidang ekonomi. Terutama pariwisata. Banyak wisatawan yang datang, bukan hanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga dari Malaysia, Singapura, dan negara lainnya. Ekonomi tumbuh secara baik dengan munculnya banyak restoran baru, tempat penjualan merchandise, hotel-hotel berbintang, dan sebagainya. Investor juga banyak datang ke sana.

“Kedatangan Bang Deddy Mizwar dan Bang Zairin Zein ini membuat saya teringat hal lama tentang film ini. Jika Siak membuat film, harus yang bisa menjual Siak, baik dunia wisatanya maupun mendatangkan investor yang bisa membangun daerah kita,” jelasnya.

Ketua DKS, Zulkarnain Al Idrus, yang punya inisiatif diskusi ini menjelaskan bahwa kegiatan ini sangat tepat untuk membangunkan dunia sinema di Siak. “Kita sudah dua kali menyelenggarakan Festival Film Pendek Siak, dan ke depan akan kita selenggarakan lagi. Para sineas bisa belajar banyak dari apa yang disampaikan Bang Deddy Mizwar dan Bang Zairin Zein tadi,” kata lelaki yang juga seorang komika ini.***

Laporan HARY B KORIUN, Siak Sriindrapura

Aktor Deddy Mizwar “memanas-manasi” para sineas dan Pemkab Siak untuk membuat film tentang Siak dengan ide besar yang bisa dijual ke pasar nasional. Apa saja yang harus dilakukan?

RIAUPOS.CO – FILM bisa menjadi alat yang efektif dalam memasukkan banyak hal, termasuk propaganda, dan mempengaruhi masyarakat. Amerika Serikat (AS) sudah lama melakukan ini. Juga negara-negara yang memiliki tradisi film kuat seperti Prancis, Italia, atau Jerman. Di Asia, India sudah lama terkenal dengan ratusan hingga ribuan film yang mereka produksi setiap tahun dengan tema yang hampir sama: menyatukan tarian, musik, dan cerita yang khas India. Jika film AS disebut “film Hollywood”, maka India disebut “film Bollywood”.

Meski tak sebanyak India dalam memproduksi film, Jepang juga punya tradisi film yang lumayan kuat sejak lama. Film-film mereka secara kualitas bisa bersaing di dunia dalam berbagai festival dan bisa tembus pasaran di banyak negara. Namun kini Jepang dianggap tertinggal dari Korea Selatan (Korsel) yang berlari jauh setelah mereka belajar banyak dan membangun budaya populer yang disebut K-Pop. Film dan drama Korea (Drakor) saat ini menjadi tontonan wajib bagi banyak orang di banyak negara seiring dengan banyaknya kelompok musik mereka yang mampu bersaing di tataran global.

Lalu Indonesia bagaimana? Pada masa Orde Baru (Orba), dunia film Indonesia punya semboyan “menjadi tuan rumah di negeri sendiri”. Ketika itu, meski belum mampu menembus pasar internasional dan secara kualitas masih banyak film yang pas-pasan, tetapi produksi film Indonesia lumayan banyak. Pada masa itu bahkan banyak film yang mengumbar aurat dengan dana kecil diproduksi. Gunting Lembaga Sensor Film (LSF) tak setajam sekarang setelah kesadaran religius masyarakat meningkat. Tetapi, setelah itu dunia film Indonesia mengalami titik terendah dalam waktu lama. Seperti mati suri. Film Ada Apa dengan Cinta? (AADC/2002) garapan Rudi Soedjarwo dianggap sebagai pembangkit produksi film Indonesia yang bertahan baik hingga hari ini.

Menurut aktor senior Deddy Mizwar, mestinya Indonesia bisa mencontoh negara-negara tersebut menjadikan film –selain untuk hiburan— sebagai cara untuk memperkenalkan dan menjelaskan identitas bangsa ke berbagai pihak, termasuk negara lain. Harus ada political will dari pemerintah untuk hal itu seperti yang dilakukan AS, Jepang, atau Korsel, yang kemudian dipahami dan dijabarkan oleh para sineas.

“Dengan budaya Indonesia yang beragam, itu hal yang bisa dieksplorasi dan sekaligus menjelaskan betapa kayanya Indonesia dengan seluruh budaya beragam yang dimilikinya,” kata Deddy.

Siak yang punya kekayaan budaya dan sejarah dan ingin menjadi pusat kebudayaan Melayu, kata Deddy, harus berpikir ke arah sana. Harus ada cara yang bisa dilakukan dengan adanya peluang tersebut, dengan membuat kolaborasi antara seniman, masyarakat, dan pemerintah untuk mewujudkan itu. Dia yakin masyarakat Siak dan Pemkab Siak bisa mewujudkan hal itu, yakni menjadi pusat budaya Melayu, yang merupakan visi besar. Budaya harus dipertahankan untuk mendukung keindahan alam.

“Harus ada gagasan besar dan terus dilakukan. Festival film bagus dilakukan dan terus berlanjut. Anak muda perlu diberi ruang untuk membuktikan siapa dirinya. Saya dulu pernah membuat festival film di Jawa Barat, ratusan yang ikut. Tapi setelah saya tak jadi wakil gubernur lagi, kegiatan itu terhenti,” katanya sambil tertawa.

Baca Juga:  Terinspirasi dari Prancis Akan Kembali ke Prancis

Dia menjelaskan, film adalah bisnis. Ada itungan untung atau rugi di dalamnya. Karena tak mungkin membuat film hanya untuk membakar uang. Maka ada sutradara dan penulis naskah yang berpikir tentang ide, dan ada produser yang berpikir tentang pengeluaran dan pemasukan uang alias bisnis. Namun, kata dia, gagasan yang bisa mempengaruhi orang secara positif juga sebuah “bisnis” yang bisa dijual. Dia mencontohkan saat membuat film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) tahun 2010 yang bercerita tentang anak-anak yang hidup di jalanan yang membuat Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) waktu itu merasa berdosa mengapa dia tak memikirkan untuk “membasmi” anak jalanan ketika dia masih berkuasa. Artinya, JK sangat mengapresiasi film tersebut. Dan meski membawa ide yang tak populer, film yang langsung dia sutradarai dan menjadi salah satu pemerannya itu secara bisnis juga menguntungkan.

Deddy tidak menolak jika masyarakat dan Pemkab Siak punya ide membuat film dan mengajaknya untuk bekerja sama. Ide daerah membuat film sudah sering dilakukan di masa lalu. Misalnya Pemprov Lampung pernah membuat film Cintaku di Way Kambas (1990) yang diperankan oleh Mathias Muchus dan Ira Wibowo. Beberapa daerah lain juga pernah membuat seperti film Si Pahit Lidah (Sumatra Selatan), Selembut Wajah Anggun (Sumatra Barat), dll. Film-film tersebut kebanyakan digunakan untuk kampanye pariwisata dengan pengambilan gambar di beberapa daerah wisata masing-masing.

Namun, Deddy mengingatkan bahwa jika ingin membuat film, sekali lagi, harus punya gagasan yang bagus. Gagasan yang bagus akan menghasilkan skenario yang bagus, dengan begitu film yang dihasilkan akan bagus. Jika skenario tidak bagus meski secara teknis bagus, maka hasil filmnya tetap tidak bagus. Gagasan dan skenario adalah dasar dari pembuatan film.

“Saya banyak belajar dari para senior saya seperti Nyak Abas Acub, Teguh Karya dll. Mereka yang bilang begitu. Coba cermati, tak ada film mereka yang tidak bagus,” katanya lagi.

Alam demokrasi, jelas Deddy lagi, telah menciptakan kreativitas, apa pun bisa dilakukan. Menurutnya kita harus bersyukur karena kebebasan kreativitas dijamin UU. Namun demokrasi dan kebebasan tetap ada aturan untuk menyelamatkan kebebasan itu sendiri. Cina yang tidak demokratis saja pemerintahnya punya keinginan untuk mengembangkan industri kreatif.

Sementara itu produser yang sering menangani film-film dan sinetron yang dibuat Deddy Mizwar, Zairin Zain, mengapresiasi kegiatan diskusi film yang diselenggaran Dewan Kesenian Siak (DKS) dan Pemkab Siak tersebut. Sependapat dengan Deddy, dia mengatakan bahwa kebudayaan bisa menggerakkan roda ekonomi seperti K-Pop yang dimiliki Korsel yang membuat Drakor –salah satunya—seperti “menjajah” semua bangsa di dunia saat ini.

Zairin juga menjawab pertanyaan dari salah seorang sineas Siak mengapa pengorbanan Raja Siak, Sultan Syarfih Kasim II, yang menyerahkan Siak menjadi bagian dari NKRI dan menyumbangkan hartanya sebesar 13 juta gulden kepada pemerintah, tetapi tak ada sineas Indonesia yang mau membuat filmnya. Menurut produser senetron sukses Para Pencari Tuhan (PPT) dan beberapa film lainnya ini, membuat film biopik tidak semudah dibanding film lainnya karena masyarakat sudah tahu tentang si tokoh. Banyak pemilik perusahaan film yang harus berhitung pahit soal ini karena kebanyakan memang merugi. Dia mencontohkan beberapa film biopik dari tokoh terkenal yang flop di pasaran seperti Sultan Agung, Sang Kyai, Soekarno, dan banyak lagi. Film-film tersebut bujetnya tinggi karena penulis skenario dan sutradaranya harus melakukan riset panjang dan lama, namun tak banyak ditonton orang di gedung bioskop karena mereka sudah membaca kisah hidup mereka dan sudah mengenalnya dengan baik. Namun, film seperti itu tetap dibuat, meski merugi, karena bernilai tinggi. Kadang produser dan pemilik modal melakukan subsidi silang dengan membuat film ringan berbujet rendah tetapi laris di pasaran.

Baca Juga:  Tunak, 23 Tahun Menjaga Kegelisahan di Jalan Sunyi

“Sultan Syarif Kasim II ini menarik untuk difilmkan. Masalahnya, ada nggak produser yang berani karena biaya tinggi tadi, termasuk harus mengembalikan setting sejarah dan riset yang tidak ringan. Di sinilah peran pemerintah daerah jika memang masyarakatnya menginginkannya,” jelas lelaki yang mengaku banyak belajar dari sutradara dan penulis naskah Ali Shahab ini.

Wakil Bupati Siak, Husni Merza, yang hadir dalam diskusi tersebut menjelaskan tentang beberapa keterbatasan Pemkab Siak jika bicara soal film. Misalnya, dia menjawab pertanyaan tentang mengapa pihaknya tidak memikirkan mendirikan bioskop mini yang bisa digunakan untuk memutar film. Menurutnya, dia sudah mengusulkan supaya di perpustakaan daerah dibuat ruangan khusus untuk memutar film, termasuk film-film pendek yang dibuat sineas Siak. Dia mencontohkan, saat kuliah di International Islamic University, Malaysia, di lantai paling atas perpustakaan universitas ada bioskop mini yang bisa digunakan untuk nonton film.

“Saya sudah meminta kepada pengelola perpustakaan kita untuk merancang theater room. Jadi perpustakaan isinya bukan hanya buku, tetapi juga film-film, minimal film tentang sejarah dan budaya,” kata Husni Merza.

Menyinggung tentang Pemkab Siak akan membuat film, dia masih mencari masukan dari kalangan seniman Siak, termasuk melakukan riset ke beberapa tempat tentang dampak film bagi daerah. Dia pernah ke Belitung, melihat tempat-tempat yang disebut dan dipakai sebagai setting film Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan sekuelnya karya novelis Andrea Hirata. Menurutnya, di sana, film-film tersebut memang bisa memberikan dampak signifikan dalam bidang ekonomi. Terutama pariwisata. Banyak wisatawan yang datang, bukan hanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga dari Malaysia, Singapura, dan negara lainnya. Ekonomi tumbuh secara baik dengan munculnya banyak restoran baru, tempat penjualan merchandise, hotel-hotel berbintang, dan sebagainya. Investor juga banyak datang ke sana.

“Kedatangan Bang Deddy Mizwar dan Bang Zairin Zein ini membuat saya teringat hal lama tentang film ini. Jika Siak membuat film, harus yang bisa menjual Siak, baik dunia wisatanya maupun mendatangkan investor yang bisa membangun daerah kita,” jelasnya.

Ketua DKS, Zulkarnain Al Idrus, yang punya inisiatif diskusi ini menjelaskan bahwa kegiatan ini sangat tepat untuk membangunkan dunia sinema di Siak. “Kita sudah dua kali menyelenggarakan Festival Film Pendek Siak, dan ke depan akan kita selenggarakan lagi. Para sineas bisa belajar banyak dari apa yang disampaikan Bang Deddy Mizwar dan Bang Zairin Zein tadi,” kata lelaki yang juga seorang komika ini.***

Laporan HARY B KORIUN, Siak Sriindrapura

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari