Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Duterte Bebaskan Kepala Polisi Membunuh

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, melakukan langkah mengejutkan. Dia mengangkat Letkol Jovie Espenido sebagai kepala polisi dan ditempatkan di Bacolod. Padahal, rekam jejak Espenido cukup kontroversial karena menjadi bagian operasi memberantas peredaran obatan-obatan terlarang di Filipina yang menyebabkan dua wali kota tewas.

Operasi tersebut dianggap kejam dan kontroversial karena dinilai melanggar HAM. Apalagi, dua wali kota yang terbunuh belum jelas secara pasti terlibat dalam bisnis narkoba atau tidak.

Hanya saja, Duterte tak mau tahu. Dia tetap mengangkat Espenido sebagai kepala polisi. Bahkan, dalam upacara pengangkatan, Kamis (17/10) malam, dalam pidatonya, Duterte berkata kepada Espenido untuk bebas membunuh. Tentunya, sasarannya adalah para pengedar atau pelaku bisnis narkoba. Intinya, Duterte memerintahkan kepada Espenido untuk menjalankan perang melawan narkoba di Bacolod yang memiliki populasi lebih dari 560.000 jiwa.

"Bacolod sangat tercemar (oleh obat-obatan terlarang, Red) sekarang. Saya menempatkan Espenido di sana. Saya berkata, "Pergi ke sana dan Anda bebas untuk membunuh semua orang. Mulailah membunuh di sana dan minimal penjara, "kata Duterte seperti dilansir Al Jazeera.

Terlepas dari ancaman bahwa dia dapat dituntut karena pernyataannya di depan umum tentang pembunuhan tersangka narkoba dan perang terhadap narkoba, Duterte memang telah berulang kali mengkritik komunitas internasional dan kelompok hak asasi manusia. Duterte menyatakan bahwa dia tidak peduli dengan hak asasi manusia dan tetap mengeluarkan perintah tembak di tempat bagi tersangka narkoba yang menolak untuk menyerah.

Baca Juga:  Serial Adaptasi dari Karya Sutradara "Parasite" Segera Tayang di Netflix

Seperti diketahui, kebijakan Duterte yakni perang terhadap narkoba dengan menembak mati pengedar, penyelundup, ataupun pemakai narkoba di Filipina telah ditentang pegiat hak asasi manusia. Menurut mereka, kebijakan itu semena-mena dan kejam karena melanggar HAM. Meski begitu, Duterte tetap menjalankan apa yang sudah dia katakan.

Sementara itu, Karen Gomez Dumpit dari Komisi Hak Asasi Manusia Filipina mengutuk pernyataan terakhir Duterte. Dia menilai Duterte memungkinkan untuk melanjutkan pelanggaran HAM yang terus-menerus di Filipina.

"Itu bukan jenis bahasa yang ingin kita dengar dari presiden," kata Dumpit kepada Al Jazeera.

Dumpit sendiri mengharapkan warga Bacolod untuk mengekspresikan kemarahan pada penunjukan Espenido. Intinya, dia ingin warga Bacolod menolak penunjukan tersebut karena Espenido bakal melakukan pelanggaran HAM.

Di satu sisi, juru bicara kepolisian Brigjen Bernard Banac mengatakan penunjukan Espenido merupakan pemenuhan janji kampanye Duterte untuk memberantas obat-obatan terlarang di Filipina. Dia juga tak menelan mentah-mentah perintah Duterte kepada Espenido yang menurutnya bersifat hiperbola.

Kontroversi Espenido sebagai polisi terjadi pada 2017 lalu. Kala itu, dia menjabat sebagai kepala polisi Kota Ozamiz di Pulau Mindanao. Saat itu, petugas polisi yang merupakan anak buahnya membunuh Wali Kota Reynaldo Parojinog, istrinya, dan 13 orang lainnya dalam serangan sebelum fajar. Keluarga wali kota menyebut itu adalah pembunuhan berencana.

Sementara itu, polisi mengatakan itu adalah operasi memerangi narkoba yang sah. Parojinog dan teman-temannya dinilai terlibat dalam peredaran narkoba dan dalam penyergapan dia menolak untuk ditangkap sehingga terjadilan pembunuhan.

Baca Juga:  PT Bukara Pernah Diberi SP3

Sebelumnya, Espenido juga melakukan tindakan kontroversial saat menjabat sebagai Kepala Polisi Albuera di pulau tengah Leyte pada 2016. Saat itu, Wali Kota Rolando Espinosa Sr, terbunuh di dalam sel penjara. Espinosa sendiri sebenarnya secara sukarela menyerahkan diri ke polisi setelah Duterte memperingatkan bahwa dia akan mengejarnya jika menolak untuk menyerah. Espinosa dinilai terlibat dalam peredaran narkoba.

Parojinog dan Espinosa adalah dua di antara 158 pejabat setempat yang disebut Duterte dikaitkan dengan narkoba usai dua bulan dirinya menjadi presiden. Duterte juga memasukkan beberapa hakim dan petugas polisi dalam daftar yang terlibat dalam perdagangan narkoba di Filipina. Hingga Agustus 2019, setidaknya ada 12 wali kota dan delapan wakil wali kota di Filipina yang terbunuh sejak Juli 2016.

Espenido sendiri meyakinkan kepada penduduk Bacolod bahwa tugas barunya akan berbeda dari pekerjaan sebelumnya. "Saya kira itulah harapan orang-orang, karena mereka telah melihat apa yang telah saya lakukan," kata Espenido.

Sejak Duterte menjadi Presiden Filipina pada pertengahan 2016, sekitar 6.660 orang telah dilaporkan tewas dalam operasi polisi terkait narkoba. Hal itu berdasar laporan pada Juni 2019 yang diterbitkan oleh Kepolisian Nasional Filipina. Hanya saja, para pegiat HAM mengatakan jumlah yang terbunuh mencapai 27.000 per Juni 2019.

Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, melakukan langkah mengejutkan. Dia mengangkat Letkol Jovie Espenido sebagai kepala polisi dan ditempatkan di Bacolod. Padahal, rekam jejak Espenido cukup kontroversial karena menjadi bagian operasi memberantas peredaran obatan-obatan terlarang di Filipina yang menyebabkan dua wali kota tewas.

Operasi tersebut dianggap kejam dan kontroversial karena dinilai melanggar HAM. Apalagi, dua wali kota yang terbunuh belum jelas secara pasti terlibat dalam bisnis narkoba atau tidak.

- Advertisement -

Hanya saja, Duterte tak mau tahu. Dia tetap mengangkat Espenido sebagai kepala polisi. Bahkan, dalam upacara pengangkatan, Kamis (17/10) malam, dalam pidatonya, Duterte berkata kepada Espenido untuk bebas membunuh. Tentunya, sasarannya adalah para pengedar atau pelaku bisnis narkoba. Intinya, Duterte memerintahkan kepada Espenido untuk menjalankan perang melawan narkoba di Bacolod yang memiliki populasi lebih dari 560.000 jiwa.

"Bacolod sangat tercemar (oleh obat-obatan terlarang, Red) sekarang. Saya menempatkan Espenido di sana. Saya berkata, "Pergi ke sana dan Anda bebas untuk membunuh semua orang. Mulailah membunuh di sana dan minimal penjara, "kata Duterte seperti dilansir Al Jazeera.

- Advertisement -

Terlepas dari ancaman bahwa dia dapat dituntut karena pernyataannya di depan umum tentang pembunuhan tersangka narkoba dan perang terhadap narkoba, Duterte memang telah berulang kali mengkritik komunitas internasional dan kelompok hak asasi manusia. Duterte menyatakan bahwa dia tidak peduli dengan hak asasi manusia dan tetap mengeluarkan perintah tembak di tempat bagi tersangka narkoba yang menolak untuk menyerah.

Baca Juga:  Kemenhub Batalkan Pelarangan Operasional Bus Umum

Seperti diketahui, kebijakan Duterte yakni perang terhadap narkoba dengan menembak mati pengedar, penyelundup, ataupun pemakai narkoba di Filipina telah ditentang pegiat hak asasi manusia. Menurut mereka, kebijakan itu semena-mena dan kejam karena melanggar HAM. Meski begitu, Duterte tetap menjalankan apa yang sudah dia katakan.

Sementara itu, Karen Gomez Dumpit dari Komisi Hak Asasi Manusia Filipina mengutuk pernyataan terakhir Duterte. Dia menilai Duterte memungkinkan untuk melanjutkan pelanggaran HAM yang terus-menerus di Filipina.

"Itu bukan jenis bahasa yang ingin kita dengar dari presiden," kata Dumpit kepada Al Jazeera.

Dumpit sendiri mengharapkan warga Bacolod untuk mengekspresikan kemarahan pada penunjukan Espenido. Intinya, dia ingin warga Bacolod menolak penunjukan tersebut karena Espenido bakal melakukan pelanggaran HAM.

Di satu sisi, juru bicara kepolisian Brigjen Bernard Banac mengatakan penunjukan Espenido merupakan pemenuhan janji kampanye Duterte untuk memberantas obat-obatan terlarang di Filipina. Dia juga tak menelan mentah-mentah perintah Duterte kepada Espenido yang menurutnya bersifat hiperbola.

Kontroversi Espenido sebagai polisi terjadi pada 2017 lalu. Kala itu, dia menjabat sebagai kepala polisi Kota Ozamiz di Pulau Mindanao. Saat itu, petugas polisi yang merupakan anak buahnya membunuh Wali Kota Reynaldo Parojinog, istrinya, dan 13 orang lainnya dalam serangan sebelum fajar. Keluarga wali kota menyebut itu adalah pembunuhan berencana.

Sementara itu, polisi mengatakan itu adalah operasi memerangi narkoba yang sah. Parojinog dan teman-temannya dinilai terlibat dalam peredaran narkoba dan dalam penyergapan dia menolak untuk ditangkap sehingga terjadilan pembunuhan.

Baca Juga:  Tidak Ada Penambahan Kasus Baru Covid-19 di Dumai

Sebelumnya, Espenido juga melakukan tindakan kontroversial saat menjabat sebagai Kepala Polisi Albuera di pulau tengah Leyte pada 2016. Saat itu, Wali Kota Rolando Espinosa Sr, terbunuh di dalam sel penjara. Espinosa sendiri sebenarnya secara sukarela menyerahkan diri ke polisi setelah Duterte memperingatkan bahwa dia akan mengejarnya jika menolak untuk menyerah. Espinosa dinilai terlibat dalam peredaran narkoba.

Parojinog dan Espinosa adalah dua di antara 158 pejabat setempat yang disebut Duterte dikaitkan dengan narkoba usai dua bulan dirinya menjadi presiden. Duterte juga memasukkan beberapa hakim dan petugas polisi dalam daftar yang terlibat dalam perdagangan narkoba di Filipina. Hingga Agustus 2019, setidaknya ada 12 wali kota dan delapan wakil wali kota di Filipina yang terbunuh sejak Juli 2016.

Espenido sendiri meyakinkan kepada penduduk Bacolod bahwa tugas barunya akan berbeda dari pekerjaan sebelumnya. "Saya kira itulah harapan orang-orang, karena mereka telah melihat apa yang telah saya lakukan," kata Espenido.

Sejak Duterte menjadi Presiden Filipina pada pertengahan 2016, sekitar 6.660 orang telah dilaporkan tewas dalam operasi polisi terkait narkoba. Hal itu berdasar laporan pada Juni 2019 yang diterbitkan oleh Kepolisian Nasional Filipina. Hanya saja, para pegiat HAM mengatakan jumlah yang terbunuh mencapai 27.000 per Juni 2019.

Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari