Jumat, 27 Desember 2024

Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2024, Upaya Internasionalisasi Kompleks Candi Muara Jambi

Selama hampir seminggu, arkeolog, sejarawan, sastrawan, dan ilmuwan lainnya mengikuti Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2024. Sebuah upaya internasionalisasi Kompleks Candi Muara Jambi sebagai salah satu warisan dunia.

UNTUK pertama kalinya, perhelatan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) XIII digelar di luar Jawa. Rangkaian kegiatan BWCF 2024 digelar di Jambi. Untuk acara pembukaan diselenggarakan di sebuah hotel di Kota Jambi, sedangkan seluruh kegiatan setelah itu digelar di Kompleks Candi Muara Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, 19-23 November. Tema yang diusung adalah “Membaca Ulang Hubungan Muara Jambi-Nalanda dan Arca-Arca Sumatra (Mengenang Setyawati Suleiman)”.

BWCF 2024 mengangkat khazanah tentang percandian, arca, prasasti, keramik, dan pelabuhan kuno di Sumatra. Hal itu dilakukan pihak penyelenggara setelah mengangkat arkeologi Jawa dan Bali dengan tema Arca Durga dan Arca Ganesha selama dua tahun berturut-turut, 2022 dan 2023.

Topik tersebut diambil untuk menyambut kebijakan pemerintah yang akan melakukan revitalisasi terhadap Kawasan Cagar Budaya Nasional Muara Jambi. Topik itu juga diambil untuk menyambut pendirian museum baru di Muara Jambi. Untuk menyambut keduanya, BWCF membaca ulang secara utuh situs Muara Jambi dan juga arkeologi Sumatra. Hal ini dilakukan setelah para arkeolog melakukan pemugaran terhadap beberapa candi di Muara Jambi selama tiga tahun terakhir. Selama acara berlansung, masih terlihat para pekerja melakukan pembangunan infrastruktur pendukung untuk pembangunan museum tersebut. Selain memperbaiki sarana jalan dan pendukung lainnya, juga beberapa bangunan pendukung lainnya.

Saat acara pembukaan, salah seorang kurator kegiatan, Prof Dr Cecep Eka Purnama, menjelaskan, Kompleks Candi Muara Jambi adalah situs penting sebagai pendukung Kerajaan Sriwijaya dalam menjalankan roda pemerintahannya, terutama dalam  pembangunan kebudayaan spiritual, yakni agama Budha. Melalui BWCF diharapkan bisa  membantu pemerintah untuk meningkatkan daya tarik Muara Jambi sebagai wisata warisan budaya dan wisata pemikiran Buddhisme internasional yang dapat mendorong perekonomian daerah.

Tak hanya itu, perhelatan juga dilakukan setelah penemuan baru arkeologi Sumatera muncul pada beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah penemuan Prasasti Baturaja tahun 2018. Awalnya, kalimat-kalimat yang terkandung dalam prasasti tersebut sulit dipecahkan sehingga baru terpecahkan pada 2024 oleh arkeolog.

“BWCF untuk pertama kalinya diselenggarakan di luar Jawa, di Jambi, sebagai bentuk dukungan atas apa yang dilakukan pemerintah dalam bidang arkeologi di situs Muara Jambi, sebuah situs Budha terluas di Asia Tenggara,” kata Cecep.

Penemuan tersebut merupakan hal penting bagi penelitian sejarah Sriwijaya dan candi-candi yang ada di Sumatra. Berkat prasasti itu, lokasi persis Minanga atau awal Kerajaan Sriwijaya yang disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi) ditemukan. Selain itu, beberapa tahun ini, arkeolog juga melakukan ekskavasi terhadap situs Bongal, Tapanuli Tengah. Situs tersebut diindikasi sebagai bekas pelabuhan kuno dari abad 7 hingga 10 Masehi. Hal itu membuat usianya lebih tua dari Barus –satu-satunya kota di Nusantara yang namanya disebut sejak awal abad Masehi dalam berbagai literatur berbahasa Yunani, Suriah, Armenia, Arab, India, Tamil, Cina, Melayu, dan Jawa. Dengan ekskavasi tersebut, ditemukan juga berbagai benda kuno, di antaranya koin-koin dari Abbasiyah dan manik-manik kaca berlapis emas dan perak Romawi. Penemuan itu menunjukan bahwa situs Pelabuhan Bongal dulunya merupakan pelabuhan internasional yang kosmopolit.

