Sabtu, 27 Juli 2024

Anggota DPR Sebut Larangan Ekspor CPO Bikin Petani Sawit Sengsara

JAKARTA (RIUAPOS.CO) – Anggota Komisi VI DPR RI Rudi Hartono Bangun mempertanyakan mekanisme kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal larangan ekspor crude palm oil (CPO) per 28 April 2022. Menurut dia, larangan itu telah berdampak negatif pada petani sawit.

Dari penelusurannya, saat ini harga tandan buah segar (TBS) milik petani sawit sudah anjlok ke harga Rp 1.000 akibat kebijakan larangan ekspor. Pabrik CPO tak mau menerima TBS dari petani terlalu banyak.

- Advertisement -

Karena kapasitas tangki penyimpanan pabrik terbatas. Sebab pabrik juga memiliki simpanan TBS dari kebun. Sementara petani sawit tak memiliki tanki penyimpanan.

“Jadi posisi petani sawit ini serba salah, dijual harganya turun, tidak dijual barang jadi busuk,” ujar Rudi dalam keterangannya, Selasa (26/4/2022).

Ia menjelaskan bahwa di daerah pemilihannya (Sumatera Utara), mayoritas petani menggantungkan hidupnya dari kebun sawit. Para petani sawit kecil itu rata-rata memiliki kebun 2 hektare hingga 10 hektare, sementara petani kelas menengah memiliki 500 hektare hingga 1.000 hektare. 

- Advertisement -
Baca Juga:  Pemungut Pajak Digital Bertambah

“Selebihnya dikuasai perusahaan besar yang memiliki pabrik pengolahan. Ada jutaan petani sawit yang hidup hanya dari perkebunan kelapa sawit,” ungkap dia.

Belum lama ini, petani sawit di daerahnya juga mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi. Karena mulai tanggal 26 April 2022, pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) yang berada di Sumatera Utara tidak lagi menerima atau membeli buah sawit hasil panen dari kebun mereka, sampai batas waktu yang belum ditentukan.

’’Saya mendapat info dari masyarakat, perusahaan swasta PT RMM yang selama ini menampung sawit petani, tidak lagi membeli,” papar politisi Partai Nasdem itu.

Oleh karena itu dirinya mendesak pemerintah, ketimbang melarang ekspor CPO, lebih baik menghukum dan menjatuhkan sanksi keras kepada perusahaan-perusahaan CPO nakal.

Baca Juga:  INACA Minta Pemerintah Bikin Program ’Avtur Satu Harga’

“Saya mendukung penangkapan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Bahkan kalau perlu mengganti semua jajaran Kementerian Perdagangan, termasuk menterinya. Ibaratnya, kita mau menangkap 3 ekor tikus, tapi satu lumbug padi malah kita bakar,” tegas dia.

Dia menambahkan, sebaiknya pemerintah perlu mempertegas dan memperketat implementasi kebijakan domestic price obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). Jadi tidak perlu melarang ekspor, karena petani kecil yang menerima dampaknya.

“Perusahaan CPO besar harus kontrol ketat, begitupun dengan pejabat Kemendag harus diawasi ketat,” tegas Rudi.

Sumber: Jawapos.com

Editor: Edwar Yaman

 

 

JAKARTA (RIUAPOS.CO) – Anggota Komisi VI DPR RI Rudi Hartono Bangun mempertanyakan mekanisme kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal larangan ekspor crude palm oil (CPO) per 28 April 2022. Menurut dia, larangan itu telah berdampak negatif pada petani sawit.

Dari penelusurannya, saat ini harga tandan buah segar (TBS) milik petani sawit sudah anjlok ke harga Rp 1.000 akibat kebijakan larangan ekspor. Pabrik CPO tak mau menerima TBS dari petani terlalu banyak.

Karena kapasitas tangki penyimpanan pabrik terbatas. Sebab pabrik juga memiliki simpanan TBS dari kebun. Sementara petani sawit tak memiliki tanki penyimpanan.

“Jadi posisi petani sawit ini serba salah, dijual harganya turun, tidak dijual barang jadi busuk,” ujar Rudi dalam keterangannya, Selasa (26/4/2022).

Ia menjelaskan bahwa di daerah pemilihannya (Sumatera Utara), mayoritas petani menggantungkan hidupnya dari kebun sawit. Para petani sawit kecil itu rata-rata memiliki kebun 2 hektare hingga 10 hektare, sementara petani kelas menengah memiliki 500 hektare hingga 1.000 hektare. 

Baca Juga:  INACA Minta Pemerintah Bikin Program ’Avtur Satu Harga’

“Selebihnya dikuasai perusahaan besar yang memiliki pabrik pengolahan. Ada jutaan petani sawit yang hidup hanya dari perkebunan kelapa sawit,” ungkap dia.

Belum lama ini, petani sawit di daerahnya juga mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi. Karena mulai tanggal 26 April 2022, pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) yang berada di Sumatera Utara tidak lagi menerima atau membeli buah sawit hasil panen dari kebun mereka, sampai batas waktu yang belum ditentukan.

’’Saya mendapat info dari masyarakat, perusahaan swasta PT RMM yang selama ini menampung sawit petani, tidak lagi membeli,” papar politisi Partai Nasdem itu.

Oleh karena itu dirinya mendesak pemerintah, ketimbang melarang ekspor CPO, lebih baik menghukum dan menjatuhkan sanksi keras kepada perusahaan-perusahaan CPO nakal.

Baca Juga:  iPhone SE Terbaru Diprediksi Hadir Q2 2021

“Saya mendukung penangkapan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Bahkan kalau perlu mengganti semua jajaran Kementerian Perdagangan, termasuk menterinya. Ibaratnya, kita mau menangkap 3 ekor tikus, tapi satu lumbug padi malah kita bakar,” tegas dia.

Dia menambahkan, sebaiknya pemerintah perlu mempertegas dan memperketat implementasi kebijakan domestic price obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). Jadi tidak perlu melarang ekspor, karena petani kecil yang menerima dampaknya.

“Perusahaan CPO besar harus kontrol ketat, begitupun dengan pejabat Kemendag harus diawasi ketat,” tegas Rudi.

Sumber: Jawapos.com

Editor: Edwar Yaman

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari