(RIAUPOS.CO) — Tertangkapnya raja dan ratu kerajaan abal-abal Keraton Agung Sejagat (KAS) semakin membuat kita bertanya-tanya kenapa di zaman yang serba digital seperti sekarang ini, masih banyak yang tertipu dengan status seseorang atau silau dengan cerita-cerita bohong yang tak jelas sumbernya.
KAS dengan rajanya Toto Santoso dan Fanni Aminadia sebagai ratu adalah fenomena yang tak berdiri sendiri. Dia terbentuk dari struktur dan pola pikir masyarakat. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama, KAS lahir di tengah kejenuhan masyarakat akan sebuah sistem yang membelenggu dan bertele-tele seperti peraturan yang banyak, administrasi yang panjang, pejabat yang korupsi, politik uang, dan lain-lain yang praktis seolah menghambat mimpi-mimpi mereka. Di tengah kejenuhan itu, KAS muncul menjadi dewa penyelamat atau si tawar si dingin bagi mereka yang dahaga untuk mewujudkan mimpi jadi pejabat, punya gaji besar-konon kabarnya ditawari dolar, serta punya darah biru karena menjadi bagian dari keraton.
Kedua, fenomena KAS ini sebenarnya banyak di sekitar kita. Di zaman ini orang banyak yang ingin meraih sesuatu secara instan dan cepat. Di satu sisi mungkin mereka trauma karena sudah terlalu lama berproses dan tidak pernah berhasil, di sisi lain banyak terlihat anak-anak muda yang punya karir cemerlang dan langsung melejit dengan cepat. Anak-anak muda ini punya rumah dan mobil mewah, punya penghasilan puluhan atau ratusan juta per bulan. Salah satu fenomena yang hampir mirip dengan KAS adalah maraknya penipuan melalui medium investasi bodong. Meski sudah ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan penetrasi internet yang mengjangkau hingga ke pelosok kampung di mana banyak orang mau berbagi informasi satu sama lain, ternyata tidak semua orang mau untuk melakukan hal itu atau memahami bagaimana seluk beluk dunia investasi.
Ketiga, dalam konteks komunikasi, KAS dapat dipahami sebagai fenomena masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh pikiran dan tindakan orang lain. Berpikir menurut George Herbert Mead (1932) adalah suatu proses individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan memilih dan menggunakan simbol-simbol yang bermakna. Melaui proses interaksi dengan dirinya sendiri itu, individu memilih mana diantara stimulus yang tertuju padanya akan ditanggapinya. Dengan demikian, individu tidak secara langsung menanggapi stimulus, tetapi terlebih dahulu memilih dan kemudian memutuskan stimulus yang akan ditanggapinya.Dalam kasus KAS sang raja Toto memanfaatkan ketidaktahuan plus “kemalasan†masyarakat setempat untuk mencari dan memperdalam informasi yang tidak jelas. Berkat tipu dayanya, masyarakat yang menjadi pengikut mau menyumbangkan uang untuk menjadi pengikut. Hal serupa juga banyak terjadi di masyarakat kita yang selalu menelan informasi bulat-bulat tanpa mencari kebenaran terlebih dahulu.
Keempat, KAS menjadi potret buram sejarah anak manusia yang dihimpit keinginan untuk dinilai penuh kuasa dan terhormat sebagaimana yang dilakukan raja Toto dan permaisurinya.
Kelima, era digital semakin mempertegas bahwa kemampuan untuk menciptakan atau memanipulasi fakta sedemikian terbuka untuk dilakukan oleh siapapun dan kapanpun. Hilangnya manuskrip ditambah dengan masyarakat yang abai pada verifikasi menjadikan kisah-kisah heroik masa lalu semakin subur untuk dipoles sehingga menjadi berpihak kepada apa yang diinginkan oleh manipulator.
Lalu bagaimana cara untuk memulihkan keadaan yang sudah kacau ini. Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan; pertama, semua pihak sebaiknya berperan aktif sesuai porsinya untuk memberikan edukasi kepada warga masyarakat tentang penting untuk bersikap skeptis terhadap semua informasi yang mereka baca, dengar atau saksikan dari orang lain. Hal ini penting karena dari sikap inilah maka akan terbentuk pola pikir yang sehat dalam masyarakat kita.
Kedua, penting untuk diingat bahwa mereka yang menjadi pengikut sebuah kelompok yang menyimpang adalah saudara kita sesama umat manusia yang menjadi korban, jangan melabeli mereka dengan sebutan yang semakin menambah luka dengan memberi label bodoh, tidak berpendidikan, kaum udik, karena itu hanya akan memperlebar jurang pemisah di antara yang mau dicerahkan dengan yang mencerahkan.
Ketiga, senantiasa mau berbagi informasi mengenai hal-hal yang aneh atau menyimpang. Kasus KAS tidak akan terungkap jika kita diam atau menikmatinya sebagai sebuah pawai budaya yang indah dipandang mata. Dengan berbagi maka akan terungkap berbagai penyelewengan yang selama ini ada di tengah masyarakat kita.
Keempat, jangan main hakim sendiri. Jika ditemukan ada pelanggaran baik norma adat atau hukum laporkan kepada pihak yang berwenang untuk bertindak. Karena banyak hukuman massa justru menimbulkan korban jiwa. Kelima, rajinlah bertanya jika tidak tahu tentang sesuatu. Begitu banyak medium untuk bertanya, jika tidak bisa berucap secara langsung di dunia nyata, mungkin dunia maya bisa membantu ketidaktahuan Anda, karena begitu banyak orang yang ingin berbagi tentang sesuatu di alam media sosial.***