Rabu, 12 Maret 2025
spot_img

Buku Kampung Nyamuk: Percikan Sejarah Rakyat Pekanbaru (1)

Tentang Sejarah Lokal yang Terlupakan

Selama ini, setiap orang bicara tentang tapak awal lahirnya Pekanbaru, kampung Senapelan selalu menjadi jawabannya. Namun, ternyata banyak sumber yang menjelaskan ada kampung lain yang juga layak dikedepankan. Salah satunya Kampung Nyamuk.

RIAUPOS.CO – PENULISAN sejarah lokal di Indonesia terus berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu sejarah. Jika sebelumnya penulisan sejarah hanya selalu berhubungan dan dikaitkan dengan persoalan politik masa lalu, juga tentang orang-orang besar, namun seiring waktu, ilmu sejarah meluaskan ruangnya, termasuk metodologi yang dipakainya. Dalam buku Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (1992), Sartono Kartodirdjo menjelaskan tentang perekembangan itu.

Dengan pendekatan multidisiplin ilmu, cakupan ruang penulisan sejarah menjadi sangat luas. Saat ini banyak berkembang penulisan sejarah di banyak aspek kehidupan masyarakat, dan tidak hanya tentang politik, perang, dan orang besar. Sekarang banyak ditulis sejarah yang dulu jarang ditulis. Misalnya sejarah petani dan pertanian, sejarah perkebunan, sejarah kehutanan, sejarah kelautan, sejarah ekonomi, termasuk sejarah lokal jika dilihat dari ruang lingkupnya.

Khusus sejarah lokal, menurut Sartono pada buku yang sama, merupakan kumpulan peristiwa yang terjadi pada lokasi yang kecil, desa atau kota kecil pada umumnya,  yang tidak menarik perhatian karena tidak mempunyai dampak luas. Namun, ada kalanya sejarah lokal sangat menarik perhatian karena melihat permasalahan mengenai manusia secara khusus atau spesifik dan di dalamnya terkandung pola-pola tertentu yang merupakan bahan perbandingan dengan kasus lain. Misalnya Sejarah Montaque di daerah Pegunungan Prancis Selatan sangat terkenal karena menggambarkan dengan rinci kehidupan sebuah desa yang penuh dengan ungkapan kehidupan pribadi, hubungan rahasia, intrik-intrik, dan lain sebagainya.

Sejarawan senior lainnya, Taufik Abdullah, dalam buku Sejarah Lokal di Indonesia (1985), menjelaskan, sejarah lokal adalah kisah masa lampau dari kelompok masyarakat tertentu dari letak geografis tertentu, terkandung suatu peristiwa dalam lokasi yang kecil baik desa atau tempat tertentu atau wilayah administratif seperti kota dan kabupaten, kata lokal itu berarti menunjukan tempat atau wilayah, lokal tidak identik dengan nama kota karena lokal itu sendiri dapat juga menceritakan sebuah kelompok masyarakat. Misalnya jika seorang sejarawan meneliti tentang sejarah masyarakat Minangkabau tidak identik dengan sejarah Sumatera Bara. Sebab, yang pertama adalah konsep etnis-kultural yang selalu bergerak, sedangkan yang kedua ditentukan oleh politik administratif.

Tergerak untuk menyusun sejarah lokal inilah, Muhammad Amin MS, wartawan Riau Pos yang menulis banyak genre, melakukan penelitian selama dua tahun dan akhirnya menerbitkan buku Kampung Nyamuk: Percikan Sejarah Rakyat Pekanbaru (September 2023). Buku ini diterbitkan oleh penerbit Taman Karya yang didukung oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru lewat Dinas Perpustakaan dan Arsip Kota Pekanbaru. Menurut Amin, buku ini diharapkan bisa menjadi wacana yang menjelaskan tentang sebuah wilayah di salah satu sudut Pekanbaru, yakni Kampung Nyamuk. Kampung  ini adalah salah satu kampung tertua di Pekanbaru selain Senapelan, yang menjadi cikal-bakal berkembangnya Pekanbaru menjadi kota metropolitan seperti sekarang.

“Banyak orang yang mengatakan tidak ada penduduk asli di Pekanbaru, semuanya pendatang. Namun dalam buku ini saya menemukan fakta, jika pun tidak disebut penduduk asli, tetapi penduduk Kampung Nyamuk sudah sangat lama mendiami wilayah yang kini disebut Pekanbaru ini,” kata lelaki yang menyelesaikan S-1 di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini, Kamis (6/2/2025).

Dijelaskan Amin, buku ini bercerita tentang sebagian kecil  rakyat Pekanbaru yang terlupakan dalam kitab sejarah. Bagaimanapun sejarah Pekanbaru selalu identik dengan Senapelan. Tentu, kata dia, itu tidak salah, karena ibarat tanaman, Senapelan adalah pohon (sajarah) utama kota ini. Akan tetapi, muncul pula dahan dan ranting dari sejarah utama itu.

Baca Juga:  Diskusi Menteri Dikdasmen dengan Pegawai UPT di Riau Menjadikan Bahasa, Sastra, dan Literasi Fondasi Pendidikan

Dijelaskannya, dalam peta digital Koninklijk Instituut voor de Taal Land en Volkenkunde Ned. -Indie (KITLV) Universiteit Leiden, 1932, menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-20, telah ada pertumbuhan baru di sekitar Senapelan. Peta KITLV 1903 lebih dini menggambarkan soal daerah ini. Kawasan itu adalah Perhentian Njamoek (Perhentian Nyamuk). Seperti namanya, Perhentian Nyamuk, kawasan ini merupakan tempat perhentian kaum pedagang yang kemudian mengkristal menjadi perkampungan. Selain Kampung Perhentian Nyamuk yang berada di batu tiga, di Jalan Bangkinang, ada juga Perhentian Marapoejan (Marpoyan) di batu dua belas (12 km) dari destinasi akhir Senapelan.

“Kawasan-kawasan itu menunjukkan bahwa jelang menjadi kota modern, Pekanbaru telah memiliki kawasan perkembangan awal yang terlupakan,” kata lelaki yang juga menulis beberapa novel ini.

Peta KITLV 1936 kemudian menunjukkan beberapa onderneming (yakni perkebunan) keret baru. Selain Onderneming Soekadjadi dan Tjinta Radja yang sudah ada sejak era Perhentian Njamoek, muncul juga perkebunan Roembai dan Leboeai yang dibuka perusahaan asal Jepang, Okura Sumatora Nojo. Nama-nama itu, yakni Sukajadi, Cinta Raja, Rumbai, Labuai, bahkan Okura, kini diabadikan menjadi nama kecamatan dan kelurahan di Pekanbaru.

Nama Nyamuk, katanya, memang juga diabadikan, tapi “hanya” menjadi sebuah kompleks pemda, yakni Kompleks Nyamuk. Padahal Kompleks Nyamuk hanya sebagian kecil dari Kampung Nyamuk. Ada sisi lain Kampung Nyamuk yang awalnya bernama Perhentian Nyamuk ini yang tidak pernah diceritakan. Menurutnya, percikan sejarah rakyat di bagian selatan Pekanbaru era awal ini yang tidak pernah disentuh para penulis sejarah sebelumnya.

Perlu waktu cukup lama bagi alumni S-2 UIN Sultan Syarif Kasim ini untuk menyelesaikan buku tersebut. Katanya, setelah setidaknya dua tahun  (2021-2023), karya ini bisa dia wujudkan secara utuh sebagai sebuah buku. Rencana buku ini sebenarnya bukan hanya dua tahun, melainkan jauh lebih dini. Sejak remaja dia sudah berpikir tentang Kampung Nyamuk yang sudah saya dengar namanya ketika itu.

Amin menuturkan, sejak tahun 1980-an, ketika orang-orang Kampung Nyamuk sudah menyebar, dibentuklah wadah silaturahmi bernama Ikatan Keluarga Kampung Nyamuk (IKKN). Dengan makin membesarnya keluarga ini, masing-masing kemudian membentuk ikatan keluarga sendiri, sejak era 1990-an. Sebab, paling tidak ada empat puak besar dari orang-orang Kampung Nyamuk. Yakni Kampar, Gasib, Jawa, dan Sungai Penuh (Kerinci, Jambi), serta beberapa kelompok kecil. Sejak saat itu, nama Kampung Nyamuk sudah jarang terdengar karena yang muncul adalah nama keluarga atau asal masing-masing.

Ide pembuatan buku muncul kembali saat silaturahmi Idul Fitri. Konkretnya, baru sejak tahun 2019 Amin dan beberapa orang yang tergabung dalam tim mendiskusikan rencana buku ini. Diskusi itu terjadi saat awal Covid-19. Awalnya hanya untuk membuat “buku sejarah keluarga”, tapi kemudian berkembang jadi buku sejarah kota.

Penulisan buku ini berangkat dari rencana pembuatan buku internal tentang Kampung Nyamuk, sebuah lokasi di sekitar Masjid Ar-Rahman di Jalan Sudirman sekarang. Maka sumber awalnya adalah orang-orang tua yang masih hidup yang bercerita tentang kampung ini, sejarahnya, asal orang-orangnya, dan apa jejak yang mereka tinggalkan. Sumbernya kemudian diperkuat dengan beberapa literatur, yang selengkapnya di daftar pustaka buku tersebut.

Dalam buku Sejarah Pekanbaru (1980) karya Wan Galib, misalnya, diungkapkan bahwa pada 1947, ketika Pekanbaru berstatus Haminte atau Kota B, batas utara dan selatan kota ini adalah Sungai Siak dan Sungai Nyamuk. Sungai Nyamuk mengalir di antara Kampung Perhentian Nyamuk yang berada di selatan kota ini. Artinya nama “Nyamuk” sudah ada ketika itu. Yang agak unik dan “aneh”, kebanyakan orang Pekanbaru tahu hanya tentang Kompleks Nyamuk, yakni kompleks Pemda Riau, sejak 1960-an. Padahal, jauh sebelum itu, yakni ketika “zaman batu” berlaku di kota ini —ketika tempat ditentukan dengan batu satu, batu dua, dan seterusnya– perkampungan ini sudah ada. Sekitar satu abad sebelum status Kota B, kampung tua di sekitar Sungai Nyamuk ini telah terbentuk. Itulah Kampung Perhentian Njamoek. Peta digital Universiteit Leiden 1932 mencatatnya dengan detil. Bahkan peta KITLV 1903 sudah mencantumkan nama Perhentian Nyamuk.

Baca Juga:  Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2024, Upaya Internasionalisasi Kompleks Candi Muara Jambi

“Dari rangkaian wawancara dan kajian literatur, akhirnya saya bisa menjelaskan bahwa kelompok masyarakat di km 3, yakni batu tiga, Jalan Bangkinang, yang kemudian dinamakan sebagai Kampung Perhentian Nyamuk, sudah terbentuk pada era 1800-1900-an. Kawasan ini mengkristal menjadi sebuah kampung sebelum abad ke-20. Orang Pekanbaru awalnya memang di Senapelan. Tetapi pada era 1800-1900 itu, tak hanya Senapelan yang berkembang,” jelas jurnalis dua kali peraih Piala Adinegoro, lomba bergensi jurnalis Indonesia ini.

Untuk mendapatkan dan pengayaan bahan, banyak narasumber dari orang-orang tua Kampung Nyamuk yang dia gali dan telusuri. Tapi, katanya, itu tidak mudah. Dalam perjalanan menelusuri sejarah Kampung Nyamuk ini, dia mendapati juga beberapa tokoh Kampung Nyamuk yang tidak bersedia diwawancarai atau sekadar didapatkan cerita awal darinya.

Beberapa orang tua lainnya yang dalam rencana akan diwawancarai, ternyata baru beberapa hari sebelumnya meninggal dunia. Padahal, beberapa hari sebelumnya, sang sumber ini dalam kondisi sehat dan masih bisa bercerita dengan baik. Yang lainnya sudah lama meninggal atau sakit-sakitan. Ada juga narasumber yang awalnya sehat, tapi ketika wawancara lanjutan ternyata sakit dan tidak bisa lagi diwawancarai. Amin merasa sudah pesimis tidak akan mendapatkan kisah awal yang baik dari rencana pembuatan buku Kampung Nyamuk ini.

Akhirnya dia mendapatkan satu narasumber penting ketika bertemu dengan cucu angkat Mbah Nyamuk —salah satu tokoh sentral Kampung Nyamuk, yakni Suyatmi. Penjelasannya tentang Mbah Nyamuk ternyata begitu rinci dan runtut. Suyatmi dapat menceritakan tentang Mbah Nyamuk dengan begitu menarik dan menggugah. Makanya, semangat menulis dia pun kembali membuncah. Satu per satu narasumber kunci dia datangi. Makin banyak mewawancarai narasumber, maka makin yakin dia jika Kampung Nyamuk memang merupakan bagian sejarah Pekanbaru yang tercecer dalam buku-buku sejarah kota ini. Ternyata kampung ini begitu banyak mengandung kisah dan nilai sejarah.

“Apa yang saya tulis akhirnya hanya sebagian kecil dari banyak cerita yang saya dapatkan. Informasi yang saya dapatkan dari berbagai narasumber itu ternyata begitu kaya, beragam, unik, dan faktual. Akan tetapi untuk menjadi sebuah buku yang berkaitan dengan bagian sejarah Kota Pekanbaru, saya memilahnya sedemikian rupa,” jelasnya.

Katanya, banyak kisah tentang para orang dahulu dalam konteks ini yang tidak bisa dimuat untuk menjadi buku sejarah. Hasil diskusinya dengan akademisi dan peneliti, yakni UU Hamidy, penelitian sejarah memang seperti itu. Tidak semua hasil wawancara bisa dijadikan bahan untuk penulisan buku, apalagi dalam penelitian sosial dengan narasumber untuk mengupas tokoh-tokoh besar sejarah. Sebab, narasumber yang diwawancarai begitu kagum kepada mereka, sehingga cerita yang disampaikannya terkadang dibumbui banyak hal yang berbau mistis, spektakuler, dan sering tidak masuk akal. Ternyata, kata Amin, bagi peneliti sejarah, hal itu merupakan sesuatu yang biasa dan menjadi tantangan tersendiri untuk dapat dituliskan dengan jernih.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Selama ini, setiap orang bicara tentang tapak awal lahirnya Pekanbaru, kampung Senapelan selalu menjadi jawabannya. Namun, ternyata banyak sumber yang menjelaskan ada kampung lain yang juga layak dikedepankan. Salah satunya Kampung Nyamuk.

RIAUPOS.CO – PENULISAN sejarah lokal di Indonesia terus berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu sejarah. Jika sebelumnya penulisan sejarah hanya selalu berhubungan dan dikaitkan dengan persoalan politik masa lalu, juga tentang orang-orang besar, namun seiring waktu, ilmu sejarah meluaskan ruangnya, termasuk metodologi yang dipakainya. Dalam buku Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (1992), Sartono Kartodirdjo menjelaskan tentang perekembangan itu.

Dengan pendekatan multidisiplin ilmu, cakupan ruang penulisan sejarah menjadi sangat luas. Saat ini banyak berkembang penulisan sejarah di banyak aspek kehidupan masyarakat, dan tidak hanya tentang politik, perang, dan orang besar. Sekarang banyak ditulis sejarah yang dulu jarang ditulis. Misalnya sejarah petani dan pertanian, sejarah perkebunan, sejarah kehutanan, sejarah kelautan, sejarah ekonomi, termasuk sejarah lokal jika dilihat dari ruang lingkupnya.

Khusus sejarah lokal, menurut Sartono pada buku yang sama, merupakan kumpulan peristiwa yang terjadi pada lokasi yang kecil, desa atau kota kecil pada umumnya,  yang tidak menarik perhatian karena tidak mempunyai dampak luas. Namun, ada kalanya sejarah lokal sangat menarik perhatian karena melihat permasalahan mengenai manusia secara khusus atau spesifik dan di dalamnya terkandung pola-pola tertentu yang merupakan bahan perbandingan dengan kasus lain. Misalnya Sejarah Montaque di daerah Pegunungan Prancis Selatan sangat terkenal karena menggambarkan dengan rinci kehidupan sebuah desa yang penuh dengan ungkapan kehidupan pribadi, hubungan rahasia, intrik-intrik, dan lain sebagainya.

Sejarawan senior lainnya, Taufik Abdullah, dalam buku Sejarah Lokal di Indonesia (1985), menjelaskan, sejarah lokal adalah kisah masa lampau dari kelompok masyarakat tertentu dari letak geografis tertentu, terkandung suatu peristiwa dalam lokasi yang kecil baik desa atau tempat tertentu atau wilayah administratif seperti kota dan kabupaten, kata lokal itu berarti menunjukan tempat atau wilayah, lokal tidak identik dengan nama kota karena lokal itu sendiri dapat juga menceritakan sebuah kelompok masyarakat. Misalnya jika seorang sejarawan meneliti tentang sejarah masyarakat Minangkabau tidak identik dengan sejarah Sumatera Bara. Sebab, yang pertama adalah konsep etnis-kultural yang selalu bergerak, sedangkan yang kedua ditentukan oleh politik administratif.

Tergerak untuk menyusun sejarah lokal inilah, Muhammad Amin MS, wartawan Riau Pos yang menulis banyak genre, melakukan penelitian selama dua tahun dan akhirnya menerbitkan buku Kampung Nyamuk: Percikan Sejarah Rakyat Pekanbaru (September 2023). Buku ini diterbitkan oleh penerbit Taman Karya yang didukung oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru lewat Dinas Perpustakaan dan Arsip Kota Pekanbaru. Menurut Amin, buku ini diharapkan bisa menjadi wacana yang menjelaskan tentang sebuah wilayah di salah satu sudut Pekanbaru, yakni Kampung Nyamuk. Kampung  ini adalah salah satu kampung tertua di Pekanbaru selain Senapelan, yang menjadi cikal-bakal berkembangnya Pekanbaru menjadi kota metropolitan seperti sekarang.

“Banyak orang yang mengatakan tidak ada penduduk asli di Pekanbaru, semuanya pendatang. Namun dalam buku ini saya menemukan fakta, jika pun tidak disebut penduduk asli, tetapi penduduk Kampung Nyamuk sudah sangat lama mendiami wilayah yang kini disebut Pekanbaru ini,” kata lelaki yang menyelesaikan S-1 di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini, Kamis (6/2/2025).

Dijelaskan Amin, buku ini bercerita tentang sebagian kecil  rakyat Pekanbaru yang terlupakan dalam kitab sejarah. Bagaimanapun sejarah Pekanbaru selalu identik dengan Senapelan. Tentu, kata dia, itu tidak salah, karena ibarat tanaman, Senapelan adalah pohon (sajarah) utama kota ini. Akan tetapi, muncul pula dahan dan ranting dari sejarah utama itu.

Baca Juga:  (Kurikulum) Sastra

Dijelaskannya, dalam peta digital Koninklijk Instituut voor de Taal Land en Volkenkunde Ned. -Indie (KITLV) Universiteit Leiden, 1932, menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-20, telah ada pertumbuhan baru di sekitar Senapelan. Peta KITLV 1903 lebih dini menggambarkan soal daerah ini. Kawasan itu adalah Perhentian Njamoek (Perhentian Nyamuk). Seperti namanya, Perhentian Nyamuk, kawasan ini merupakan tempat perhentian kaum pedagang yang kemudian mengkristal menjadi perkampungan. Selain Kampung Perhentian Nyamuk yang berada di batu tiga, di Jalan Bangkinang, ada juga Perhentian Marapoejan (Marpoyan) di batu dua belas (12 km) dari destinasi akhir Senapelan.

“Kawasan-kawasan itu menunjukkan bahwa jelang menjadi kota modern, Pekanbaru telah memiliki kawasan perkembangan awal yang terlupakan,” kata lelaki yang juga menulis beberapa novel ini.

Peta KITLV 1936 kemudian menunjukkan beberapa onderneming (yakni perkebunan) keret baru. Selain Onderneming Soekadjadi dan Tjinta Radja yang sudah ada sejak era Perhentian Njamoek, muncul juga perkebunan Roembai dan Leboeai yang dibuka perusahaan asal Jepang, Okura Sumatora Nojo. Nama-nama itu, yakni Sukajadi, Cinta Raja, Rumbai, Labuai, bahkan Okura, kini diabadikan menjadi nama kecamatan dan kelurahan di Pekanbaru.

Nama Nyamuk, katanya, memang juga diabadikan, tapi “hanya” menjadi sebuah kompleks pemda, yakni Kompleks Nyamuk. Padahal Kompleks Nyamuk hanya sebagian kecil dari Kampung Nyamuk. Ada sisi lain Kampung Nyamuk yang awalnya bernama Perhentian Nyamuk ini yang tidak pernah diceritakan. Menurutnya, percikan sejarah rakyat di bagian selatan Pekanbaru era awal ini yang tidak pernah disentuh para penulis sejarah sebelumnya.

Perlu waktu cukup lama bagi alumni S-2 UIN Sultan Syarif Kasim ini untuk menyelesaikan buku tersebut. Katanya, setelah setidaknya dua tahun  (2021-2023), karya ini bisa dia wujudkan secara utuh sebagai sebuah buku. Rencana buku ini sebenarnya bukan hanya dua tahun, melainkan jauh lebih dini. Sejak remaja dia sudah berpikir tentang Kampung Nyamuk yang sudah saya dengar namanya ketika itu.

Amin menuturkan, sejak tahun 1980-an, ketika orang-orang Kampung Nyamuk sudah menyebar, dibentuklah wadah silaturahmi bernama Ikatan Keluarga Kampung Nyamuk (IKKN). Dengan makin membesarnya keluarga ini, masing-masing kemudian membentuk ikatan keluarga sendiri, sejak era 1990-an. Sebab, paling tidak ada empat puak besar dari orang-orang Kampung Nyamuk. Yakni Kampar, Gasib, Jawa, dan Sungai Penuh (Kerinci, Jambi), serta beberapa kelompok kecil. Sejak saat itu, nama Kampung Nyamuk sudah jarang terdengar karena yang muncul adalah nama keluarga atau asal masing-masing.

Ide pembuatan buku muncul kembali saat silaturahmi Idul Fitri. Konkretnya, baru sejak tahun 2019 Amin dan beberapa orang yang tergabung dalam tim mendiskusikan rencana buku ini. Diskusi itu terjadi saat awal Covid-19. Awalnya hanya untuk membuat “buku sejarah keluarga”, tapi kemudian berkembang jadi buku sejarah kota.

Penulisan buku ini berangkat dari rencana pembuatan buku internal tentang Kampung Nyamuk, sebuah lokasi di sekitar Masjid Ar-Rahman di Jalan Sudirman sekarang. Maka sumber awalnya adalah orang-orang tua yang masih hidup yang bercerita tentang kampung ini, sejarahnya, asal orang-orangnya, dan apa jejak yang mereka tinggalkan. Sumbernya kemudian diperkuat dengan beberapa literatur, yang selengkapnya di daftar pustaka buku tersebut.

Dalam buku Sejarah Pekanbaru (1980) karya Wan Galib, misalnya, diungkapkan bahwa pada 1947, ketika Pekanbaru berstatus Haminte atau Kota B, batas utara dan selatan kota ini adalah Sungai Siak dan Sungai Nyamuk. Sungai Nyamuk mengalir di antara Kampung Perhentian Nyamuk yang berada di selatan kota ini. Artinya nama “Nyamuk” sudah ada ketika itu. Yang agak unik dan “aneh”, kebanyakan orang Pekanbaru tahu hanya tentang Kompleks Nyamuk, yakni kompleks Pemda Riau, sejak 1960-an. Padahal, jauh sebelum itu, yakni ketika “zaman batu” berlaku di kota ini —ketika tempat ditentukan dengan batu satu, batu dua, dan seterusnya– perkampungan ini sudah ada. Sekitar satu abad sebelum status Kota B, kampung tua di sekitar Sungai Nyamuk ini telah terbentuk. Itulah Kampung Perhentian Njamoek. Peta digital Universiteit Leiden 1932 mencatatnya dengan detil. Bahkan peta KITLV 1903 sudah mencantumkan nama Perhentian Nyamuk.

Baca Juga:  Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2024, Sebuah Ikhtiar Mempertahankan Bahasa Daerah

“Dari rangkaian wawancara dan kajian literatur, akhirnya saya bisa menjelaskan bahwa kelompok masyarakat di km 3, yakni batu tiga, Jalan Bangkinang, yang kemudian dinamakan sebagai Kampung Perhentian Nyamuk, sudah terbentuk pada era 1800-1900-an. Kawasan ini mengkristal menjadi sebuah kampung sebelum abad ke-20. Orang Pekanbaru awalnya memang di Senapelan. Tetapi pada era 1800-1900 itu, tak hanya Senapelan yang berkembang,” jelas jurnalis dua kali peraih Piala Adinegoro, lomba bergensi jurnalis Indonesia ini.

Untuk mendapatkan dan pengayaan bahan, banyak narasumber dari orang-orang tua Kampung Nyamuk yang dia gali dan telusuri. Tapi, katanya, itu tidak mudah. Dalam perjalanan menelusuri sejarah Kampung Nyamuk ini, dia mendapati juga beberapa tokoh Kampung Nyamuk yang tidak bersedia diwawancarai atau sekadar didapatkan cerita awal darinya.

Beberapa orang tua lainnya yang dalam rencana akan diwawancarai, ternyata baru beberapa hari sebelumnya meninggal dunia. Padahal, beberapa hari sebelumnya, sang sumber ini dalam kondisi sehat dan masih bisa bercerita dengan baik. Yang lainnya sudah lama meninggal atau sakit-sakitan. Ada juga narasumber yang awalnya sehat, tapi ketika wawancara lanjutan ternyata sakit dan tidak bisa lagi diwawancarai. Amin merasa sudah pesimis tidak akan mendapatkan kisah awal yang baik dari rencana pembuatan buku Kampung Nyamuk ini.

Akhirnya dia mendapatkan satu narasumber penting ketika bertemu dengan cucu angkat Mbah Nyamuk —salah satu tokoh sentral Kampung Nyamuk, yakni Suyatmi. Penjelasannya tentang Mbah Nyamuk ternyata begitu rinci dan runtut. Suyatmi dapat menceritakan tentang Mbah Nyamuk dengan begitu menarik dan menggugah. Makanya, semangat menulis dia pun kembali membuncah. Satu per satu narasumber kunci dia datangi. Makin banyak mewawancarai narasumber, maka makin yakin dia jika Kampung Nyamuk memang merupakan bagian sejarah Pekanbaru yang tercecer dalam buku-buku sejarah kota ini. Ternyata kampung ini begitu banyak mengandung kisah dan nilai sejarah.

“Apa yang saya tulis akhirnya hanya sebagian kecil dari banyak cerita yang saya dapatkan. Informasi yang saya dapatkan dari berbagai narasumber itu ternyata begitu kaya, beragam, unik, dan faktual. Akan tetapi untuk menjadi sebuah buku yang berkaitan dengan bagian sejarah Kota Pekanbaru, saya memilahnya sedemikian rupa,” jelasnya.

Katanya, banyak kisah tentang para orang dahulu dalam konteks ini yang tidak bisa dimuat untuk menjadi buku sejarah. Hasil diskusinya dengan akademisi dan peneliti, yakni UU Hamidy, penelitian sejarah memang seperti itu. Tidak semua hasil wawancara bisa dijadikan bahan untuk penulisan buku, apalagi dalam penelitian sosial dengan narasumber untuk mengupas tokoh-tokoh besar sejarah. Sebab, narasumber yang diwawancarai begitu kagum kepada mereka, sehingga cerita yang disampaikannya terkadang dibumbui banyak hal yang berbau mistis, spektakuler, dan sering tidak masuk akal. Ternyata, kata Amin, bagi peneliti sejarah, hal itu merupakan sesuatu yang biasa dan menjadi tantangan tersendiri untuk dapat dituliskan dengan jernih.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari