Produsen Gunakan Bahasa Asing, agar Terkesan Mahal dan Mewah

PEKANBARU (RIAUPOS. CO)- Pekanbaru-Saat ini, masih banyak kelompok produsen /pemilik/pengelola menggunakan bahasa asing (Inggris) di ruang publik Kota Pekanbaru. Mereka beralasan agar produk atau tempat usaha mereka terkesan mahal/mewah. Artinya, bahasa Inggris memiliki daya pragmatik yang mampu menimbulkan citra mahal/mewah. Demikian hasil penelitian yang dilakukan Balai Bahasa Provinsi Riau soal sikap bahasa masyarakat terhadap bahasa Indonesia beberapa waktu lalu. 

Penelitian yang dilakukan dengan menyebarkan kuesioner oleh Tim beranggotakan Dr Fatmawati Adnan MPd, Arpina SPd, Raja Saleh MPd, Fandi Agusman, dan Tengku Khairi menurut Kepala Bahasa Propinsi Riau, Drs Songgo Siruah MPd menemukan berbagai kesimpulan sikap bahasa masyarakat terhadap bahasa Indonesia. 

- Advertisement -

Responden penelitian yang dilakukan peneliti dibedakan dalam dua kategori, yaitu produsen/pemilik/pengelola (hotel atau penginapan, perumahan, restoran atau kafe, toko, tempat wisata, badan usaha, iklan produk atau kegiatan, rumah sakit, lembaga pendidikan, konsumen makanan/minuman, pengunjung tempat wisata, pelajar, mahasiswa, ASN, dan karyawan swasta). 

Dari penelitian itu menurut Songgo,  alasan terbanyak dari pengunaan bahasa asing yang digunakan,  oleh kelompok produsen/pemilik/pengelola menggunakan bahasa asing (Inggris) di ruang publik Kota Pekanbaru ialah agar terkesan mahal/mewah (34%).

- Advertisement -

"Artinya, ada anggapan bahwa bahasa Inggris memiliki daya pragmatik yang mampu menimbulkan citra mahal/mewah.  Inilah salah satu pemicu produsen/pemilik/pengelola badan usaha di Kota Pekanbaru menggunakan bahasa Inggris untuk penamaan dan penyebaran informasi, "jelas Songgo. 

Kedua, bahasa Indonesia yang sebaiknya digunakan di ruang publik mendapat tanggapan sebesar 52% dari kelompok produsen/pemilik/pengelola dan 54% dari kelompok konsumen/pengunjung.

Jawaban penggunaan bahasa Indonesia dan Inggris di ruang publik mendapat tanggapan 43% dari kelompok produsen/pemilik/pengelola dan 37%, dari kelompok konsumen/pengunjung. 

Jawaban lain yang dimunculkan ialah penggunaan bahasa Indonesia dan daerah, serta penggunaan tiga bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia, daerah, dan Inggris; (3) regulasi penggunaan bahasa Indonesia (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dan Perpres Nomor 63 Tahun 2019) diketahui oleh 51% responden, 49% lainnya tidak mengetahui tentang regulasi itu. 

Artinya, sosialisasi regulasi kebahasaan belum maksimal sehingga diperlukan upaya yang lebih masif dan berkesinambungan; (4) mayoritas responden kelompok produsen/pemilik/pengelola merasa harus berperan menjaga bahasa negara (97%). 

Sikap positif ini tidak terlepas dari pengetahuan masyarakat tentang pentingnya eksistensi bahasa negara bagi sebuah bangsa, terutama bagi bangsa multikultural seperti Indonesia. 

Di satu sisi responden memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi terhadap bahasa negara, di sisi lain disinyalir adanya kepentingan atau tujuan tertentu dalam penggunaan bahasa asing. 

Sedangkan kelima, aspek afektif nasionalisme kelompok konsumen/pengunjung mendapat tanggapan positif sebesar 87%. Hal ini menunjukkan masih terdapat 13% responden yang bersikap negatif terhadap rasa nasionalisme dalam berbahasa. 

Sedangkan keenam, indikator kognitif responden kelompok konsumen/pengunjung memiliki indeks kumulatif 0,85 untuk pemahaman dan 0,88 untuk pengetahuan kaidah bahasa Indonesia. Artinya, sebagian besar responden memiliki kognisi yang baik tentang kaidah bahasa Indonesia. 

Hal ini berarti bahwa masyarakat mengetahui dan memahami kaidah bahasa Indonesia; (7) indeks kumulatif indikator konatif hanya 0,015 untuk aspek bahasa, berarti indeks kumulatif aspek nonbahasa 0, 985. Terdapat perbedaan yang sangat besar untuk alasan memilih produk/tempat berbahasa asing.

Artinya, alasan responden bukan karena bahasa asing yang digunakan, tetapi ada alasan lain yang lebih realistis, seperti kebersihan/kenyamanan, harga, kelengkapan, rasa makanan, rasa ingin tahu, dan kualitas. Pengaruh penggunaan bahasa asing pada nama tempat atau produk sangat kecil terhadap sikap bahasa masyarakat, jelas Songgo. 

Mengacu pada hasil penelitian itu menurut Songgo, menunjukkan pengaruh bahasa asing terhadap minat konsumen/pengunjung/pembeli tidak signifikan.

Laporan: Deslina (Pekanbaru)

Editor: Eka G Putra

 

PEKANBARU (RIAUPOS. CO)- Pekanbaru-Saat ini, masih banyak kelompok produsen /pemilik/pengelola menggunakan bahasa asing (Inggris) di ruang publik Kota Pekanbaru. Mereka beralasan agar produk atau tempat usaha mereka terkesan mahal/mewah. Artinya, bahasa Inggris memiliki daya pragmatik yang mampu menimbulkan citra mahal/mewah. Demikian hasil penelitian yang dilakukan Balai Bahasa Provinsi Riau soal sikap bahasa masyarakat terhadap bahasa Indonesia beberapa waktu lalu. 

Penelitian yang dilakukan dengan menyebarkan kuesioner oleh Tim beranggotakan Dr Fatmawati Adnan MPd, Arpina SPd, Raja Saleh MPd, Fandi Agusman, dan Tengku Khairi menurut Kepala Bahasa Propinsi Riau, Drs Songgo Siruah MPd menemukan berbagai kesimpulan sikap bahasa masyarakat terhadap bahasa Indonesia. 

Responden penelitian yang dilakukan peneliti dibedakan dalam dua kategori, yaitu produsen/pemilik/pengelola (hotel atau penginapan, perumahan, restoran atau kafe, toko, tempat wisata, badan usaha, iklan produk atau kegiatan, rumah sakit, lembaga pendidikan, konsumen makanan/minuman, pengunjung tempat wisata, pelajar, mahasiswa, ASN, dan karyawan swasta). 

Dari penelitian itu menurut Songgo,  alasan terbanyak dari pengunaan bahasa asing yang digunakan,  oleh kelompok produsen/pemilik/pengelola menggunakan bahasa asing (Inggris) di ruang publik Kota Pekanbaru ialah agar terkesan mahal/mewah (34%).

"Artinya, ada anggapan bahwa bahasa Inggris memiliki daya pragmatik yang mampu menimbulkan citra mahal/mewah.  Inilah salah satu pemicu produsen/pemilik/pengelola badan usaha di Kota Pekanbaru menggunakan bahasa Inggris untuk penamaan dan penyebaran informasi, "jelas Songgo. 

Kedua, bahasa Indonesia yang sebaiknya digunakan di ruang publik mendapat tanggapan sebesar 52% dari kelompok produsen/pemilik/pengelola dan 54% dari kelompok konsumen/pengunjung.

Jawaban penggunaan bahasa Indonesia dan Inggris di ruang publik mendapat tanggapan 43% dari kelompok produsen/pemilik/pengelola dan 37%, dari kelompok konsumen/pengunjung. 

Jawaban lain yang dimunculkan ialah penggunaan bahasa Indonesia dan daerah, serta penggunaan tiga bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia, daerah, dan Inggris; (3) regulasi penggunaan bahasa Indonesia (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dan Perpres Nomor 63 Tahun 2019) diketahui oleh 51% responden, 49% lainnya tidak mengetahui tentang regulasi itu. 

Artinya, sosialisasi regulasi kebahasaan belum maksimal sehingga diperlukan upaya yang lebih masif dan berkesinambungan; (4) mayoritas responden kelompok produsen/pemilik/pengelola merasa harus berperan menjaga bahasa negara (97%). 

Sikap positif ini tidak terlepas dari pengetahuan masyarakat tentang pentingnya eksistensi bahasa negara bagi sebuah bangsa, terutama bagi bangsa multikultural seperti Indonesia. 

Di satu sisi responden memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi terhadap bahasa negara, di sisi lain disinyalir adanya kepentingan atau tujuan tertentu dalam penggunaan bahasa asing. 

Sedangkan kelima, aspek afektif nasionalisme kelompok konsumen/pengunjung mendapat tanggapan positif sebesar 87%. Hal ini menunjukkan masih terdapat 13% responden yang bersikap negatif terhadap rasa nasionalisme dalam berbahasa. 

Sedangkan keenam, indikator kognitif responden kelompok konsumen/pengunjung memiliki indeks kumulatif 0,85 untuk pemahaman dan 0,88 untuk pengetahuan kaidah bahasa Indonesia. Artinya, sebagian besar responden memiliki kognisi yang baik tentang kaidah bahasa Indonesia. 

Hal ini berarti bahwa masyarakat mengetahui dan memahami kaidah bahasa Indonesia; (7) indeks kumulatif indikator konatif hanya 0,015 untuk aspek bahasa, berarti indeks kumulatif aspek nonbahasa 0, 985. Terdapat perbedaan yang sangat besar untuk alasan memilih produk/tempat berbahasa asing.

Artinya, alasan responden bukan karena bahasa asing yang digunakan, tetapi ada alasan lain yang lebih realistis, seperti kebersihan/kenyamanan, harga, kelengkapan, rasa makanan, rasa ingin tahu, dan kualitas. Pengaruh penggunaan bahasa asing pada nama tempat atau produk sangat kecil terhadap sikap bahasa masyarakat, jelas Songgo. 

Mengacu pada hasil penelitian itu menurut Songgo, menunjukkan pengaruh bahasa asing terhadap minat konsumen/pengunjung/pembeli tidak signifikan.

Laporan: Deslina (Pekanbaru)

Editor: Eka G Putra

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya