JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) terus menimbulkan kontroversi. Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengakui bahwa kebijakan Tapera belum tersosialisasikan dengan baik. Anggota DPR pun mendesak agar kebijakan pungutan Tapera ditinjau ulang.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin merespons polemik Tapera di kalangan pekerja maupun pengusaha. “Saya kira memang (Tapera) ini sebenarnya belum tersosialisasikan dengan baik,” kata Ma’ruf di sela kunjungan kerja di Aceh, Kamis (30/5).
Dia menegaskan bahwa sebenarnya Tapera itu adalah tabungan masyarakat. Mantan Ketua Umum MUI itu menjelaskan tujuan dibentuk Tapera adalah saling membantu atau bergotong royong dalam penyediaan rumah. Dia mengatakan bagi yang belum punya rumah, bisa mendapatkan akses KPR lewat Tapera.
Lalu bagi pekerja yang sudah punya tanah, tapi kesulitan uang untuk membangun rumah, disiapkan Kredit Bangun Rumah (KBR). Lalu bagi yang sudah punya rumah, bisa mendapatkan layanan Kredit Renovasi Rumah (KRR). Kemudian bagi pekerja peserta Tapera yang tidak memerlukan tiga fasilitas itu, uang iurannya seperti ditabung. “Pada saatnya nanti dikembalikan. Jadi ini seperti tabungan,” katanya.
Ma’ruf mengatakan jika Tapera ini disosialisasikan dengan benar, kegaduhan bisa diminimalisir. Baginya yang perlu ditonjolkan adalah aspek gotong royong dan tabungannya. Dia mengatakan semangat gotong royong atau dalam Islam disebut ta’awun, memiliki misi untuk saling membantu.
Ma’ruf menekankan perlu disosialisasikan juga, dengan adanya Tapera tadi, pekerja bisa lebih mudah untuk mengakses KPR, KBR, maupun KRR. Misalnya bagi pekerja yang selama ini kesulitan menembus KPR di perbankan umum, bisa dibantu memiliki rumah lewat KPR. “Bagi yang tidak perlu, dipastikan dananya aman. Dikembalikan beserta imbal hasilnya,” katanya. Dia meminta penyelenggara Tapera untuk sosialisasi lebih baik ke masyarakat, khususnya kepada para pekerja.
Sementara itu pakar kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah memahami adanya polemik di masyarakat mengenai Tapera tersebut. Dia mengatakan Tapera adalah program yang memiliki segmen khusus. Yaitu pekerja atau masyarakat yang sulit mendapatkan akses kepada pembiayaan KPR atau sejenisnya. “Kemudian ini diberlakukan untuk semua pekerja. Dengan semangat gotong royong,” katanya.
Padahal tidak semua pekerja memerlukan dana tersebut. Misalnya ada pekerja yang sudah memiliki rumah. Atau ada pekerja yang sudah memiliki tabungan rutin untuk masa pensiunnya. Wajar jika para pekerja yang sejatinya tidak memerlukan tabungan untuk membeli rumah, merasa keberatan.
Apalagi bagi pekerjaan yang dipaksa ikut Tapera, tetapi statusnya non-MBR (masyarakat berpenghasilan rendah), tidak bisa merasakan manfaat maksimal adanya Tapera itu. Pekerja non-MBR tidak bisa menikmati KPR, KBR, maupun KRR dari Tapera. Pekerja kelompok ini, hanya akan mendapatkan pengembalian iuran Tapera sekaligus hasil pengelolaannya.
“Iya kalau investasinya benar. Sebelumnya kan ada kasus Jiwasraya dan Asabri,” katanya. Meskipun dengan pengawasan berlapis, pengelola dana masyarakat di Jiwasraya dan Asabri tetap bisa melalukan penyelewengan atau korupsi. Yaitu dengan pat gulipat pada proses penempatan investasinya.
Lina menjelaskan selama ini pemerintah sudah memiliki program perumahan rakyat lewat FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Rumah). Program tersebut dalam praktiknya terserap maksimal. Alias kuota hunian rumah yang terjangkau bisa diserap pekerja. Lewat FLPP, pekerja bisa memiliki rumah lewat KPR dengan bunga rendah dan tenor sampai dengan 20 tahun.
Menurut dugaannya, Tapera ini memang dijalankan untuk menghimpun dana masyarakat. Nantinya dana tersebut akan dikelola oleh BP Tapera. Pemanfaatannya tidak jauh berbeda dengan FLPP. Bedanya selama ini FLPP murni pakai APBN. Sementara di Tapera nanti, memanfaatkan dana masyarakat. “Saya belum tahu apakah APBN untuk FLPP masih ada ke depannya,” jelasnya.
Anggota DPR RI Herman Khaeron mengatakan, pemerintah harus meninjau ulang kebijakan Tapera. “Kemudian me-review mana yang diterapkan dan mana yang harus memberikan rasa keadilan, serta mana pula yang harus menjadi mandatory,” terangnya dalam acara diskusi di komplek parlemen, Senayan, kemarin.
Menurutnya, pemerintah harus memperhatikan reaksi publik terhadap kebijakan Tapera. Selanjutnya, memikirkan langkah-langkah teknis yang tepat. Tentu, hal itu perlu mempertimbangkan kemampuan daya beli dan keberadaan masyarakat saat ini.
Menurutnya, sebenarnya niat pemerintah sudah bagus, yaitu ingin agar seluruh rakyat Indonesia terpenuhi hak akan kepemilikan rumah. Namun, cara yang akan digunakan harus dibicarakan dengan baik. “Sehingga betul-betul masyarakat bisa mendapatkan rumah. Masyarakat tidak diberatkan dengan sistem dan program pemerintah,” bebernya.
Politisi Partai Demokrat itu mengatakan, DPR akan terus menampung mendengar masukan dari masyarakat. Fraksi Partai Demokrat DPR RI juga akan terus menginventarisasi seluruh usulan masyarakat, dan aspirasi yang berkembang di publik, baik langsung maupun melalui media.
Sebenarnya, kata Herman, Tapera sudah diatur sejak munculnya Undang-Undang Nomor 4/2015 tentang Tapera, kemudian lahir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25/2020. Namun, tidak ada gejolak saat aturan itu diberlakukan. Pro kontra baru muncul ketika terbit PP Nomor 21/2024 yang mengatur Tapera. “Karena iuran Tapera diwajibkan untuk semua, sehingga memberatkan masyarakat. Jadi, PP yang baru itu yang menjadi masalah,” ucapnya.
Herman menegaskan, sebelum aturan itu dibuat seharusnya ada pengkajian dan sosialisasi yang bermakna kepada masyarakat. “Karena usernya adalah seluruh masyarakat, usernya kita semua. Oleh karena itu saya harapkan pemerintah bisa merespon, karena ini peraturan pemerintah,” ujarnya.
Dinilai Tidak Menyejahterakan Buruh
Menggunakan dalih membantu pekerja, sayangnya Tapera tak sedikit pun menyentuh kesejahteraan buruh. Pemerintah seperti terlalu terburu-buru mengeluarkan kebijakan ini sehingga tujuan tersebut pun tak tersentuh. Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar menjabarkan, dalam UU Tapera ini, ternyata pekerja/buruh tidak otomatis mendapat manfaat dari program yang diikutinya. Baik itu manfaat KPR, Pembangunan Rumah, dan perbaikan (renovasi) Rumah.
Sebab, pada Pasal 38 Ayat (1b dan 1c) hanya mensyaratkan pekerja yang termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan belum memiliki rumah. Artinya, ada pembatasan upah yang menjadi kriteria penerima manfaat Tapera. Hal ini dikuatkan pada Pasal 39 Ayat (2c) yang menyatakan pemberian manfaat berdasarkan tingkat kemendesakan kepemilikan rumah yang dinilai oleh BP Tapera. Dengan kata lain, akses peserta ke manfaat Tapera akan ditentukan lebih lanjut.
”Jadi pekerja swasta/BUMN/BUMD diwajibkan menjadi peserta Tapera tetapi tidak mendapat manfaat seperti pekerja yang memiliki upah di atas kriteria MBR,” ungkapnya.
Bukan hanya itu, pekerja/buruh seolah hanya dikeruk pendapatannya tanpa keuntungan apapun. Mengingat, tak ada kepastian imbal hasilnya. Hal ini berbeda dengan dana jaminan hari tua (JHT) yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan di mana imbal hasilnya jelas, minimal sama dengan rata-rata deposito bank pemerintah.
”Dan selama ini rata-rata imbal hasil yang dikembalikan kepada peserta JHT adalah di atas 1 hingga 2 persen di atas rata-rata suku bunga deposito pemerintah,” katanya.
Sepertinya, pemerintah juga lupa jika saat ini sudah ada fasilitas perumahan bagi pekerja formal swasta dan BUMN/BUMD di BPJS Ketenagakerjaan yang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 17 Tahun 2021 tentang Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan program JHT, yang memberikan manfaat yang sama dengan UU Tapera. Yakni, KPR, pembangunan rumah, atau renovasi rumah. Dalam aturan tersebut, nilai besaran Program Uang Muka Perumahan yang diberikan kepada peserta terbilang cukup besar. Untuk KPR paling banyak Rp500 juta dan untuk renovasi paling banyak Rp200 juta.
Selain MLT Perumahan, pekerja pun bisa menggunakan Pasal 37 Ayat (3) UU SJSN untuk menggunakan paling banyak 30 persen dari saldo JHT-nya untuk perumahan. Dengan syarat, sudah menjadi peserta minimal 10 tahun. ”Jadi ada overlapping antara MLT Perumahan dengan UU Tapera. Oleh karenanya maksimalkan saja MLT perumahan dan Pasal 37 UU SJSN untuk keperluan perumahan pekerja. Sehingga pekerja tidak perlu lagi dibebani dengan wajib membayar iuran di Tapera,” tegasnya.
Karenanya, dia mengusulkan agar Pemerintah dan DPR segera merevisi UU Tapera ini khususnya Pasal 7, 9 dan 18 dengan mengubah kewajiban bagi pekerja menjadi kepesertaan sukarela. Pemerintah juga baiknya fokus untuk pemenuhan kebutuhan rumah untuk ASN dan masyarakat, termasuk masyarakat miskin melalui bantuan APBN.
Jika pemerintah emoh mendengar aspirasi rakyat ini maka seolah membenarkan spekulasi soal keperluan dana segar untuk membiayai sejumlah programnya. Banyak yang berspekulasi, program ini digunakan pemerintah untuk mendanai pembangunan IKN hingga program makan siang gratis nantinya.
”Ya spekulasi tersebut tidak salah. Dengan kepesertaan wajib bagi pekerja swasta maka akan terkumpul sekitar 70 Triliun tiap tahun yang bisa diinvestasikan di surat berharga negara (SBN) dengan imbal hasil sekitar 6 persen. Dan dana SBN tersebut akan digunakan untuk pembangunan Indonesia,” ujarnya.(wan/idr/lum/jpg)