JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Penerbangan jamaah haji Indonesia tinggal 25 hari lagi. Sampai kemarin (1/6), pemerintah belum memutuskan apakah menunda haji 2020 atau terus menunggu kebijakan Arab Saudi. Sejumlah kalangan menilai peluang penyelenggaraan haji tahun ini masih tetap terbuka di tengah pandemi corona (Covid-19).
Keterangan tersebut disampaikan ahli pandemi Dicky Budiman dalam seminar Berhaji di Masa Pandemi Covid-19 Mungkinkah? yang digelar Perhimpunan Kedokteran Haji Indonesia (Perdokhi), kemarin (1/6). Dicky mengatakan merujuk saat terjadi pandemi H1N1 atau flu babi pada 2009 lalu, pemerintah Arab Saudi tetap menyelenggarakan ibadah haji.
Meskipun sama-sama berstatus pandemi, jumlah kasus flu babi tidak sebanyak Covid-19. Laporan World Health Organization (WHO) menyebutkan ada 69 negara yang melaporkan kasus flu babi. Termasuk Arab Saudi dengan satu kasus dan di Indonesia dilaporkan ada 86 kasus. Angka itu tentu cukup jauh dengan jumlah kasus wabah Covid-19. Data hingga 31 Mei, jumlah kasus Covid-19 di Arab Saudi sebanyak 85.261 kasus dan 503 di antaranya meninggal (0,59 persen). Sedangkan data Covid-19 di Indonesia per 1 Juni ada 26.940 kasus dengan jumlah kematian 1.641 kasus (6,09 persen).
"Dalam hal setiap pandemi atau epidemi, hal yang sifatnya mengumpulkan manusia ini menjadi potensi (penularan, red) yang harus diwaspadai dan dihindari sebetulnya," terang Dicky.
Apalagi karakteristik penularan Covid-19 melalui droplet. Sementara karakteristik penyelenggaraan haji adalah terjadi kerumunan jutaan jamaah dalam waktu relatif lama. Menurutnya pada kegiatan akbar seperti haji, prinsip jaga jarak cukup sulit dilakukan. Kemudian lokasi kegiatannya juga relatif tidak luas. Misalnya jamaah haji pada waktu tertentu terkonsentrasi di Arafah. Kemudian juga terkonsentrasi di Mina dan di Masjidilharam di Makkah.
Kalaupun tahun ini penyelenggaraan haji ditunda, menurutnya bukan kejadian pertama kali. Sementara itu ketika terjadi pandemi H1N1 pada 2009 haji tetap digelar. Begitupun saat Arab Saudi dan negara sekitarnya diserang penyakit Middle East Respiratory Syndrome (SARS) di 2017, haji tetap digelar. Dicky mengatakan respons Arab Saudi terhadap wabah Covid-19 cukup bagus. Begitu pun dengan sistem kesehatannya juga bagus. Dia menjelaskan angka kesembuhannya mencapai 70 persen dan kamtiannya sekitar 0,5 persen. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan angka kematian Covid-19 di Indonesia.
"Sejak awal April Arab Saudi meningkatkan sistem kesehatannya," katanya.
Seperti meningkatkan kapasitas tracing dan testing. jumlah penduduk yang sudah dites di Arab Saudi mencapai 806 ribu lebih jiwa. Mereka terus berupaya melakukan tes untuk 50 ribu orang dalam sehari. Jumlah ini lima kali lebih banyak dibandingkan target tes pemerintah Indonesia.
Dia mengatakan masih terbuka peluang penyelenggaraan haji di tengah pandemi Covid-19. Namun bakal diterapkan dengan skenario khusus. Misalnya pemangkasan kuota haji 25 persen sampai 50 persen. Kemudian kewajiban setiap jamaah memiliki sertifikat kesehatan bebas Covid-19. Lalu, Arab Saudi juga bisa menerapkan kebijakan khusus tidak menerima jamaah haji dari negara-negara yang belum bisa mengendalikan wabah Covid-19.
Tantangan penyelenggaraan haji di tengah wabah Covid-19 tidak hanya berada di tangan Arab Saudi selaku tuan rumah. Tetapi juga dari negara-negara pengirim. Termasuk dari Indonesia. Di tengah waktu yang semakin dekat, tentu pemerintah Indonesia saat ini terus berhitung apakah mereka siap menyelenggarakan haji.
Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Perdokhi Muhammad Ilyas menuturkan sekitar 120 ribu sampai 150 ribu jamaah haji Indonesia yang berangkat setiap tahun merupakan kelompok risiko tinggi. Selain membawa penyakit yang sudah dialami selama ini, juga faktor lingkungan. Seperti polusi, cuaca, iklim, dan wabah seperti saat ini.
Dia mengatakan fakta wabah Covid-19 saat ini adalah penyakitnya mudah menular, pengobatan definitif belum tersedia, serta vaksin juga masih spekulasi.
"(Covid-19, red) juga memperburuk penyakit kronik yang sudah ada atau diderita," katanya.
Misalnya bagi penderita diabetes, jika ia terinfeksi Covid-19 maka penyakti diabetesnya mengalami pemburukan. Menurutnya dia sekitar 63 persen dari kuota jamaah haji Indonesia memiliki penyakit penyerta. Bahkan ada banyak yang penyakit penyertanya lebih dari satu. Sehingga menambah faktor risiko jika harus berhaji di tengah wabah Covid-19.
Menurut dia jika haji tahun ini diselenggarakan, bisa jadi jamaah wajib dikarantina di Arab Saudi maupun di Indonesia. Kemudian jika ada jamaah haji Indonesia terinfeksi Covid-19, bisa saja mendapatkan penolakan dari RS di Arab Saudi. Sebab RS di Arab Saudi juga sedang berjuang merawat warga setempat. Sehingga jamaah Indonesia yang dinyatakan terinfeksi Covid-19, bisa saja dipulangkan lebih awal atau tanazul.
"Bahkan sebelum (puncak, red) haji," jelasnya.
Kemudian saat jamaah haji itu pulang ke Tanah Air, berpotensi menjadi sumber penularan bagi keluarganya.
Dibukanya kembali Masjid Nabawi di Madinah juga membuat asa bahwa tahun ini haji tetap dilaksanakan bertambah. Sesuai kebijakan Raja Arab Saudi, sejak 31 Mei kemarin sudah diperbolehkan kembali pelaksanaan Salat Jumat dan salat rawatib atau lima waktu berjamaah di seluruh masjid di Arab Saudi. Termasuk di Masjid Nabawi.
Ketentuan ini dikecualikan untuk masjid-masjid di Kota Makkah. Di kota ini Salat Jumat dan salat wajib lima waktu berjamaah hanya dilakukan di Masjidilharam. Tetapi dengan jumlah jamaah yang sangat sedikit. Kebanyakan diikuti oleh petugas yang sehari-hari bekerja di Masjidilharam.
Berdasarkan dari sejumlah foto dan video, pelaksanaan salat berjamaah di Masjid Nabawi dilaksanakan dengan protokol kesehatan. Di antaranya adalah karpet masjid tidak digelar. Jamaah menggunakan karpet sendiri. Kemudian jarak antarjamaah juga dibatasi sekitar satu meter. Selain itu area raudhah yang berada di sekitar makam Rasulullah SAW masih ditutup.
Sebagaimana diketahui akibat wabah Covid-19 yang menyerang Arab Saudi, sudah sekitar dua bulan Masjid Nabawi ditutup untuk umum. Saat ini dengan adanya pembatasan atau jaga jarak, kapasitas jamaah dibatasi sekitar 40 persen dari kuota. Ketentuan ini juga berlaku untuk masjid lainnya.
Selain itu KBRI di Riyadh juga mengumumkan dibukanya kembali layanan di tengah pemberlakuan pelonggaran lockdown. KBRI Riyadh hanya menerima permohonan pembuatan paspor, kontrak atau perjanjian kerja, surat perjalanan laksa paspor (SPLP), dan legalisasi dokumen. Untuk periode 31 Maret–4 Juni ditetapkan hanya melayani 20 orang. Kemudian pada 7–11 Juni melayani 25 orang dan periode 14–18 Juni melayani 30 orang. Jam pelayanannya juga disesuaikan dengan ketentuan yang sudah diumumkan oleh KBRI Riyadh. Kemudian 21 Juni dan seterusnya pelayanan seperti biasa atau normal.
Ketentuan lainnya adalah para pemohon layanan diharuskan membuat temu janji (appointment) terlebih dahulu secara online melalui website yang sudah disiapkan KBRI Riyadh.
"Pemohon dapat diantar oleh maksimal satu orang pengantar yang dapat memasuki area KBRI Riyadh," kata Pelaksana Penerangan Sosial Budaya (Pensosbud) KBRI Riyadh Djoko Sulastomo.(wan/jpg)