Dalam pidato kebudayaan saata acara pembukaan,  Selasa (19/11/2024), Dr Marijke Klokke, menjelaskan banyak hal tentang hubungan-hubungan arkeologis antara candi dan arca yang ada di Muara Jambi dengan candi atau arca yang ditemukan di tempat lain seperti di Nalanda (India), Prasasti Kedukan Bukit (Palembang), situs Bongal (Tapanuli Tengah), dan beberapa peninggalan lainnya baik di Jawa maupun di tempat lain. Menurut Klokke, dengan temuan-temuan yang punya hubungan dan kemiripan –baik arca, bahan baku batu, bentuk bangunan dan lainnya— tersebut secara ringkas bisa menjelaskan bagaimana peran penting Muara Jambi di masa lalu bagi peradaban dunia.

Baca Juga:  Pameran Seni Rupa "Kembali ke Pangkal", Membangun Kolaborasi Seniman Sumatra

“Muara Jambi adalah situs peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang sangat penting. Untuk itu perlu terus dilakukan penelitian dan pendalaman untuk melihat peran-perannya pada masa itu,” jelas Senior Lecturer Art and Material Culture of Southeast Asia, Leiden University, Belanda, tersebut.

Untuk menjelaskan tentang temuan-temuan arkeologis dan pentingnya Candi Muara Jambi dalam peradaban kebudayaan dunia di masa lalu, beberapa pakar arkeologi Sriwijaya dari Indonesia dan beberapa negara dihadirkan dalam acara simposium. Mereka antara lain Prof Dr Retno Purwanti, Dr Nasha bin Rodziadi Khaw (Malaysia), Naoko Ito PhD (Jepang), Sofia Sundstrom PhD (Singapura/Swedia), Dr Ni Ketut Puji Astiti Laksmi (Indonesia),  Dr Wahyu Rizki Andhifani (Indonesia), Hafiful Had Suliensyar MA (Indonesia), Dr Ery Sudewo (Indonesia), Prof Dr Ichwan Azhari (Indonesia), Dr Michael Flecker (Singapura), Dr Junus Satrio Admodjo (Indonesia), Dr Azad Hind Gulshan Nanda (Nalanda/India), dan beberapa arkeolog lainnya. Tulisan-tulisan mereka sebagian dibukukan dalam Kedatuan, Artefak, Jejaring,  dan Sastra Sumatra.

Selain pidato kebudayaan dan simposium, juga diselenggarakan ceramah umum (lectures), diskusi sastra, dialog sastra, peluncuran buku, podium sastra, serta seni pertunjukan berupa malam tari, malam sastra, dan malam musik. Rangkaian acara juga termasuk dengan program meditasi untuk publik di percandian Muara Jambi. Pidato kebudayaan (penutup) juga disampaikan Prof Sardono W Kusumo (pemikir dan seniman tari).

Selain persoalan arkeologi dan sejarah, persoalan sastra juga menjadi salah satu fokus BWCF 2024. Beberapa narasumber terkemuka diundang untuk menjadi pembicara seperti Nirwan Dewanto, Eka Kurniawan, Maman S Mahayana, Seno Gumira Ajidarma, Azhari Aiyub, Dr Sudarmoko, Garin Nugroho, dan yang lainnya.

Panitia juga mengundang beberapa sastrawan dari Sumatra –baik yang lahir di Sumatra dan tinggal di Sumatra dan di luar Sumatra, atau yang lahir di daerah lain yang tinggal di Sumatra—  lewat kuratorial cukup ketat yang dilakukan Imam Muhtarom dan Iyut Fitra untuk tampil di panggung Podium Sastra. Mereka antara lain Mustafa Ismail dan Salman Yoga (Aceh), Hasan Al Banna, Titan Sadewo, dan Ubaidillah Al Ansori (Sumatra Utara), Hary B Koriun, Marhalim Zaini, Andreas Mazland, Kunni Masrohanti, dan Siti Salmah (Riau). Kemudian Ramon Damora dan Tarmizi Rumahitam (Kepulauan Riau), Esha Tegar Putra, Yeni Purnama Sari, Heru Joni Putra, Okta Piliang, Ahda Imran, dan Irmansyah (Sumatra Barat), Rizqi Turama (Sumatra Selatan), Ramoun Apta, EM Yogiswara, Ramayani, Riance, Asro Al Muthawy,  dan Rini Febriani Hauri (Jambi), Willy Ana (Bengkulu), serta Isbedy Stiawan ZS dan Ari Pahala Hutabarat (Lampung), dan penampilan khusus Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri. Dari luar negeri, ada beberapa nama yang diundang, yakni Alfian Saat (Singapura), Zaen Kasturi (Malaysia), dan Suib Abdul Wahab (Brunei Darussalam). Selain menjadi peserta di semua kegiatan, mereka juga diberi panggung untuk membacakan karya mereka yang dibukukan dalam buku Dharmataya, Kata-Kata dari Sumatra.

Direktur BWCF, Seno Joko Suyono, menjelaskan, festival ini juga bertujuan membantu pemerintah dalam mempromosikan Muara Jambi sebagai salah satu situs warisan dunia yang penting. Hal itu dilakukan karena pemerintah ingin membuat kawasan Muara Jambi diakui oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia pada 2025. Pertemuan internasional yang membahas Muara Jambi dan arkeologi Sumatera merupakan salah satu strategi pemerintah dan BWCF untuk membesarkan nama Muara Jambi di dunia akademik.

Meski ingin membantu Pemprov Jambi dalam memperkenalkan Situs Candi Muaro Jambi ke masyarakat internasional, Seno mengaku Pemprov Jambi tidak membantu pembiyaan kegiatan ini. Kata Seno, pihak yang membantu pembiayaan adalah Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V-Jambi dan Bangka Belitung yang dipimpin Kepala Balai Dr Agus Widiatmoko.

Baca Juga:  Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2024, Sebuah Ikhtiar Mempertahankan Bahasa Daerah

“Selebihnya kami cari biaya sendiri, termasuk bantuan dari Dana Indonesiana,” kata Seno yang juga editor Tempo tersebut.

Dijelaskan Kepala BPK  Wilayah V-Jambi dan Bangka Belitung, Dr Agus Widiatmoko,  pada masa lampau, Muara Jambi adalah pusat pendidikan Buddhis tertua dan terluas di Asia Tenggara. Muara Jambi bisa disebut sebagai universitas penunjang dari Universitas Nalanda di Bihar, India. Hal itu diindikasi karena adanya pertukaran pelajar dan guru besar antara Nalanda dan Muara Jambi. Pelajar Budhis dari Sumatra belajar ke Nalanda. Sedangkan guru besar Nalanda seperti Atisha dan Sakyakirti datang belajar dan mengajar di Muara Jambi.

Menurutnya, mengokohkan kedudukan Muara Jambi sebagai pusat kebudayaan Sriwijaya atau Melayu, adalah hal penting dan mendesak. Sebab, sekarang para arkeolog Malaysia juga mulai mempromosikan kawasan Situs Lembah Bujang di Kedah. Hal itu dilakukan karena menurut mereka, Malaysia merupakan kawasan bekas situs utama Pelabuhan Sriwijaya. Selain itu, mereka juga mengindikasi bahwa penguasa Sriwijaya berkedudukan di Lembah Bujang atau Kedah kuno.

“Maka, Anda (semua peserta BWCF, red) lihat sendiri bagaimana kebesaran dan keluasan Kompleks Candi Muara Jambi ini. Kebesaran masa lalu yang dimiliki Jambi dan Indonesia ini perlu dikenal dan diketahui dunia,” kata Agus Widiatmoko saat memimpin tur keliling Candi Kedaton, salah satu dari sekian candi yang ada di Situs Candi Muara Jambi.

Kompleks Candi Muara Jambi sendiri diperkirakan seluas 3.981 hektare yang kemungkinan besar merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Kompleks percandian ini terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, yang berada di tepi Sungai Batanghari, sekitar 30 kilometer arah timur Kota Jambi. Sejak tahun 2009 Kompleks Candi Muara Jambi telah dicalonkan ke UNESCO untuk menjadi Situs Warisan Dunia.

