Selasa, 2 Desember 2025
spot_img

Kerusakan Hutan dan Bencana Alam di Sumatera

​PERISTIWA bencana alam tanah longsor dan banjir yang disertai dengan material kayu kembali terjadi. Kali ini, bencana tersebut melanda tidak hanya daerah-daerah di Provinsi Sumatera Barat, tetapi juga di Sumatera Utara dan Aceh. Kerusakan yang ditimbulkan juga semakin meluas, termasuk terputusnya akses jalan karena tertimbun material longsor dan banjir. Jembatan, sarana komunikasi, dan jaringan listrik juga terputus, sehingga beberapa daerah menjadi terisolasi dan tidak bisa dijangkau. Akibatnya, korban jiwa terus bertambah jumlahnya.

​Peristiwa ini dengan cepat tersebar secara masif ke seluruh pelosok negeri melalui berbagai cara, khususnya melalui media sosial. Dahsyatnya longsor dan banjir yang terjadi dapat dengan cepat diketahui, tidak harus menunggu liputan khusus dari media massa konvensional. Rasa empati dan keprihatinan muncul dari berbagai pihak di seluruh pelosok negeri, termasuk keprihatinan dari dunia internasional. Berbagai saluran dan cara penggalangan dana serta bantuan dilakukan oleh berbagai elemen untuk membantu korban bencana.

​Sampai saat ini, upaya pencarian korban terus dilakukan oleh pihak terkait, termasuk dengan swadaya masyarakat. Belum dapat diketahui secara pasti jumlah korban yang ditimbulkan oleh bencana ini. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 28 November 2025 yang dikutip dari salah satu media nasional, lebih dari 100 warga meninggal dunia di wilayah-wilayah tersebut. Banjir dan longsor yang terjadi juga menyebabkan banyak kerusakan, termasuk pada permukiman dan fasilitas umum.

​Pertanyaannya adalah, apakah bencana ini semata-mata disebabkan oleh fenomena alam? Berbagai pihak menganalisis bahwa selain faktor fenomena alam, bencana ini juga terjadi akibat kerusakan tutupan hutan di sekitar wilayah terdampak banjir. Fenomena yang terjadi adalah menurunnya daya tampung wilayah. Secara alami, saat air turun ke permukaan bumi, antara lain melalui hujan, sebagian air meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai limpasan (runoff). Proporsi antara keduanya sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah.

​Narasi yang menyebutkan hujan dengan intensitas tinggi merupakan penyebab utama banjir dan longsor di tiga provinsi tersebut, dianggap berbagai pihak hanya sebagai faktor lain. Faktor utamanya adalah kerusakan tutupan hutan. Belum ada informasi pasti tentang penyebab kerusakan tutupan hutan di kawasan tersebut. Dugaan adanya aktivitas penambangan ilegal dan pembalakan liar mulai mengemuka. Dugaan ini bukan berarti tidak ada dasarnya, berbagai informasi beredar mengatakan kalau saat ini sudah ada kegiatan penambangan yang patut digali kembali informasinya, termasuk apakah itu berizin atau tidak.

​Secara teori, peristiwa alam yang terjadi seperti bencana banjir dan longsor tidak akan terlepas dari kondisi kerusakan kawasan hutan. Salah satu tutupan hutan yang menjadi ciri khas pulau Sumatera adalah tutupan hutan sepanjang Bukit Barisan. Bukit Barisan adalah rangkaian pegunungan di sepanjang Pulau Sumatera yang membentang sekitar 1.650 km dari ujung utara (Aceh) hingga ujung selatan (Lampung), sering disebut sebagai “tulang punggung” pulau itu. Pegunungan ini penting karena menjadi sumber air bagi banyak sungai besar di Sumatra dan merupakan rumah bagi beragam keanekaragaman hayati, termasuk gunung berapi aktif seperti Gunung Kerinci (puncak tertingginya), Gunung Marapi, Gunung Singgalang, dan ekosistem penting di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Baca Juga:  Korban Bencana Sumatra Tembus 303 Jiwa, Tiga Provinsi Lumpuh Diterjang Banjir Bandang

​Menurut Wikipedia, disebut “Bukit Barisan” karena berbentuk jajaran pegunungan yang saling sambung-menyambung dan memanjang sejajar di Pulau Sumatra. Kenapa disebut ”bukit” dan bukan ”gunung” adalah karena dalam terminologi Melayu lama, kedua nama ini sebenarnya identik. Sebagai tulang punggung Sumatera, Bukit Barisan berperan penting sebagai sumber air dari semua sungai besar di pulau ini. Terdapat banyak sungai yang bermuara di pantai barat Samudra Hindia, ataupun yang bermuara di pantai timur Selat Malaka. Sungai-sungai tersebut sebagian besar berhulu di Bukit Barisan.

​Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik terkait Perusahaan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan/HPH pada 2006, Sumatera masih merupakan pulau dengan jumlah perusahaan terbanyak kedua, setelah Kalimantan. Terdapat 48 HPH dengan total konsesi 2,4 juta hektar. Secara luas konsesi, Sumatra menempati peringkat ketiga setelah Kalimantan seluas 12,8 juta hektar dan Papua seluas 9,9 juta hektar. Di bawah Sumatera, berturut-turut adalah Maluku dan Sulawesi. Pada tahun tersebut, total produksi kayu bulat dari tangan HPH tercatat 7,9 juta meter kubik. Dari total tersebut, Sumatera menyumbang sebanyak 1,4 juta meter kubik.

​Kemudian, hampir dua dekade belakangan ini, volume produksi itu menyusut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2024, kini produksi kayu bulat secara nasional hanya sekitar 4,25 juta meter kubik, yang mengalami tren penurunan tajam. Jumlah pemegang HPH juga menciut. Total nasional, pemegang HPH saat ini sekitar 178 perusahaan, dan 11 di antaranya beroperasi di Sumatera. Dari data yang sama, produksi kayu hutan Sumatera surut. Kini hanya tersisa 593 ribu meter kubik, dengan sumbangan terbesar dari Akasia. Posisi Sumatera digeser oleh Maluku, Nusa Tenggara, dan Sulawesi.

​Untuk Sumatera, penggundulan hutan bahkan menyentuh separuh deforestasi netto. Artinya, antara reboisasi versus penggundulan, Sumatera masih mengalami defisit sekitar 78.030,6 hektare, separuh total nasional yang menyentuh 175.437,7 hektare. Deforestasi netto terbesar terjadi di Provinsi Riau. Selanjutnya, tiga provinsi yang mengalami bencana banjir dan longsor, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, ikut menyumbang angka deforestasi netto.

​Peristiwa banjir dan longsor tidak hanya terjadi saat ini, bahkan di Provinsi Sumatera Barat belum lama ini terjadi pula dengan fenomena bencana yang sama. Semestinya semua pihak, khususnya pemerintah, lebih banyak belajar dari peristiwa banjir dan longsor di tiga daerah ini. Kita semua meyakini, tidak ingin peristiwa ini kembali terjadi di waktu yang akan datang. Untuk itu, patut dilakukan upaya strategis yang menjadi tekad bersama agar peristiwa yang sama tidak terulang. Upaya strategis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

Baca Juga:  Polisi Sita Chainsaw dan Tangkap Enam Pelaku Illegal Logging di Hutan Perbatasan

​Pertama, patut meninjau ulang tata ruang yang ada saat ini. Proses ini bertujuan untuk meninjau dan menyesuaikan kembali rencana penggunaan lahan agar sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan dinamika pembangunan terkini. Perubahan tutupan hutan yang terjadi saat ini terjadi karena eksplorasi manusia dengan dalih pertimbangan ekonomi. Melalui peninjauan tata ruang, dapat disesuaikan wilayah-wilayah yang patut dijaga atau dikembalikan fungsinya, khususnya fungsi ekologis.

​Kedua, penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan. Penegakan hukum dilakukan dalam rangka memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk memastikan praktik ilegal dalam menjaga hutan dapat ditiadakan. Selain melalui penegakan hukum, upaya ini juga diharapkan dapat melindungi dan mengelola lingkungan melalui pencegahan, pengawasan, dan penerapan sanksi yang tegas bagi pelanggar. Upaya penegakan hukum ini dapat didukung dengan penggunaan teknologi digital, termasuk penggunaan satelit dalam memantau dan menganalisis kegiatan ilegal dalam kawasan hutan.

​Ketiga, melakukan reboisasi atau menanam kembali pohon di area yang telah rusak dan menghutankan lahan yang sebelumnya tidak berhutan. Upaya ini terkesan klasik, tetapi memang menjadi kebutuhan dalam melakukan mitigasi akibat kerusakan kawasan hutan. Upaya ini diharapkan dapat dilakukan secara efektif, yang meliputi perencanaan matang mulai dari pemilihan lokasi dan jenis pohon lokal yang sesuai.

Dalam pelaksanaannya, juga diharapkan benar, termasuk penanaman di musim hujan, teknik yang tepat, dan perawatan berkelanjutan (penyiraman, pemupukan, dan perlindungan). Kunci keberhasilan lainnya adalah melibatkan masyarakat secara aktif dan memanfaatkan teknologi seperti pemetaan satelit.

​Keempat, melakukan kampanye penyelamatan hutan secara masif dan berkelanjutan. Peristiwa bencana yang sering terjadi, termasuk banjir dan longsor, sebenarnya dapat menjadi momentum untuk secara bersama melakukan upaya penyelamatan hutan. Kampanye penyelamatan hutan juga diharapkan dapat melibatkan masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di sekitar hutan.

​Upaya penyelamatan hutan diharapkan tidak hanya sebatas slogan. Pemerintah sebagai pengambil keputusan diharapkan lebih responsif dan tidak hanya sebatas wacana. Peristiwa bencana alam banjir dan longsor yang terjadi di tiga daerah ini setidaknya menjadi pembelajaran bersama untuk menjaga hutan. Harapannya adalah dapat memunculkan kesadaran kolektif untuk menjaga hutan sesuai dengan posisi dan kapasitas masing-masing. Semoga.***

Hasan Supriyanto, Sekretaris Wilayah Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Wilayah Riau

​PERISTIWA bencana alam tanah longsor dan banjir yang disertai dengan material kayu kembali terjadi. Kali ini, bencana tersebut melanda tidak hanya daerah-daerah di Provinsi Sumatera Barat, tetapi juga di Sumatera Utara dan Aceh. Kerusakan yang ditimbulkan juga semakin meluas, termasuk terputusnya akses jalan karena tertimbun material longsor dan banjir. Jembatan, sarana komunikasi, dan jaringan listrik juga terputus, sehingga beberapa daerah menjadi terisolasi dan tidak bisa dijangkau. Akibatnya, korban jiwa terus bertambah jumlahnya.

​Peristiwa ini dengan cepat tersebar secara masif ke seluruh pelosok negeri melalui berbagai cara, khususnya melalui media sosial. Dahsyatnya longsor dan banjir yang terjadi dapat dengan cepat diketahui, tidak harus menunggu liputan khusus dari media massa konvensional. Rasa empati dan keprihatinan muncul dari berbagai pihak di seluruh pelosok negeri, termasuk keprihatinan dari dunia internasional. Berbagai saluran dan cara penggalangan dana serta bantuan dilakukan oleh berbagai elemen untuk membantu korban bencana.

​Sampai saat ini, upaya pencarian korban terus dilakukan oleh pihak terkait, termasuk dengan swadaya masyarakat. Belum dapat diketahui secara pasti jumlah korban yang ditimbulkan oleh bencana ini. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 28 November 2025 yang dikutip dari salah satu media nasional, lebih dari 100 warga meninggal dunia di wilayah-wilayah tersebut. Banjir dan longsor yang terjadi juga menyebabkan banyak kerusakan, termasuk pada permukiman dan fasilitas umum.

​Pertanyaannya adalah, apakah bencana ini semata-mata disebabkan oleh fenomena alam? Berbagai pihak menganalisis bahwa selain faktor fenomena alam, bencana ini juga terjadi akibat kerusakan tutupan hutan di sekitar wilayah terdampak banjir. Fenomena yang terjadi adalah menurunnya daya tampung wilayah. Secara alami, saat air turun ke permukaan bumi, antara lain melalui hujan, sebagian air meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai limpasan (runoff). Proporsi antara keduanya sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah.

​Narasi yang menyebutkan hujan dengan intensitas tinggi merupakan penyebab utama banjir dan longsor di tiga provinsi tersebut, dianggap berbagai pihak hanya sebagai faktor lain. Faktor utamanya adalah kerusakan tutupan hutan. Belum ada informasi pasti tentang penyebab kerusakan tutupan hutan di kawasan tersebut. Dugaan adanya aktivitas penambangan ilegal dan pembalakan liar mulai mengemuka. Dugaan ini bukan berarti tidak ada dasarnya, berbagai informasi beredar mengatakan kalau saat ini sudah ada kegiatan penambangan yang patut digali kembali informasinya, termasuk apakah itu berizin atau tidak.

- Advertisement -

​Secara teori, peristiwa alam yang terjadi seperti bencana banjir dan longsor tidak akan terlepas dari kondisi kerusakan kawasan hutan. Salah satu tutupan hutan yang menjadi ciri khas pulau Sumatera adalah tutupan hutan sepanjang Bukit Barisan. Bukit Barisan adalah rangkaian pegunungan di sepanjang Pulau Sumatera yang membentang sekitar 1.650 km dari ujung utara (Aceh) hingga ujung selatan (Lampung), sering disebut sebagai “tulang punggung” pulau itu. Pegunungan ini penting karena menjadi sumber air bagi banyak sungai besar di Sumatra dan merupakan rumah bagi beragam keanekaragaman hayati, termasuk gunung berapi aktif seperti Gunung Kerinci (puncak tertingginya), Gunung Marapi, Gunung Singgalang, dan ekosistem penting di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Baca Juga:  Solusi Islam Terhadap Masalah Ekonomi

​Menurut Wikipedia, disebut “Bukit Barisan” karena berbentuk jajaran pegunungan yang saling sambung-menyambung dan memanjang sejajar di Pulau Sumatra. Kenapa disebut ”bukit” dan bukan ”gunung” adalah karena dalam terminologi Melayu lama, kedua nama ini sebenarnya identik. Sebagai tulang punggung Sumatera, Bukit Barisan berperan penting sebagai sumber air dari semua sungai besar di pulau ini. Terdapat banyak sungai yang bermuara di pantai barat Samudra Hindia, ataupun yang bermuara di pantai timur Selat Malaka. Sungai-sungai tersebut sebagian besar berhulu di Bukit Barisan.

- Advertisement -

​Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik terkait Perusahaan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan/HPH pada 2006, Sumatera masih merupakan pulau dengan jumlah perusahaan terbanyak kedua, setelah Kalimantan. Terdapat 48 HPH dengan total konsesi 2,4 juta hektar. Secara luas konsesi, Sumatra menempati peringkat ketiga setelah Kalimantan seluas 12,8 juta hektar dan Papua seluas 9,9 juta hektar. Di bawah Sumatera, berturut-turut adalah Maluku dan Sulawesi. Pada tahun tersebut, total produksi kayu bulat dari tangan HPH tercatat 7,9 juta meter kubik. Dari total tersebut, Sumatera menyumbang sebanyak 1,4 juta meter kubik.

​Kemudian, hampir dua dekade belakangan ini, volume produksi itu menyusut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2024, kini produksi kayu bulat secara nasional hanya sekitar 4,25 juta meter kubik, yang mengalami tren penurunan tajam. Jumlah pemegang HPH juga menciut. Total nasional, pemegang HPH saat ini sekitar 178 perusahaan, dan 11 di antaranya beroperasi di Sumatera. Dari data yang sama, produksi kayu hutan Sumatera surut. Kini hanya tersisa 593 ribu meter kubik, dengan sumbangan terbesar dari Akasia. Posisi Sumatera digeser oleh Maluku, Nusa Tenggara, dan Sulawesi.

​Untuk Sumatera, penggundulan hutan bahkan menyentuh separuh deforestasi netto. Artinya, antara reboisasi versus penggundulan, Sumatera masih mengalami defisit sekitar 78.030,6 hektare, separuh total nasional yang menyentuh 175.437,7 hektare. Deforestasi netto terbesar terjadi di Provinsi Riau. Selanjutnya, tiga provinsi yang mengalami bencana banjir dan longsor, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, ikut menyumbang angka deforestasi netto.

​Peristiwa banjir dan longsor tidak hanya terjadi saat ini, bahkan di Provinsi Sumatera Barat belum lama ini terjadi pula dengan fenomena bencana yang sama. Semestinya semua pihak, khususnya pemerintah, lebih banyak belajar dari peristiwa banjir dan longsor di tiga daerah ini. Kita semua meyakini, tidak ingin peristiwa ini kembali terjadi di waktu yang akan datang. Untuk itu, patut dilakukan upaya strategis yang menjadi tekad bersama agar peristiwa yang sama tidak terulang. Upaya strategis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

Baca Juga:  Riau Lanjutkan Operasi Modifikasi Cuaca Tahap 3 untuk Kendalikan Karhutla

​Pertama, patut meninjau ulang tata ruang yang ada saat ini. Proses ini bertujuan untuk meninjau dan menyesuaikan kembali rencana penggunaan lahan agar sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan dinamika pembangunan terkini. Perubahan tutupan hutan yang terjadi saat ini terjadi karena eksplorasi manusia dengan dalih pertimbangan ekonomi. Melalui peninjauan tata ruang, dapat disesuaikan wilayah-wilayah yang patut dijaga atau dikembalikan fungsinya, khususnya fungsi ekologis.

​Kedua, penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan. Penegakan hukum dilakukan dalam rangka memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk memastikan praktik ilegal dalam menjaga hutan dapat ditiadakan. Selain melalui penegakan hukum, upaya ini juga diharapkan dapat melindungi dan mengelola lingkungan melalui pencegahan, pengawasan, dan penerapan sanksi yang tegas bagi pelanggar. Upaya penegakan hukum ini dapat didukung dengan penggunaan teknologi digital, termasuk penggunaan satelit dalam memantau dan menganalisis kegiatan ilegal dalam kawasan hutan.

​Ketiga, melakukan reboisasi atau menanam kembali pohon di area yang telah rusak dan menghutankan lahan yang sebelumnya tidak berhutan. Upaya ini terkesan klasik, tetapi memang menjadi kebutuhan dalam melakukan mitigasi akibat kerusakan kawasan hutan. Upaya ini diharapkan dapat dilakukan secara efektif, yang meliputi perencanaan matang mulai dari pemilihan lokasi dan jenis pohon lokal yang sesuai.

Dalam pelaksanaannya, juga diharapkan benar, termasuk penanaman di musim hujan, teknik yang tepat, dan perawatan berkelanjutan (penyiraman, pemupukan, dan perlindungan). Kunci keberhasilan lainnya adalah melibatkan masyarakat secara aktif dan memanfaatkan teknologi seperti pemetaan satelit.

​Keempat, melakukan kampanye penyelamatan hutan secara masif dan berkelanjutan. Peristiwa bencana yang sering terjadi, termasuk banjir dan longsor, sebenarnya dapat menjadi momentum untuk secara bersama melakukan upaya penyelamatan hutan. Kampanye penyelamatan hutan juga diharapkan dapat melibatkan masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di sekitar hutan.

​Upaya penyelamatan hutan diharapkan tidak hanya sebatas slogan. Pemerintah sebagai pengambil keputusan diharapkan lebih responsif dan tidak hanya sebatas wacana. Peristiwa bencana alam banjir dan longsor yang terjadi di tiga daerah ini setidaknya menjadi pembelajaran bersama untuk menjaga hutan. Harapannya adalah dapat memunculkan kesadaran kolektif untuk menjaga hutan sesuai dengan posisi dan kapasitas masing-masing. Semoga.***

Hasan Supriyanto, Sekretaris Wilayah Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Wilayah Riau

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

​PERISTIWA bencana alam tanah longsor dan banjir yang disertai dengan material kayu kembali terjadi. Kali ini, bencana tersebut melanda tidak hanya daerah-daerah di Provinsi Sumatera Barat, tetapi juga di Sumatera Utara dan Aceh. Kerusakan yang ditimbulkan juga semakin meluas, termasuk terputusnya akses jalan karena tertimbun material longsor dan banjir. Jembatan, sarana komunikasi, dan jaringan listrik juga terputus, sehingga beberapa daerah menjadi terisolasi dan tidak bisa dijangkau. Akibatnya, korban jiwa terus bertambah jumlahnya.

​Peristiwa ini dengan cepat tersebar secara masif ke seluruh pelosok negeri melalui berbagai cara, khususnya melalui media sosial. Dahsyatnya longsor dan banjir yang terjadi dapat dengan cepat diketahui, tidak harus menunggu liputan khusus dari media massa konvensional. Rasa empati dan keprihatinan muncul dari berbagai pihak di seluruh pelosok negeri, termasuk keprihatinan dari dunia internasional. Berbagai saluran dan cara penggalangan dana serta bantuan dilakukan oleh berbagai elemen untuk membantu korban bencana.

​Sampai saat ini, upaya pencarian korban terus dilakukan oleh pihak terkait, termasuk dengan swadaya masyarakat. Belum dapat diketahui secara pasti jumlah korban yang ditimbulkan oleh bencana ini. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 28 November 2025 yang dikutip dari salah satu media nasional, lebih dari 100 warga meninggal dunia di wilayah-wilayah tersebut. Banjir dan longsor yang terjadi juga menyebabkan banyak kerusakan, termasuk pada permukiman dan fasilitas umum.

​Pertanyaannya adalah, apakah bencana ini semata-mata disebabkan oleh fenomena alam? Berbagai pihak menganalisis bahwa selain faktor fenomena alam, bencana ini juga terjadi akibat kerusakan tutupan hutan di sekitar wilayah terdampak banjir. Fenomena yang terjadi adalah menurunnya daya tampung wilayah. Secara alami, saat air turun ke permukaan bumi, antara lain melalui hujan, sebagian air meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai limpasan (runoff). Proporsi antara keduanya sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah.

​Narasi yang menyebutkan hujan dengan intensitas tinggi merupakan penyebab utama banjir dan longsor di tiga provinsi tersebut, dianggap berbagai pihak hanya sebagai faktor lain. Faktor utamanya adalah kerusakan tutupan hutan. Belum ada informasi pasti tentang penyebab kerusakan tutupan hutan di kawasan tersebut. Dugaan adanya aktivitas penambangan ilegal dan pembalakan liar mulai mengemuka. Dugaan ini bukan berarti tidak ada dasarnya, berbagai informasi beredar mengatakan kalau saat ini sudah ada kegiatan penambangan yang patut digali kembali informasinya, termasuk apakah itu berizin atau tidak.

​Secara teori, peristiwa alam yang terjadi seperti bencana banjir dan longsor tidak akan terlepas dari kondisi kerusakan kawasan hutan. Salah satu tutupan hutan yang menjadi ciri khas pulau Sumatera adalah tutupan hutan sepanjang Bukit Barisan. Bukit Barisan adalah rangkaian pegunungan di sepanjang Pulau Sumatera yang membentang sekitar 1.650 km dari ujung utara (Aceh) hingga ujung selatan (Lampung), sering disebut sebagai “tulang punggung” pulau itu. Pegunungan ini penting karena menjadi sumber air bagi banyak sungai besar di Sumatra dan merupakan rumah bagi beragam keanekaragaman hayati, termasuk gunung berapi aktif seperti Gunung Kerinci (puncak tertingginya), Gunung Marapi, Gunung Singgalang, dan ekosistem penting di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Baca Juga:  Refleksi HUT Ke-236 Pekanbaru: Jadikan Pekanbaru Metropolitan, Bukan Kampung Besar

​Menurut Wikipedia, disebut “Bukit Barisan” karena berbentuk jajaran pegunungan yang saling sambung-menyambung dan memanjang sejajar di Pulau Sumatra. Kenapa disebut ”bukit” dan bukan ”gunung” adalah karena dalam terminologi Melayu lama, kedua nama ini sebenarnya identik. Sebagai tulang punggung Sumatera, Bukit Barisan berperan penting sebagai sumber air dari semua sungai besar di pulau ini. Terdapat banyak sungai yang bermuara di pantai barat Samudra Hindia, ataupun yang bermuara di pantai timur Selat Malaka. Sungai-sungai tersebut sebagian besar berhulu di Bukit Barisan.

​Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik terkait Perusahaan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan/HPH pada 2006, Sumatera masih merupakan pulau dengan jumlah perusahaan terbanyak kedua, setelah Kalimantan. Terdapat 48 HPH dengan total konsesi 2,4 juta hektar. Secara luas konsesi, Sumatra menempati peringkat ketiga setelah Kalimantan seluas 12,8 juta hektar dan Papua seluas 9,9 juta hektar. Di bawah Sumatera, berturut-turut adalah Maluku dan Sulawesi. Pada tahun tersebut, total produksi kayu bulat dari tangan HPH tercatat 7,9 juta meter kubik. Dari total tersebut, Sumatera menyumbang sebanyak 1,4 juta meter kubik.

​Kemudian, hampir dua dekade belakangan ini, volume produksi itu menyusut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2024, kini produksi kayu bulat secara nasional hanya sekitar 4,25 juta meter kubik, yang mengalami tren penurunan tajam. Jumlah pemegang HPH juga menciut. Total nasional, pemegang HPH saat ini sekitar 178 perusahaan, dan 11 di antaranya beroperasi di Sumatera. Dari data yang sama, produksi kayu hutan Sumatera surut. Kini hanya tersisa 593 ribu meter kubik, dengan sumbangan terbesar dari Akasia. Posisi Sumatera digeser oleh Maluku, Nusa Tenggara, dan Sulawesi.

​Untuk Sumatera, penggundulan hutan bahkan menyentuh separuh deforestasi netto. Artinya, antara reboisasi versus penggundulan, Sumatera masih mengalami defisit sekitar 78.030,6 hektare, separuh total nasional yang menyentuh 175.437,7 hektare. Deforestasi netto terbesar terjadi di Provinsi Riau. Selanjutnya, tiga provinsi yang mengalami bencana banjir dan longsor, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, ikut menyumbang angka deforestasi netto.

​Peristiwa banjir dan longsor tidak hanya terjadi saat ini, bahkan di Provinsi Sumatera Barat belum lama ini terjadi pula dengan fenomena bencana yang sama. Semestinya semua pihak, khususnya pemerintah, lebih banyak belajar dari peristiwa banjir dan longsor di tiga daerah ini. Kita semua meyakini, tidak ingin peristiwa ini kembali terjadi di waktu yang akan datang. Untuk itu, patut dilakukan upaya strategis yang menjadi tekad bersama agar peristiwa yang sama tidak terulang. Upaya strategis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

Baca Juga:  Merefres Kebersamaan Pasca Pemilu

​Pertama, patut meninjau ulang tata ruang yang ada saat ini. Proses ini bertujuan untuk meninjau dan menyesuaikan kembali rencana penggunaan lahan agar sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan dinamika pembangunan terkini. Perubahan tutupan hutan yang terjadi saat ini terjadi karena eksplorasi manusia dengan dalih pertimbangan ekonomi. Melalui peninjauan tata ruang, dapat disesuaikan wilayah-wilayah yang patut dijaga atau dikembalikan fungsinya, khususnya fungsi ekologis.

​Kedua, penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan. Penegakan hukum dilakukan dalam rangka memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk memastikan praktik ilegal dalam menjaga hutan dapat ditiadakan. Selain melalui penegakan hukum, upaya ini juga diharapkan dapat melindungi dan mengelola lingkungan melalui pencegahan, pengawasan, dan penerapan sanksi yang tegas bagi pelanggar. Upaya penegakan hukum ini dapat didukung dengan penggunaan teknologi digital, termasuk penggunaan satelit dalam memantau dan menganalisis kegiatan ilegal dalam kawasan hutan.

​Ketiga, melakukan reboisasi atau menanam kembali pohon di area yang telah rusak dan menghutankan lahan yang sebelumnya tidak berhutan. Upaya ini terkesan klasik, tetapi memang menjadi kebutuhan dalam melakukan mitigasi akibat kerusakan kawasan hutan. Upaya ini diharapkan dapat dilakukan secara efektif, yang meliputi perencanaan matang mulai dari pemilihan lokasi dan jenis pohon lokal yang sesuai.

Dalam pelaksanaannya, juga diharapkan benar, termasuk penanaman di musim hujan, teknik yang tepat, dan perawatan berkelanjutan (penyiraman, pemupukan, dan perlindungan). Kunci keberhasilan lainnya adalah melibatkan masyarakat secara aktif dan memanfaatkan teknologi seperti pemetaan satelit.

​Keempat, melakukan kampanye penyelamatan hutan secara masif dan berkelanjutan. Peristiwa bencana yang sering terjadi, termasuk banjir dan longsor, sebenarnya dapat menjadi momentum untuk secara bersama melakukan upaya penyelamatan hutan. Kampanye penyelamatan hutan juga diharapkan dapat melibatkan masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di sekitar hutan.

​Upaya penyelamatan hutan diharapkan tidak hanya sebatas slogan. Pemerintah sebagai pengambil keputusan diharapkan lebih responsif dan tidak hanya sebatas wacana. Peristiwa bencana alam banjir dan longsor yang terjadi di tiga daerah ini setidaknya menjadi pembelajaran bersama untuk menjaga hutan. Harapannya adalah dapat memunculkan kesadaran kolektif untuk menjaga hutan sesuai dengan posisi dan kapasitas masing-masing. Semoga.***

Hasan Supriyanto, Sekretaris Wilayah Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Wilayah Riau

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari