Berdasarkan ketetapan WHO, virus penyebab yang awalnya dinamakan nCoV 2019, sekarang berubah namanya menjadi SARS CoV-2 karena ternyata secara genetik, banyak kemiripan dengan virus corona jenis terdahulu yang pernah menyebabkan wabah SARS di tahun 2002-2003 (virus SARS CoV). Sedangkan penyakit yang ditimbulkan oleh SARS CoV-2 ini adalah disebut dengan Covid-19. Jadi kedua istilah ini sebenarnya sama saja hanya konteksnya saja yang berbeda.
Terdapat hal yang menarik pada beberapa artikel di jurnal-jurnal tersebut yaitu sudah ada beberapa penelitian dan case report tentang adanya kasus-kasus asimtomatis atau subklinis yang artinya kasus dengan gejala yang sangat ringan bahkan tidak bergejala khas Covid-19 tetapi ternyata dari pemeriksaan laboratorium dengan metode molekuler RT PCR (Real Time Polymerase Chain Reaction yang merupakan cara untuk mendiagnosis pasti penyakit Covid19) menunjukkan pasien tersebut positif SARS CoV-2.
Sejauh ini, dilaporkan mayoritas kasus Covid-19 adalah kasus yang ringan (mild) dengan angka kematian yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pada saat outbreak kasus virus Corona yang lain (SARS dan MERS CoV) di tahun-tahun lampau. Sebenarnya siapa sajakah yang bisa terkena Covid-19? Berdasarkan data, ternyata semua umur bisa terinfeksi, tidak peduli pria maupun wanita. Tetapi akan mengalami perbedaan tampilan klinis yaitu sebagian besar kasus yang berat (severe) atau kritis adalah pada penderita umur tua (terutama 50 tahun ke atas) dan juga orang-orang yang menderita penyakit lain (ko morbid).
Walaupun mayoritas kasus Covid-19 ini adalah ringan seperti flu biasa, maka akan menjadi fatal jika menginfeksi orang-orang seperti di atas, apalagi virus SARS CoV2 sebagai penyebab penyakit Covid-19 ini sangat mudah menular. Apalagi di beberapa laporan kasus, ternyata ditemukan kasus asimtomatis tadi. Artinya adalah kemungkinan besar jumlah “real†kasus Covid19 sebenarnya jauh lebih banyak dari yang terdata. Karena orang-orang dengan kasus ringan kemungkinan kecil akan berinisiatif memeriksakan diri ke dokter atau rumah sakit karena merasa sakit biasa saja. Apalagi orang-orang yang asimtomatis yang pastinya merasa sehat-sehat saja dan mereka juga tidak tau bahwa sebenarnya sudah terinfeksi virus penyebab Covid-19. Padahal pada kasus seperti inilah yang bersangkutan berpotensi sebagai pembawa virus alias sumber penularan baru. Bisa dibayangkan jika virus dari orang-orang yang tidak bergejala atau gejala tidak khas ini menulari orang-orang yang rentan tadi, maka niscaya akan menjadi kasus Covid19 yang berat.
Proses skrining (penapisan) di embarkasi-embarkasi seperti di pelabuhan, airport, adalah sudah sesuai dengan protokol WHO yang berdasarkan gejala (symptom based) yaitu orang-orang yang akan diperiksa lebih lanjut (dengan metode lab) itu adalah hanya orang-orang yang menunjukkan gejala saja (seperti demam, batuk dll). Begitu juga orang-orang yang ada riwayat perjalanan ke daerah-daerah yang terkonfirmasi Covid-19 akan dimonitoring selama periode inkubasi (14-21 hari). Jika bergejala maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan lab. Jika tidak ada gejala maka dianggap aman-aman saja. Hal tersebut tidak menjadi masalah jika orang-orang tersebut memang di karantina. Tetapi jika hanya sekedar self monitoring saja, masih ada kemungkinan ybs kontak dengan orang lain. Apalagi jika ternyata yang bersangkutan termasuk orang yang asimtomatis tersebut.
Sampai saat ini memang dilaporkan kasus asimtomatis ini masih kecil yaitu hanya sekitar 1-2 persen saja. Tapi ini hanya yang terdata saja karena penemuan kasus asimtomatis ini sangat sulit akibat sangat tidak mungkin jika semua orang harus diperiksa laboratorik yang notabene cukup mahal. Jadi mungkin saja di luar sana sebenarnya kasus asimtomatis adalah lebih banyak karena bahkan dirinya sendiri tidak tau bahwa sebenarnya ia positif SARS CoV-2. Kasus asimtom seperti inilah yang sebenarnya paling sulit dikendalikan karena dirinya secara tidak sadar telah menjadi sumber penularan bagi orang lain, terutama jika mengenai orang berkategori rentan menderita kasus Covid19 berat.
Jadi, seiring berjalannya waktu, sepertinya metode surveillance terutama di Indonesia sebaiknya ditinjau ulang yaitu tidak hanya berdasarkan gejala saja tetapi pemeriksaan laboratorik tetap dilakukan pada orang-orang dengan riwayat bepergian ke tempat-tempat yang banyak kasus terkonfirmasi dan juga orang-orang dengan riwayat kontak erat dengan pasien yang terkonfirmasi Covid-19 tanpa melihat ada atau tidaknya gejala.
Oleh karena itu, patut dipikirkan pemberdayaan pusat-pusat laboratorium lain selain Jakarta yang dapat mendeteksi SARS CoV-2. Maka sepertinya perlu diberdayakan lagi pusat-pusat pelayanan laboratorik seperti ini baik itu university based maupun hospital based.***