Takwa adalah semangat atau rasa ketuhanan pada diri seorang manusia beriman. Ia merupakan suatu bentuk tertinggi kehidupan rohani atau spiritual. Takwa ditumbuhkan dan diperkuat dengan kontak-kontak, atau zikir (dzikr) kepada Tuhan, itu besar sekali peranannya dalam membentuk kehidupan ruhani.
Ibarat, dalam pengertiannya yang formal (salat, umpamanya), adalah medium komunikasi dengan Tuhan agar terjadi kontak atau zikir itu. Dan memang, tujuan komunikasi dan kontak melalui ibadah itu (puasa, umpamanya) adalah menumbuhkan takwa tadi. (Begitu penting takwa dan zikir itu sehingga khotbah-khotbah selalu diisi dengan pesan takwa dan ditutup dengan zikir).
Maka inilah inti kewajiban manusia: senantiasa memelihara komunikasi dengan Tuhan yang Maha Esa, dengan jalan mengabdi dan berbakti kepada-Nya guna memurnikan agama dan penghayatannya bagi Tuhan semata. Apresiasi ketuhanan itu, dalam intensitasnya lebih lanjut akan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh.
Begitu intensnya kesadaran itu sehingga tumbuh keadaan seperti digambarkan dalam ungkapan bahasa Jawa manunggaling kawula lan Gusti. Artinya, bersatunya hamba dan Tuhannya. Tidak dalam pengertiannya yang panteistis, melainkan seperti manusia dilukiskan dalam Al-Qur’an, bahwa Tuhan itu menyertai manusia di mana pun ia berada, dan bahwa masalah tanggung jawab pribadi dan hubungan langsung kepada Tuhan juga berkaitan dengan puasa.
Puasa merupakan latihan menghayati hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan. Di antara semua ibadah, yang paling bersifat pribadi adalah puasa. Dalam artian bahwa yang tahu kita berpuasa atau tidak hanyalah kita dan Tuhan, sementara orang lain tidak.
Mengapa ketika kita dalam keadaan lapar dan dahaga, dan sendirian, kita tetap menahan diri untuk tidak makan dan minum? Itu sebetulnya merupakan latihan bersikap jujur kepada Allah SWT dan juga kepada diri sendiri.
Sementara itu, dalam ibadah selain puasa, kita dianjurkan sepublik mungkin. Misalnya, kalau salat, sebaiknya kita berjemaah karena berjemaah mempunyai fungsi social yakni memperkuat ikatan komunitas salat.
Haji juga dilaksanakan bersama banyak orang. Zakat lebih menarik lagi, karena dalam Al-Qur’an ada indikasi bahwa Tuhan tidak peduli, apakah orang yang membayar zakat itu ikhlas atau tidak. Yang penting dari zakat adalah orang miskin tertolong karena tujuan zakat adalah menolong orang miskin.
Sekali lagi, di antara ibadah-ibadah yang paling bersifat pribadi adalah puasa. Puasa merupakan latihan menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup. Tuhan selalu beserta kita, di mana pun kita berada. Inilah inti dari takwa yakni kesadaran bahwa dalam hidup ini kita selalu mendapat pengawasan dari Allah SWT yang gaib.
Kalau kita baca ayat-ayat pertama Surah Al-Baqarah, alif lam mim. Inilah kitab yang tiada diragukan. Suatu petunjuk bagi mereka yang bertakwa (Q, 2: 1-2), maka indikasi pertama takwa adalah mereka yang beriman kepada yang gaib (Q, 2: 3).
Moralitas yang sejati memerlukan dimensi kegaiban, yaitu bagaimana orang tetap berbuat baik dan menghindar dari kejahatan meskipun tidak ada yang tahu karena Allah tahu. Dalam konteks ini banyak analis mengatakan bahwa di sinilah terletak kegagalan komunisme.
Kita tahu, komunisme, adalah paham yang ajaran moralitasnya sangat tinggi yakni menginginkan keadilan sosial dan semacamnya. Namun, karena aspek gaibnya tidak ada, mereka gagal total. Karena itu, dasar kehidupan yang benar adalah takwa kepada Allah SWT dan takwa kepada Allah itu sifatnya pribadi, tidak ada yang tahu bahwa kita bertakwa kepada Allah atau tidak, kecuali kita sendiri dan Allah SWT.
Bahkan mungkin kita sendiri juga tidak tahu. Oleh karena itu, kita harus selalu berdoa kepada Allah, Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (Q., 1: 6). Hal ini sama dengan ikhlas, yang juga bersifat rahasia. Ada sebuah ungkapan dalam kitab tasawuf yang artinya:“Amal perbuatan adalah gambar yang mati, dan ruhnya adalah adanya rahasia keikhlasan di dalamnya.”
Mengapa ada ungkapan rahasia? Ini sebetulnya berdasarkan sebuah hadis Nabi yang menceritakan bahwa ada orang bertanya kepada Nabi mengenai ikhlas dan ternyata Nabi tidak tahu. Nabi kemudian bertanya kepada Jibril. Jibril pun tidak tahu. Lalu, melalui Jibril pembawa wahyu, Nabi bertanya kepada Allah SWT.
Allah SWT pun menjawab, “Ikhlas itu adalah salah satu dari rahasia-rahasia-Ku yang Aku titipkan di dalam hati para hamba-Ku yang Aku cintai”. Jadi sedemikian rahasianya ikhlas, malaikat pun tidak bisa tahu sehingga tidak bisa mencatat dan setan pun tidak bisa tahu sehingga tidak bisa merusak.
Itulah ikhlas, dan ikhlas ada korelasinya dengan takwa. Sehingga ada ayat yang menjelaskan bahwa manusia tidak boleh merasa sok suci. Dia lebih tahu tentang kamu ketika Ia mengeluarkan kamu dari bumi, dan ketika kamu masih tersembunyi dalam rahim ibumu. Karenanya, janganlah kamu menganggap diri kamu suci. Dia lebih tahu siapa yang memelihara diri dari kejahatan (Q., 53: 32). Takwa itu ada di dalam dada, bersifat sangat pribadi dan, karena itu, dimensinya pun langsung dengan Tuhan (hablun minallah). Salam teriring doa.***
Oleh:K Suheimi, Owner RS PMC