Dilansir banyak sumber, penemuan Kompleks Candi Muara Jambi pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh seorang letnan Inggris,  SC Crooke, yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk kepentingan militer. Baru tahun 1975, pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran yang serius yang dipimpin arkeolog R Soekmono. Berdasarkan aksara Jawa Kuno,  pada beberapa lempeng yang ditemukan, pakar epigrafi Boechari menyimpulkan peninggalan itu berkisar dari abad ke-7-12 Masehi, sezaman dengan Candi Muara Takus di Kampar, Riau. Di situs ini baru sembilan bangunan yang telah dipugar, dan kesemuanya bercorak Buddhisme. Kesembilan candi tersebut adalah Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano. Situs ini berisi 110 candi yang sebagian besar masih berupa gundukan tanah (menapo) yang belum dikupas (diokupasi). Dalam kompleks percandian ini terdapat pula beberapa bangunan berpengaruh agama Hindu.

Dari sekian banyaknya penemuan yang ada, arkeolog Junus Satrio Atmodjo menyimpulkan, daerah itu dulu banyak dihuni dan menjadi tempat bertemu berbagai budaya. Ada manik-manik yang berasal dari Persia, Cina, dan India. Agama Buddha Mahayana Tantrayana diduga menjadi agama mayoritas dengan diketemukannya lempeng-lempeng bertuliskan wajra pada beberapa candi yang membentuk mandala.

Candi ini mengalami kemunduran dalam pengelolaan. Ini diperparah oleh adanya industri sawit dan batubara di sekitar kompleks. Bahkan sejumlah candi dan menapo berada persis di tengah-tengah lokasi pabrik dan areal penimbunan batubara. Pariwisata massal juga turut memperparah keadaan, dengan adanya persewaan sepeda –yang sering kali melindas menapo– dan adanya kompleks candi yang digunakan sebagai pasar malam, mulai dari komidi putar dan tong setan yang dipasang di tengah candi. Adanya pabrik-pabrik itu –sudah mulai muncul sejak 1980-an– terlebih pepohonan di sekitar telah ditebangi, yang menyebabkan menghilangnya karakter ekologis di sekitar candi, sedikit demi sedikit. Bahkan beberapa artefak ada yang hilang.***

 

Laporan HARY B KORIUN, Muara Jambi

Selama hampir seminggu, arkeolog, sejarawan, sastrawan, dan ilmuwan lainnya mengikuti Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2024. Sebuah upaya internasionalisasi Kompleks Candi Muara Jambi sebagai salah satu warisan dunia.

UNTUK pertama kalinya, perhelatan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) XIII digelar di luar Jawa. Rangkaian kegiatan BWCF 2024 digelar di Jambi. Untuk acara pembukaan diselenggarakan di sebuah hotel di Kota Jambi, sedangkan seluruh kegiatan setelah itu digelar di Kompleks Candi Muara Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, 19-23 November. Tema yang diusung adalah “Membaca Ulang Hubungan Muara Jambi-Nalanda dan Arca-Arca Sumatra (Mengenang Setyawati Suleiman)”.

- Advertisement -

BWCF 2024 mengangkat khazanah tentang percandian, arca, prasasti, keramik, dan pelabuhan kuno di Sumatra. Hal itu dilakukan pihak penyelenggara setelah mengangkat arkeologi Jawa dan Bali dengan tema Arca Durga dan Arca Ganesha selama dua tahun berturut-turut, 2022 dan 2023.

Topik tersebut diambil untuk menyambut kebijakan pemerintah yang akan melakukan revitalisasi terhadap Kawasan Cagar Budaya Nasional Muara Jambi. Topik itu juga diambil untuk menyambut pendirian museum baru di Muara Jambi. Untuk menyambut keduanya, BWCF membaca ulang secara utuh situs Muara Jambi dan juga arkeologi Sumatra. Hal ini dilakukan setelah para arkeolog melakukan pemugaran terhadap beberapa candi di Muara Jambi selama tiga tahun terakhir. Selama acara berlansung, masih terlihat para pekerja melakukan pembangunan infrastruktur pendukung untuk pembangunan museum tersebut. Selain memperbaiki sarana jalan dan pendukung lainnya, juga beberapa bangunan pendukung lainnya.

- Advertisement -

Saat acara pembukaan, salah seorang kurator kegiatan, Prof Dr Cecep Eka Purnama, menjelaskan, Kompleks Candi Muara Jambi adalah situs penting sebagai pendukung Kerajaan Sriwijaya dalam menjalankan roda pemerintahannya, terutama dalam  pembangunan kebudayaan spiritual, yakni agama Budha. Melalui BWCF diharapkan bisa  membantu pemerintah untuk meningkatkan daya tarik Muara Jambi sebagai wisata warisan budaya dan wisata pemikiran Buddhisme internasional yang dapat mendorong perekonomian daerah.

Tak hanya itu, perhelatan juga dilakukan setelah penemuan baru arkeologi Sumatera muncul pada beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah penemuan Prasasti Baturaja tahun 2018. Awalnya, kalimat-kalimat yang terkandung dalam prasasti tersebut sulit dipecahkan sehingga baru terpecahkan pada 2024 oleh arkeolog.

“BWCF untuk pertama kalinya diselenggarakan di luar Jawa, di Jambi, sebagai bentuk dukungan atas apa yang dilakukan pemerintah dalam bidang arkeologi di situs Muara Jambi, sebuah situs Budha terluas di Asia Tenggara,” kata Cecep.

Penemuan tersebut merupakan hal penting bagi penelitian sejarah Sriwijaya dan candi-candi yang ada di Sumatra. Berkat prasasti itu, lokasi persis Minanga atau awal Kerajaan Sriwijaya yang disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi) ditemukan. Selain itu, beberapa tahun ini, arkeolog juga melakukan ekskavasi terhadap situs Bongal, Tapanuli Tengah. Situs tersebut diindikasi sebagai bekas pelabuhan kuno dari abad 7 hingga 10 Masehi. Hal itu membuat usianya lebih tua dari Barus –satu-satunya kota di Nusantara yang namanya disebut sejak awal abad Masehi dalam berbagai literatur berbahasa Yunani, Suriah, Armenia, Arab, India, Tamil, Cina, Melayu, dan Jawa. Dengan ekskavasi tersebut, ditemukan juga berbagai benda kuno, di antaranya koin-koin dari Abbasiyah dan manik-manik kaca berlapis emas dan perak Romawi. Penemuan itu menunjukan bahwa situs Pelabuhan Bongal dulunya merupakan pelabuhan internasional yang kosmopolit.

Dalam pidato kebudayaan saata acara pembukaan,  Selasa (19/11/2024), Dr Marijke Klokke, menjelaskan banyak hal tentang hubungan-hubungan arkeologis antara candi dan arca yang ada di Muara Jambi dengan candi atau arca yang ditemukan di tempat lain seperti di Nalanda (India), Prasasti Kedukan Bukit (Palembang), situs Bongal (Tapanuli Tengah), dan beberapa peninggalan lainnya baik di Jawa maupun di tempat lain. Menurut Klokke, dengan temuan-temuan yang punya hubungan dan kemiripan –baik arca, bahan baku batu, bentuk bangunan dan lainnya— tersebut secara ringkas bisa menjelaskan bagaimana peran penting Muara Jambi di masa lalu bagi peradaban dunia.

Baca Juga:  Mengekspresikan Epos dalam Karya Rupa

“Muara Jambi adalah situs peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang sangat penting. Untuk itu perlu terus dilakukan penelitian dan pendalaman untuk melihat peran-perannya pada masa itu,” jelas Senior Lecturer Art and Material Culture of Southeast Asia, Leiden University, Belanda, tersebut.

Untuk menjelaskan tentang temuan-temuan arkeologis dan pentingnya Candi Muara Jambi dalam peradaban kebudayaan dunia di masa lalu, beberapa pakar arkeologi Sriwijaya dari Indonesia dan beberapa negara dihadirkan dalam acara simposium. Mereka antara lain Prof Dr Retno Purwanti, Dr Nasha bin Rodziadi Khaw (Malaysia), Naoko Ito PhD (Jepang), Sofia Sundstrom PhD (Singapura/Swedia), Dr Ni Ketut Puji Astiti Laksmi (Indonesia),  Dr Wahyu Rizki Andhifani (Indonesia), Hafiful Had Suliensyar MA (Indonesia), Dr Ery Sudewo (Indonesia), Prof Dr Ichwan Azhari (Indonesia), Dr Michael Flecker (Singapura), Dr Junus Satrio Admodjo (Indonesia), Dr Azad Hind Gulshan Nanda (Nalanda/India), dan beberapa arkeolog lainnya. Tulisan-tulisan mereka sebagian dibukukan dalam Kedatuan, Artefak, Jejaring,  dan Sastra Sumatra.

Selain pidato kebudayaan dan simposium, juga diselenggarakan ceramah umum (lectures), diskusi sastra, dialog sastra, peluncuran buku, podium sastra, serta seni pertunjukan berupa malam tari, malam sastra, dan malam musik. Rangkaian acara juga termasuk dengan program meditasi untuk publik di percandian Muara Jambi. Pidato kebudayaan (penutup) juga disampaikan Prof Sardono W Kusumo (pemikir dan seniman tari).

Selain persoalan arkeologi dan sejarah, persoalan sastra juga menjadi salah satu fokus BWCF 2024. Beberapa narasumber terkemuka diundang untuk menjadi pembicara seperti Nirwan Dewanto, Eka Kurniawan, Maman S Mahayana, Seno Gumira Ajidarma, Azhari Aiyub, Dr Sudarmoko, Garin Nugroho, dan yang lainnya.

Panitia juga mengundang beberapa sastrawan dari Sumatra –baik yang lahir di Sumatra dan tinggal di Sumatra dan di luar Sumatra, atau yang lahir di daerah lain yang tinggal di Sumatra—  lewat kuratorial cukup ketat yang dilakukan Imam Muhtarom dan Iyut Fitra untuk tampil di panggung Podium Sastra. Mereka antara lain Mustafa Ismail dan Salman Yoga (Aceh), Hasan Al Banna, Titan Sadewo, dan Ubaidillah Al Ansori (Sumatra Utara), Hary B Koriun, Marhalim Zaini, Andreas Mazland, Kunni Masrohanti, dan Siti Salmah (Riau). Kemudian Ramon Damora dan Tarmizi Rumahitam (Kepulauan Riau), Esha Tegar Putra, Yeni Purnama Sari, Heru Joni Putra, Okta Piliang, Ahda Imran, dan Irmansyah (Sumatra Barat), Rizqi Turama (Sumatra Selatan), Ramoun Apta, EM Yogiswara, Ramayani, Riance, Asro Al Muthawy,  dan Rini Febriani Hauri (Jambi), Willy Ana (Bengkulu), serta Isbedy Stiawan ZS dan Ari Pahala Hutabarat (Lampung), dan penampilan khusus Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri. Dari luar negeri, ada beberapa nama yang diundang, yakni Alfian Saat (Singapura), Zaen Kasturi (Malaysia), dan Suib Abdul Wahab (Brunei Darussalam). Selain menjadi peserta di semua kegiatan, mereka juga diberi panggung untuk membacakan karya mereka yang dibukukan dalam buku Dharmataya, Kata-Kata dari Sumatra.

Direktur BWCF, Seno Joko Suyono, menjelaskan, festival ini juga bertujuan membantu pemerintah dalam mempromosikan Muara Jambi sebagai salah satu situs warisan dunia yang penting. Hal itu dilakukan karena pemerintah ingin membuat kawasan Muara Jambi diakui oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia pada 2025. Pertemuan internasional yang membahas Muara Jambi dan arkeologi Sumatera merupakan salah satu strategi pemerintah dan BWCF untuk membesarkan nama Muara Jambi di dunia akademik.

Meski ingin membantu Pemprov Jambi dalam memperkenalkan Situs Candi Muaro Jambi ke masyarakat internasional, Seno mengaku Pemprov Jambi tidak membantu pembiyaan kegiatan ini. Kata Seno, pihak yang membantu pembiayaan adalah Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V-Jambi dan Bangka Belitung yang dipimpin Kepala Balai Dr Agus Widiatmoko.

Baca Juga:  Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2024, Sebuah Ikhtiar Mempertahankan Bahasa Daerah

“Selebihnya kami cari biaya sendiri, termasuk bantuan dari Dana Indonesiana,” kata Seno yang juga editor Tempo tersebut.

Dijelaskan Kepala BPK  Wilayah V-Jambi dan Bangka Belitung, Dr Agus Widiatmoko,  pada masa lampau, Muara Jambi adalah pusat pendidikan Buddhis tertua dan terluas di Asia Tenggara. Muara Jambi bisa disebut sebagai universitas penunjang dari Universitas Nalanda di Bihar, India. Hal itu diindikasi karena adanya pertukaran pelajar dan guru besar antara Nalanda dan Muara Jambi. Pelajar Budhis dari Sumatra belajar ke Nalanda. Sedangkan guru besar Nalanda seperti Atisha dan Sakyakirti datang belajar dan mengajar di Muara Jambi.

Menurutnya, mengokohkan kedudukan Muara Jambi sebagai pusat kebudayaan Sriwijaya atau Melayu, adalah hal penting dan mendesak. Sebab, sekarang para arkeolog Malaysia juga mulai mempromosikan kawasan Situs Lembah Bujang di Kedah. Hal itu dilakukan karena menurut mereka, Malaysia merupakan kawasan bekas situs utama Pelabuhan Sriwijaya. Selain itu, mereka juga mengindikasi bahwa penguasa Sriwijaya berkedudukan di Lembah Bujang atau Kedah kuno.

“Maka, Anda (semua peserta BWCF, red) lihat sendiri bagaimana kebesaran dan keluasan Kompleks Candi Muara Jambi ini. Kebesaran masa lalu yang dimiliki Jambi dan Indonesia ini perlu dikenal dan diketahui dunia,” kata Agus Widiatmoko saat memimpin tur keliling Candi Kedaton, salah satu dari sekian candi yang ada di Situs Candi Muara Jambi.

Kompleks Candi Muara Jambi sendiri diperkirakan seluas 3.981 hektare yang kemungkinan besar merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Kompleks percandian ini terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, yang berada di tepi Sungai Batanghari, sekitar 30 kilometer arah timur Kota Jambi. Sejak tahun 2009 Kompleks Candi Muara Jambi telah dicalonkan ke UNESCO untuk menjadi Situs Warisan Dunia.

Dilansir banyak sumber, penemuan Kompleks Candi Muara Jambi pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh seorang letnan Inggris,  SC Crooke, yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk kepentingan militer. Baru tahun 1975, pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran yang serius yang dipimpin arkeolog R Soekmono. Berdasarkan aksara Jawa Kuno,  pada beberapa lempeng yang ditemukan, pakar epigrafi Boechari menyimpulkan peninggalan itu berkisar dari abad ke-7-12 Masehi, sezaman dengan Candi Muara Takus di Kampar, Riau. Di situs ini baru sembilan bangunan yang telah dipugar, dan kesemuanya bercorak Buddhisme. Kesembilan candi tersebut adalah Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano. Situs ini berisi 110 candi yang sebagian besar masih berupa gundukan tanah (menapo) yang belum dikupas (diokupasi). Dalam kompleks percandian ini terdapat pula beberapa bangunan berpengaruh agama Hindu.

Dari sekian banyaknya penemuan yang ada, arkeolog Junus Satrio Atmodjo menyimpulkan, daerah itu dulu banyak dihuni dan menjadi tempat bertemu berbagai budaya. Ada manik-manik yang berasal dari Persia, Cina, dan India. Agama Buddha Mahayana Tantrayana diduga menjadi agama mayoritas dengan diketemukannya lempeng-lempeng bertuliskan wajra pada beberapa candi yang membentuk mandala.

Candi ini mengalami kemunduran dalam pengelolaan. Ini diperparah oleh adanya industri sawit dan batubara di sekitar kompleks. Bahkan sejumlah candi dan menapo berada persis di tengah-tengah lokasi pabrik dan areal penimbunan batubara. Pariwisata massal juga turut memperparah keadaan, dengan adanya persewaan sepeda –yang sering kali melindas menapo– dan adanya kompleks candi yang digunakan sebagai pasar malam, mulai dari komidi putar dan tong setan yang dipasang di tengah candi. Adanya pabrik-pabrik itu –sudah mulai muncul sejak 1980-an– terlebih pepohonan di sekitar telah ditebangi, yang menyebabkan menghilangnya karakter ekologis di sekitar candi, sedikit demi sedikit. Bahkan beberapa artefak ada yang hilang.***

 

Laporan HARY B KORIUN, Muara Jambi

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari