“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (At-Taubah: 106).
Dalam surat At-Taubah ini diawali dengan lafazh ( Ø®ÙØ°Û¡) yang merupakan bentuk kata perintah (fi’il amr). Menurut Ar-Razi dalam kitab tafsirnya Mafatah al-Ghaib, perkataan tersebut menunjukkan pengambilan zakat dari harta muzakki bersifat wajib (obligatory). Adapun objek (mukhathab) dari perintah tersebut adalah Rasulullah yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya.
Sejalan dengan itu Az-Zuhaili dalam buku tafsirnya al-Munir menegaskan bahwa konteks perintah kepada Rasulullah dalam ayat tersebut merupakan konteks Rasulullah selaku kepala negara pemerintah Islam pada waktu itu. Dengan demikian perintah itu juga berlaku kepada para kepala negara setelahnya. Hal ini juga di laksanakan pada pemerintahan Abu bakar yang ketika itu banyak penentang zakat di masa beliau.
Diceritakan dalam hadist Bukhari dan Muslim “Demi Allah andaikan mereka menolak untuk memberikan anak kambing yang dulu mereka berikan kepada Rasulullah SAW., niscaya saya akan memerangi mereka atas penolakan tersebut”. Ada dua hikmah penting menurut As-Sya’rawi dalam bukunya Tafsir asy-sya’rawi pengelolaan zakat oleh pemerintah.
Pertama, terhindarnya mustahik dari aib karena menengadahkan tangannya untuk meminta zakat dari mustahik. Dengan adanya pengumpulan zakat oleh pemerintah musahik tidak perlu lagi menengadahkan tangannya karena mereka langsung menerimanya melalui pemerintah.
Kedua, terhindarnya mustahik terutama orang fakir dan miskin dari dampak psikologi negatif yang terjadi ketika menerima langsung dari muzakki. Selain itu, pengelolaan zakat oleh pemerintah juga akan menghilangkan rasa sombong bangga diri dari hati muzakki.
Namun demikian, praktik pengumpulan zakat ini juga berbeda dari beberapa negara muslim. Libya, Malaysia (di kesultanan yang berbeda), Pakistan, Arab Saudi, Sudan, dan Yaman mengumpulkan zakat melalui prakarsa pemerintah. Meskipun Bahrain, Bangladesh, Mesir, Iran, Irak, Yordania, Kuwait, Qatar, Indonesia dan Oman telah membentuk lembaga-lembaga public khusus, pembayaran zakat kepada lembaga pemerintah di negara-negara ini atas dasar sukarela. Sehingga dalam pelaksanaannya, pemerintah selanjutnya bisa menunjuk beberapa petugas yang menangani pengumpulan serta pendistribusian zakat yang dikenal dengan istilah amil zakat.
Dalam hadis muttafaq’alaih diceritakan ketika Mu’adz bin Jabal diutus oleh Rasulullah sebagai kepada negara untuk mengambil zakat di daerah Yaman. Rasulullah memberikan pesan kepada Mu’az untuk disampaikan kepada penduduk Yaman “Sesungguhnya allah mewajibkan kepada mereka zakat atas harta mereka yang diambil dari golongan kaya mereka dan dikembalikan kepada fakir miskin mereka”.
Istilah Amil ini, ulama mendefinisikan sebagai “seseorang yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mengumpulkan dan mendistribusikan harta zakat kepada orang yang berhak”. Sehigga dari definisi diatas dapat kita pahami bahwa amil merupakan petugas zakat yang mendapatkan legistimasi dari Imam (pemimpin negara). Hal ini juga sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 8 tahun 2011 tentang amil zakat yang menegaskan bahwa amil zakat merupakan seseorang atau kelompok yang diangkat oleh pemerintah untuk mengelola zakat dan seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh pemerintah untuk mengelola zakat.
Dalam konteks Indonesia, ada dua institusi yang mendapakan legistimasi oleh pemerintah yaitu Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang merupakan lembaga nasional untuk mengelola zakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang merupakan organisasi kemasyarakatan yang telah mendapatkan izin oleh pemerintah. Sehingga dari definisi amil yang dikemukakan oleh ulama dan Fatwa MUI 2011 di atas, itu juga membedakan antara amil dan panitia zakat (yang belum mendapatkan legistimasi oleh pemerintah). Seorang cendekiawan ekonomi Islam Abdul Wahid al-Faizin juga membedakan antara amil dan panitia zakat. Pertama, amil mendapatkan legalitas dari pemerintah. Kedua, amil statusnya adalah naib (pengganti) dari mustahik bahkan amil juga bagian dari mustahik itu sendiri. Sedangkan panitia yang bukan amil adalah wakil dari muzaki. Karena pada hakikatnya mereka membantu muzaki untuk menyalurkan zakatnya.
Sehingga akan memiliki konsekuensi bahwa zakat yang diberikan muzaki sudah dianggap sah jika sudah diserahkan pada amil. Sebaiknya, berbeda dengan panitia zakat yang bukan amil, zakat muzaki dianggap sah ketika zakat telah sampai kepada mustahik. Hal ini ditegaskan oleh Imam Nawawi “ketika wakil dianggap berhianat, maka kewajiban zakat tidak gugur dari muzaki karena tindakan wakil pada hakikatnya sama dengan tindakan muzaki. Dengan demikian zakat yang tidak sampai pada mustahik menjadikan tanggungan muzaki belum terbebas. Bebeda ketika zakat diserahkan pada imam (amil), maka kewajiban zakat dari muzaki gugur dengan hanya menyerahkan zakat pada imam (amil)”. Selanjutnya, karena zakat sudah dianggap sah jika sudah diserahkan pada amil, maka muzaki tidak wajib mengganti jika terjadi kekeliruan dalam penyaluran atau rusak ditangan amil.
Sehingga Imam An-Nawawi juga mengatakan bahwa “ulama syafi’i berkata, ulama tidak ada khilaf bahwa mendistribusikan zakat sendiri lebih utama dari pada diwakilkan karena dia bisa dipercaya untuk mendistribusikan sendiri berbeda dengan wakil.”
Ketiga, amil berhak mendapatkan bagian dari zakat, sedangkan panitia yang bukan amil tidak berhak mendapatkan bagian atas nama amil. Adapaun ketika panitia masuk dalam satu golongan seperti mustahik, maka dia mendapatkan hak zakat atas nama miskin bukan atas nama amil. Keempat, amil boleh mengambil biaya operasional dari zakat sedangkan panitia yang bukan amil tidak diperkenankan. Al-Syarbini menyebutkan dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj, “ketika memindahkan zakat diperkenankan atau wajib, maka biaya operasionalnya menjadi tanggung jawab pemilik harta. Namun ketika zakat tersebut diterima oleh petugas (amil) yang mengumpulkan dari pemilik harta, maka biaya operasionalnya diambilkan dari dana zakat”. Dalam hal ini juga ada beberapa pendapat di kalangan ulama terkait dengan bagian yang menjadi hak amil. Pertama, mendapatkan 1/8 dari dana zakat yang terkumpul. Ketika upah mereka melebihi dari 1/8 dari dana zakat, diambilkan dari keuangan negara. ini merupakan pendapat madzhab Syafi’i. Kedua, mendapatkan upah yang sesuai dengan kadar pekerjaannya. Ini merupakan pendapat dalam mazhab Hanafi dan Maliki. Namun, menurut madzhab Hanafi, upah untuk mereka tidak boleh melebihi dari separuh dana zakat.
Dengan demikian, terdapat solusi ketika panitia amil zakat fitrah menjadi amil. Panitia amil zakat dapat menjadi unit pengumpulan zakat pada Badan Amil Zakat/Lembaga Amil Zakat. Selanjutnya juga, berdasarkan PP No 14 Tahun 2014 pasal 66, amil zakat juga bisa berupa perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam atau alim ulama, atau pengurus/takmir masjid dengan cara melakukan pemberitahuan secara tetulis kepada kantor urusan Agama (KUA) kecamatan. Namun hal ini hanya berlaku bagi komunitas muslim yang berada di suatu wilayah yang secara geografis jaraknya cukup jauh dari BAZNAS dan LAZ serta tidak memiliki infrastruktur untuk membayar zakat kepada BAZNAS atau LAZ. Selain itu, solusi yang dapat dilakukan yaitu panitia amil zakat fitri diberikan jasa dari uang yang terpisah dari zakat yang dihimpun, seperti dari kas masjid dan lan-lain. Wallahu A’lam Bishawab.***
Masrizal, Pengurus MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) Riau