PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Keprihatinan terhadap kondisi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan semakin menguat. Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) pun mengambil langkah cepat dengan menggelar rapat khusus di Balai Adat LAMR, Jalan Diponegoro, Pekanbaru, Kamis (19/6). Hasil rapat itu memutuskan LAMR akan segera menerbitkan warkah atau surat pernyataan untuk mendorong penegakan hukum atas berbagai pelanggaran yang terjadi di kawasan hutan tersebut.
Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAMR, Datuk Seri H Raja Marjohan Yusuf, menegaskan bahwa pelestarian alam dan perlindungan budaya adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan.
“Tesso Nilo bukan hanya paru-paru Riau atau tempat tinggal satwa seperti gajah Sumatera. Ini juga rumah bagi masyarakat adat. Maka penataan kawasan ini harus dilakukan secara adil dan bijak,” ucapnya.
Datuk Seri Marjohan juga mendorong agar hukum ditegakkan secara tegas, namun tetap melibatkan masyarakat adat dalam upaya pelestarian dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Prinsipnya adalah menjaga harmoni dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal Melayu.
“Tesso Nilo adalah bagian dari marwah kita. Kalau hutan ini rusak, maka keseimbangan hidup pun terganggu,” tambahnya.
Sebagai bentuk kepedulian, LAMR akan segera menerbitkan warkah resmi. Saat ini tim perumus tengah menyusun isi warkah agar dapat disampaikan kepada pihak-pihak terkait.
Kondisi TNTN Saat Ini
Kawasan Tesso Nilo yang luasnya sekitar 83.393 hektare, saat ini menghadapi masalah serius. Dari total itu, sekitar 81.793 hektare sedang dalam proses penertiban. Namun, hasil temuan Satgas Penyelamatan Kawasan Hutan (PKH) menunjukkan hanya 12.561 hektare yang masih berupa hutan alami. Sisanya telah berubah fungsi menjadi kebun sawit, permukiman liar, hingga fasilitas umum yang dibangun tanpa izin.
Juru bicara Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa penertiban ini merupakan komitmen negara untuk menyelamatkan TNTN sebagai habitat penting bagi satwa endemik, termasuk gajah Sumatera.
Upaya ini juga sejalan dengan target nasional: negara bertekad mengambil kembali 3 juta hektare kawasan hutan yang dikuasai secara tidak sah. Hingga Juni 2025, sekitar 1 juta hektare telah berhasil dikuasai kembali.
Sayangnya, selain melibatkan masyarakat, ditemukan pula indikasi keterlibatan oknum pejabat daerah dalam kasus ini, terutama dalam penerbitan dokumen seperti SKT dan SHM di kawasan hutan secara ilegal.
Harapan Penyelesaian yang Adil dan Berkelanjutan
Jaksa Agung RI, ST Burhanuddin, dalam rapat lintas kementerian yang digelar 13 Juni lalu, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap konflik sosial di TNTN. Ia menekankan pentingnya penyelesaian yang menyeluruh dan berkeadilan.
“Ini bukan sekadar soal hukum. Ini soal masa depan hutan dan nasib ribuan warga. Negara harus hadir dengan pendekatan yang manusiawi,” tegasnya.
Burhanuddin berharap penanganan kasus TNTN bisa menjadi contoh nasional dalam menyelesaikan konflik konservasi hutan secara adil. Ia menyerukan sinergi antara berbagai pihak—dari Kementerian LHK, Kejaksaan, ATR/BPN, TNI/Polri, hingga pemerintah daerah.
“Keberhasilan di Tesso Nilo akan menjadi cermin kepemimpinan dan integritas kita dalam menyelamatkan hutan Indonesia,” pungkasnya.