Pertanyaan:
Bagaimana cara menentukan awal Ramadan menurut Al-Qur’an dan sunnah. Siapakah yang berwenang untuk menetapkan 1 syawal (tentunya menurut Al-Qur’an dan hadits)? Dan apakah kita harus mengikuti Makkah dalam memasuki Ramadan atau Syawal?
Dari Adi
Panam

Jawaban
- Ada dua cara yang telah diajarkan Rasulullah menetapkan awal Ramadan, dan telah pula disepakati para ulama, yaitu dengan ru’yatul hilal dan ikmal.
Pertama, dengan melihat bulan atau dalam bahasa Arabnya ru`yatul hilal. Cara ini dilakukan dengan memperhatikan terbitnya bulan di hari ke 29 bulan sya`ban sore hari saat matahari terbenam di ufuk barat.Apabila bulan sabit terlihat walaupun sangat kecil dan dalam waktu pendek, itu berarti umat Islam telah memasuki tanggal 1 bulan Ramadan.Hal itu juga berarti bulan sya`ban umurnya hanya 29 hari. Besoknya adalah bulan baru, yaitu bulan Ramadan dan ditetapkan untuk melakukan ibadah Ramadan seperti shalat tarawih, makan sahur dan mulai berpuasa.
Kedua, menyempurnakan bulan atau ikmal, yaitu menggenapkan umur bulan sya`ban menjadi 30 hari bila bulan sabit awal Ramadan sama sekali tidak terlihat. Bulan sya`ban ditetapkan menjadi 30 hari dan puasa Ramadan baru dilaksanakan lusanya.
Perintah untuk melakukan ru`yatul hilal dan ikmal ini didasari atas perintah Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Abu Hurairah yang artinya: “Puasalah dengan melihat bulan dan berbuka dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka sempurnakan hitungan sya`ban menjadi 30 hari”
Kemudian yang berwenang menetapkan awal Ramadan dan syawal adalah pemerintah. Seseorang yang bukan ulama, bukan ahli ru’yat atau ahli hisab, para muqaalid dan muttabi. Jadwal puasanya mesti mengikuti umat Islam umumnya di suatu negeri.
Jika ternyata 50 persen ulama mengatakan Idulfitri jatuh hari A dan 50 persen lagi mengatakan hari B, lalu mana yang kita pilih? Dalam hal ini syariah Islam memberikan kewenangan dan hak untuk menengahi perbedaan pendapat di kalangan umat kepada pemerintah, seperti pemerintah berhak untuk menjadi wali atas wanita yang tidak punya wali untuk menikah.pemerintah resmi yang berkuasa diberikan wewenang dan otoritas untuk menetapkan jatuhnya puasa dan lebaran, di tengah perbedaan pendapat dari para ahli ilmu, ahli hisab dan ahli falak.
Kewenangan seperti ini bukan tanpa dalil, justru kita menemukan begitu banyak dalil yang menegaskan hal itu. Bahkan para ulama sejak dulu telah menyatakan bahwa urusan seperti ini serahkan saja kepada pemerintah yang sah. Kalau pun pemerintah itu salah secara sengaja dan berbohong misalnya, maka dosanya kan mereka yang tanggung.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) berpuasalah bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.”
Ia juga berkata berdalil dengan hadits nabi SAW yang artinya: “tangan Allah bersama Al-Jama’ah.” Apa yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal kemudian diamini para ulama hingga sekarang ini.
- Beberapa ulama yang berpendapat setiap negara tergantung kepada ru`yah di negara masing-masing, jika mathla`nya berbeda. Mereka berdalil dengan perbuatan Abdullah bin Abbas saat di Madinah yang tidak mempedulikan ru`yah penduduk Syam.
Saat itu orang-orang Syam telah melihat bulan di malam Jumat dan berpuasa berdasar dengan ru`yah itu di zaman Mu`awiyah. Adapun penduduk Madinah, mereka tidak melihat bulan kecuali di malam Sabtu. Abdullah bin Abbas saat diberitahu Kuraib penduduk Syam telah melihat bulan dan berpuasa, ia berkata yang artinya:
“Kami telah melihatnya di malam Sabtu, tapi kami tetap berpuasa sampai melihat bulan atau menyempurnakan jumlah.
”Abdullah bin Abbas juga berdalil dengan sabda nabi yang artinya: “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal.”
Imam Syafi`i berpendapat bila ada seorang melihat bulan, maka hukumnya hanya mengikat pada negeri yang dekat saja, sedangkan negeri yang jauh memeliki hukum sendiri. Ini didasarkan pada prinsip ihktilaful mathali` atau beragamnya tempat terbitnya bulan.Ukuran jauh dekatnya adalah 24 farsakh atau 133, 057 km. Jadi hukumnya hanya mengikat pada wilayah sekitar jarak itu. Sedangkan di luar jarak tersebut, tidak terikat hukum ruk`yatul hilal. Dasar pendapat ini adalah hadits Kuraib dan hadits Umar, juga qiyas perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika.
Wallahu a’lamu bisshawab.***