Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Kemarau 2019 Diprediksi Lebih Kering

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan, musim kemarau tahun ini lebih kering dari 2018. Puncak musim kemarau diprediksi pada Agustus mendatang. Cuaca panas juga berpotensi memperburuk kualitas udara di perkotaan.

Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan menuturkan, musim kemarau 2019 dipengaruhi fenomena el nino. Meski, intensitasnya kecil. ”Oleh karena itu, musim kemarau 2019 akan terasa lebih kering dibandingkan 2018,” kata Dodo. Memasuki bulan Juli, hampir semua daerah di tanah air sudah mulai masuk musim kemarau.

Musim kemarau yang panas dan terik, lanjut dia, berpotensi meningkatkan polusi udara di perkotaan. Emisi gas yang dikeluarkan kendaraan bermotor maupun pabrik industri terperangkap di atmosfer. Kondisi tersebut membuat suhu di atmosfer lebih tinggi daripada suhu di permukaan bumi.

”Kondisi tersebut yang disebut sebagai inversi. Sehingga lapisan atmosfer susah untuk menguraikan polutan,” jelasnya. Tak ayal, cuaca saat ini menyebabkan polusi semakin meningkat. Yang tentunya membuat suhu udara di perkotaan semakin panas.

Baca Juga:  Microsoft di Indonesia, Menko Airlangga: Buka 60 Ribu Lapangan Kerja

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menuturkan, memasuki bulan Juni hingga September 2019, sebanyak 31 daerah dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah (Jateng) rawan kekeringan. Jumlah tersebut meliputi 1.259 desa dari 360 kecamatan yang ada di Jateng.

”Sampai hari ini kami sudah mengirim tangki air di desa yang mengalami kekeringan ke 10 kabupaten/kota. Di antaranya Semarang, Cilacap, Grobogan, Yemanggung, dan Blora,” jelasnya saat dihubungi Jawa Pos (JPG), kemarin.

Sementara ini, lanjut politikus PDI Perjuangan itu, bantuan tersebut masih tercukupi dari masing-masing APBD daerah. Dan, bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia serta pengusaha setempat. “Khusus dari APBD Jateng menyediakan dana Rp320 juta untuk 1.000 tangki air,” terang Ganjar.

Baca Juga:  Dukungan Paisal Kembali Menguat

Guru Besar bidang Tanah Universitas Gadjah Mada Azwar Maas mengatakan, kekeringan bisa diantisipasi dengan konservasi air. Lebih efisien dalam menggunakan air, membuat sumur resapan, dan embung atau kolam untuk menampung dan menyimpan air saat musim hujan.

Yang lebih penting, kata Azwar, adalah menjaga ekosistem hutan yang alami. Hutan terdiri dari tanaman yang sangat heterogen. Tidak monokultur seperti tanaman yang ada ditaman. Sebab, tanaman di hutan tumbuh secara alami. Mayoritas, memiliki akar tunggang yang kuat menancap ke dalam tanah untuk mencari air.

”Maka dari itu hutan tropis kaya dengan air. Sementara, tanaman di taman itu mereka cenderung mendapat suplai air. Justru itu yang harus kita kurangi. Menggunakan air secara bijak,” urai Azwar.(han/jpg)
Editor: Eko Faizin

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan, musim kemarau tahun ini lebih kering dari 2018. Puncak musim kemarau diprediksi pada Agustus mendatang. Cuaca panas juga berpotensi memperburuk kualitas udara di perkotaan.

Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan menuturkan, musim kemarau 2019 dipengaruhi fenomena el nino. Meski, intensitasnya kecil. ”Oleh karena itu, musim kemarau 2019 akan terasa lebih kering dibandingkan 2018,” kata Dodo. Memasuki bulan Juli, hampir semua daerah di tanah air sudah mulai masuk musim kemarau.

- Advertisement -

Musim kemarau yang panas dan terik, lanjut dia, berpotensi meningkatkan polusi udara di perkotaan. Emisi gas yang dikeluarkan kendaraan bermotor maupun pabrik industri terperangkap di atmosfer. Kondisi tersebut membuat suhu di atmosfer lebih tinggi daripada suhu di permukaan bumi.

”Kondisi tersebut yang disebut sebagai inversi. Sehingga lapisan atmosfer susah untuk menguraikan polutan,” jelasnya. Tak ayal, cuaca saat ini menyebabkan polusi semakin meningkat. Yang tentunya membuat suhu udara di perkotaan semakin panas.

- Advertisement -
Baca Juga:  Bupati: Jangan Mentang-mentang Zona Hijau, Kita Anggap Enteng

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menuturkan, memasuki bulan Juni hingga September 2019, sebanyak 31 daerah dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah (Jateng) rawan kekeringan. Jumlah tersebut meliputi 1.259 desa dari 360 kecamatan yang ada di Jateng.

”Sampai hari ini kami sudah mengirim tangki air di desa yang mengalami kekeringan ke 10 kabupaten/kota. Di antaranya Semarang, Cilacap, Grobogan, Yemanggung, dan Blora,” jelasnya saat dihubungi Jawa Pos (JPG), kemarin.

Sementara ini, lanjut politikus PDI Perjuangan itu, bantuan tersebut masih tercukupi dari masing-masing APBD daerah. Dan, bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia serta pengusaha setempat. “Khusus dari APBD Jateng menyediakan dana Rp320 juta untuk 1.000 tangki air,” terang Ganjar.

Baca Juga:  Kepala Sekolah Tewas Tergantung di Tepi Sungai, Diduga Dibunuh

Guru Besar bidang Tanah Universitas Gadjah Mada Azwar Maas mengatakan, kekeringan bisa diantisipasi dengan konservasi air. Lebih efisien dalam menggunakan air, membuat sumur resapan, dan embung atau kolam untuk menampung dan menyimpan air saat musim hujan.

Yang lebih penting, kata Azwar, adalah menjaga ekosistem hutan yang alami. Hutan terdiri dari tanaman yang sangat heterogen. Tidak monokultur seperti tanaman yang ada ditaman. Sebab, tanaman di hutan tumbuh secara alami. Mayoritas, memiliki akar tunggang yang kuat menancap ke dalam tanah untuk mencari air.

”Maka dari itu hutan tropis kaya dengan air. Sementara, tanaman di taman itu mereka cenderung mendapat suplai air. Justru itu yang harus kita kurangi. Menggunakan air secara bijak,” urai Azwar.(han/jpg)
Editor: Eko Faizin
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari