JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Wacana perubahan masa jabatan presiden melalui amandemen terbatas UUD 1945 terus menggelinding. Fraksi-fraksi di MPR terkesan tidak mau vulgar. Sebab, wacana tersebut rentan menimbulkan polemik.
”Mengubah satu pasal soal haluan negara saja ribut, apalagi perubahan masa jabatan presiden,” kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan di MPR Ahmad Basarah kemarin (23/11). Basarah meminta MPR fokus membahas rekomendasi MPR periode 2014–2019.
Yakni, melakukan amandemen terbatas pada pembentukan garis-garis besar haluan negara (GBHN). ”Fokus di situ saja dulu,” imbuhnya.
Dia mengimbau fraksi-fraksi di MPR tidak membuat polemik baru dengan mewacanakan perubahan masa jabatan presiden. Sebab, hal tersebut belum ada dalam agenda MPR. Saat ini badan pengkajian MPR sedang menelaah bentuk haluan negara. Apakah akan diatur melalui ketetapan (tap) MPR atau undang-undang (UU). Menurut dia, pembentukan haluan negara sangat penting untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan Indonesia. ”Teknisnya sedang digodok di badan pengkajian MPR,” jelas wakil ketua MPR itu.
Mengenai masa jabatan presiden, Ahmad Basarah menyatakan, waktu 2 x 5 tahun masih ideal. Itu juga sesuai dengan perbandingan berbagai negara demokrasi di dunia. Dengan dua periode, waktu bagi presiden cukup untuk menunaikan janji politiknya.
Di sisi lain, Gerindra justru lebih sepakat agar masa jabatan presiden diperpendek menjadi satu periode saja. Namun, waktunya diperpanjang menjadi 7–8 tahun. Itu dinilai lebih simpel karena presiden terpilih akan fokus bekerja selama menjabat. Presiden tidak akan sibuk melakukan program pencitraan agar terpilih di pemilu berikutnya. ”Dua periode itu lama, apalagi tiga periode berturut-turut. Kalau disepakati, Gerindra lebih sepakat satu periode saja,” kata Wakil Ketua Umum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad.
Partai Demokrat menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Wakil Ketua Umum Demokrat Syarief Hasan mengungkapkan, perpanjangan masa jabatan presiden tidak masuk agenda pembahasan di MPR periode 2019–2024.
Dia menegaskan, tidak ada urgensinya menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Jabatan selama dua periode atau 2 x 5 tahun dinilai masih ideal bagi Indonesia. ”Saya kira belum ada pemikiran sampai ke sana,” papar wakil ketua MPR itu.
Di sisi lain, ahli hukum tata negara Refly Harun berpendapat bahwa usulan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode bisa saja diterapkan. Namun, tentu tidak pada masa pemerintahan Joko Widodo saat ini. Presiden periode ini sudah terikat dengan undang-undang lama sehingga maksimal masa jabatan tetap hanya dua periode. ”Ya tambah nggak boleh (tiga periode langsung, Red). Perpanjang masa jabatan saja nggak boleh,” tegas Refly.
Alih-alih, perubahan masa jabatan presiden bisa diubah dengan dua model. Pertama, bisa dua periode atau lebih, tetapi tidak berturut-turut. Jadi, setelah menjabat, petahana tidak bisa mencalonkan diri lagi dan baru bisa berpartisipasi lima tahun kemudian pada pemilihan berikutnya.
Kedua, menerapkan satu periode jabatan presiden, tetapi lebih dari lima tahun. Misalnya, enam atau tujuh tahun, agar presiden memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan seluruh program yang dijanjikan. ”Kenapa tidak berturut-turut? Biar presiden konsentrasi pada pekerjaannya dan tidak memikirkan pemilihan ulang,” lanjut dia.
Refly menambahkan, pemerintah dan legislatif harus menyiapkan juga peraturan peralihan dengan matang. ”Dalam pasal itu harus jelas pasal peralihannya atau ayat tambahannya yang menegaskan bahwa presiden yang sudah menjabat dua periode dikecualikan,” terangnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman