JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 yang menjerat mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara (JPB) murni kasus hukum. Politikus PDI Perjuangan itu diduga menerima suap dalam program bansos penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.
"Kemarin dari gelar perkara yang dihadirkan oleh seluruh penyelidik, penyidik dan penuntut umum serta struktur penindakan dan pimpinan KPK bersepakat diterapkan pasal penyuapan. Karena bukti permulaan yang ada itu adalah pasal-pasal penyuapan," kata Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri dikonfirmasi, Jumat (11/12).
Jeratan tersangka terhadap Juliari sempat memunculkan wacana penerapan ancaman hukuman mati. Karena Ketua KPK Firli Bahuri pernah berkali-kali menyatakan ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi anggaran Covid-19.
Terlebih, Juliari bersama Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemsos diduga menerima suap senilai sekitar Rp17 miliar dari Ardian dan Harry selaku rekanan Kemensos dalam pengadaan paket bansos. Padahal, pemerintah telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nonalam.
Sehingga ancaman hukuman mati tercantum dalam Pasal 2 UU Tipikor. Ali menyatakan, butuh waktu lama untuk membuktikan adanya kerugian negara dalam pengadaan bansos Covid-19, karena ancaman Pasal 2 UU Tipikor berlaku jika adanya kerugian negara. "Jadi tidak ada kemudian di situ langsung pasal 2 atau pasal 3, itu penyelidikan terbuka," ujar Ali.
Kendati demikian, juru bicara KPK berlatar belakang jaksa ini menyatakan akan mengembangkan perkara ini apakah ada kerugian negara atau tidak. Jika terdapat kerugian negara, tidak menutup kemungkinan akan menerapkan Pasal 2 UU Tipikor.
"Oleh karena itu tentu untuk perkara ini nanti melihat perkembangan penyidikan dari keterangan saksi-saksi, sejauh nanti bukti permulaan yang cukup untuk itu adanya pasal 2 dan 3. Kami pasti akan menerapkan Pasal 2 dan pasal 3 yang ada dugaan kerugian negara," tegas Ali.
Ali menyatakan, penerapan pasal 2 akan dikembangkan melalui keterangan saksi-saksi. Hal ini dilakukan melalui proses penyidikan yang dilakukan oleh tim penyidik lembaga antirasuah.
"Fakta-fakta nanti bisa diperoleh dalam proses penyidikan terbuka. Pasal 2 dan pasal 3 itu penyelesaiannya panjang karena berhubungan kerugian negara yang harus menetapkan bukan KPK, ini perlu melibatkan BPK dan BPKP," pungkas Ali.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka. Sebagai tersangka penerima suap di antaranya Juliari Peter Batubara selaku Menteri Sosial (Mensos); Matheus Joko Santoso (MJS) selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemensos dan Adi Wahyono (AW). Selain itu sebagai pemberi suap KPK menetapkan, Aardian I M (AIM) dan Harry Sidabuke (HS) selaku pihak swasta.
Sebagai Penerima MJS dan AW disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara itu, JPB disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi