JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pemerintah kembali merelaksasi kebijakan pembukaan sekolah untuk kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka di masa pandemi Covid-19. Melalui surat keputusan bersama (SKB) empat menteri tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran pada semester genap tahun ajaran dan tahun akademik 2020/2021 di masa pandemi, keputusan pembukaan sekolah kembali diserahkan langsung pada pemerintah daerah (pemda).
Sebelumnya, kebijakan pembukaan sekolah untuk KBM tatap muka ini ditetapkan berdasarkan zonasi penyebaran Covid-19 di daerah. terakhir, hanya zona hijau dan kuning yang dibolehkan menyelenggarakan KBM tatap muka. Dari ketentuan tersebut, ternyata hanya 13 persen sekolah yang melakukan KBM tatap muka. Sisanya, masih melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Menurut Menteri Pedidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, kondisi ini menunjukkan bahwa di kedua zona tersebut banyak yang masih tidak melakukan KBM tatap muka. Tapi sebaliknya, ada juga sekolah di zona merah dan oranye yang ada di desa-desa justru melaksanakan tatap muka karena kesulitan PJJ.
Hal ini kemudian didukung fakta bahwa dampak negatif PJJ pada anak merupakan suatu hal yang nyata. Di mana, bila dilaksanakan terus menerus bisa berujung permanen. Misalnya, putus sekolah. Anak didorong orang tua di rumah untuk bekerja guna membantu perekonomian keluarga. Ada juga orang tua yang skeptis pada PJJ karena tidak bisa melihat peran sekolah dalam KBM daring.
Bukan hanya itu, ada risiko kembang tumbuh anak yang juga dipertaruhkan. Ditambah, kesenjagangan capaian pembelajaran antara daerah pinggiran dan daerah mapan yang semakin melebar.
"Kita juga berisiko learning loss. Satu generasi yang hilang pembelajarannya dan harus mengejarnya," ujar Nadiem dalam temu media secara daring, Jumat (20/11).
Belum lagi, dampak psikososial yang lain pada anak dan orang tua. Hingga mengakibatkan peningkatan insiden kekerasan di rumah tangga. Fakta-fakta tersebut kemudian menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan pembukaan sekolah di masa pandemi. Menurutnya, kebijakan tersebut harus mulai berfokus ke daerah. Pemda dinilai paling mengetahui kondisi kebutuhan dan keamanan di wilayahnya.
"Perbedaan dari sebelumnya adalah peta zonasi dari BNPB tidak lagi jadi acuan utama, tapi pemda yang sepenuhnya bisa menentukan," katanya.
Sebab, ketika zonasi ditentukan di tingkat kabupaten, faktanya, banyak desa dan kecamatan yang kondisinya bisa sangat berbeda satu sama lain. Kebebasan ini bukan berarti tanpa aturan. Karena, pembukaan sekolah untuk KBM tatap muka ini tetap ditentukan oleh sejumlah syarat. Mulai dari izin yang harus diperoleh dari tiga pihak. Yakni, pemda melalui dinas pendidikan dan kanwil Kementerian Agama (Kemenag), kepala sekolah, dan perwakilan orang tua melalui komite sekolah. Jika ketiganya sepakat maka sekolah boleh kembali dibuka.
"Sebaliknya, kalau tiga pihak agak sepakat, maka tidak boleh dibuka," ungkapnya.
Lalu, bagaimana bila ada satu orang tua yang tidak setuju? Nadiem menegaskan, bahwa hak tersebut sepenuhya di tangan orang tua. Pihak sekolah pun wajib memfasilitasi mereka dengan tetap memberikan pelajaran secara daring. Kemudian, mempertimbangkan sejumlah faktor di daerah sebelum memberikan izin pembukaan sekolah. Misalnya, tingkat risiko penyebaran Covid-19 di wilayahnya, ketersediaan transportasi publik, kondisi psikologis peserta didik, hingga ketersediaan fasilitas kesehatan.
Pemda juga harus memastikan satuan pendidikan yang akan dibuka memenuhi daftar periksa dari Kemendikbud. Setidaknya, ada enam poin yang salah satunya berisi soal ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan yang layak. Nadiem melanjutkan, ketika nantinya tatap muka sudah dilaksanakan, maka mewanti-wanti agar protokol kesehatan dijalankan secara ketat. Jangan sampai ada mispersepsi bahwa tatap muka ini dilakukan seperti kondisi normal. Seluruh kegiatan yang berisiko penularan bakal dilarang penuh. Seperti kegiatan olahraga dengan menggunakan alat yang digunakan secara bersama-sama. Kemudian, ekstra kurikuler juga tak boleh dilaksanakan karena berisiko pelanggaran protokol kesehatan. Begitu juga dengan kantin, untuk sementara dilarang dibuka. "Anak-anak hanya masuk, belajar, dan pulang," tegasnya.
Nantinya, KBM dalam kelas juga bakal dibatasi pesertanya. Maksimal hanya 50 persen per kelas. Sehingga harus dilakukan shifting. Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Sartono menyampaikan, Indonesia telah berjuang menghadapi pandemi selama kurang lebih 8 bulan. Di mana, pandemi tidak hanya berdampak pada kesehatan tapi juga pendidikan. Jutaan anak-anak pun terdampak sehingga harus melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Sayangnya, meski sudah berjalan dengan baik, PJJ tetap memiliki tantangan tersendiri. Bagi daerah yang tidak memadai infrastrukturnya, membuat PJJ sulit diikuti hingga disiasati dengan KBM dari TVRI hingga program guru kunjung."Kebijakan PJJ diambil demi keselamatan. Tapi, harus diakui bahwa belajar di rumah tidak optimal," ujarnya membacakan surat Menko PMK Muhadjir Effendy dalam temu media secara daring kemarin (20/11).