Tak dapat dipungkiri, kemajuan zaman dan teknologi menginisiasi terjadinya gradasi yang signifikan pada setiap lapisan masyarakat. Hal ini juga menimbulkan dampak yang cukup jelas dalam dunia pendidikan. Sistem pendidikan terus berubah dari waktu ke waktu guna mengikuti arus perkembangan zaman, baik dalam skala lokal maupun global.
Sebelum teknologi menjadi salah satu kebutuhan mendasar seperti saat ini, teknologi sering kali dianggap sebagai musuh bersama dalam dunia pendidikan. Penggunaan gawai pada era 2000-an adalah salah satu bentuk pelanggaran yang biasanya terdapat dalam buku peraturan di setiap sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi dan pendidikan mempunyai gap yang cukup jauh di era itu. Pada masanya, tidak ada satupun benang merah yang bisa menyatukan keduanya agar saling melengkapi.
Seiring berkembangnya sistem informasi yang berbasis teknologi, perlahan masyarakat mulai menerima perubahan-perubahan yang ada. Terutama dalam ranah teknologi berbasis alat komunikasi. Dengan sekejap, alat-alat komunikasi berkembang dan menjelma menjadi salah satu komoditas yang dicari masyarakat laptop, smartphone, dan berbagai jenis gadget lain bahkan dianggap sebagai kebutuhan primer yang harus dimiliki oleh setiap anggota keluarga. Penyebaran yang masif dan tak bisa terbendung menandai terjadinya revolusi industri dalam hal komunikasi. Pada sekitar tahun 2015 revolusi industri dimulai dari 2.0, 3.0, 4.0, dan sekarang sedang menuju 5.0 yang sebentar lagi akan kita hadapi.
Pandemi Covid-19 disinyalir juga membawa peran yang cukup besar bagi perkembangan teknologi di awal abad ke-21 ini. Istilah Work From Home (WFH) dan Belajar Dari Rumah (BDR) menjadi istilah-istilah familiar yang menghiasi media massa akhir-akhr ini. Dalam penerapannya, WFH dan BDR membutuhkan sarana teknologi informasi yang memadai, baik itu smartphone, laptop, dan media-media penunjang lainnya.
Pada era awal perkembangannya, teknologi informasi dianggap belum memadai unsur-unsur yang mematrikulasi berbagai hal yang menjadi suatu instrumen Pendidikan. Hal ini secara perlahan dan terstruktur akhirnya mencapai titik yang diharapkan. Dimana pendidikan yang berbasis teknologi informasi dianggap sebagai salah satu peluang terciptanya sumber daya manusia, yang bukan hanya peduli terhadap masalah-masalah umum dalam bidang pendidikan, tetapi juga menginisiasi terbentuknya pakem yang jelas antara hubungan keduanya.
Menurut Prof Dr Yusufhadi Marso MSc (1986), teknologi pendidikan merupakan proses yang kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah mencari jalan pemecahannya, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah yang menyangkut semua aspek belajar manusia. Hal ini menerangkan bahwa peningkatan mutu dalam pendidikan seyogya nya di latar belakangi oleh berbagai aspek, termasuk teknologi.
Dalam upaya penyetaraan pendidikan, teknologi memiliki peranan yang sangat penting, ia mampu menyentuh garis-garis terluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini tentunya menambah amunisi sumber daya manusia yang kompeten bagi pemerintah. Di sisi lain, pemerintah juga mengambil peran dalam beberapa kebijakan yang selaras dengan kemajuan teknologi. Salah satunya adalah Surat Edaran Nomor 15 tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah, Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 yang dikeluarkan oleh Kemendikbud. Meskipun tujuan utama dari Surat Edaran ini hanyalah untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran Covid-19. Namun nyatanya, pemberlakuan surat edaran ini masih diterapkan hingga sekarang di berbagai sekolah, dan instrumen pendidikan yang lebih nyaman melakukan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Merdeka Belajar, adalah hasil dari pemikiran yang terdisrupsi dari berbagai fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan. Pemaparan yang mebosankan, konsep yang kurang lengkap, serta keikutsertaaan peserta didik dalam pembelajaran yang dirasa minim, memicu terbentuknya sebuah sistem yang disebut dengan Merdeka Belajar. Proses kreatif dan inovatif mampu merangsang peserta didik untuk bereksperimen dalam berbagai hal yang mereka sukai.
Tentunya, peran teknologi dari proses kreatif tersebut sangat dibutuhkan, guna memberi ranah bebas bagi peserta didik untuk menuangkan segala bentuk ide dan harapan mereka dalam proses pembelajaran. Konsep merdeka belajar dirasa sejalan dengan apa yang diharapkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara; yang melarang adanya paksaan kepada peserta didik, karena akan mematikan jiwa merdeka serta kreativitas mereka dalam belajar.
Guru SMA IT Al-Ittihad Pekanbaru, M Ramadhan Arif menyatakan, Merdeka Belajar merupakan cara baru yang efektif bagi tenaga pendidik dan peserta didik untuk mengeksplor berbagai hal menarik dalam suatu topik pembelajaran. Baginya, Merdeka Belajar adalah jawaban konkret dalam mengatasi masalah-masalah pendidikan yang selama ini belum teratasi. Peran tenaga pendidik sebagai fasilitator diharap mampu meberikan pengalaman yang berbeda bagi peserta didik. Di mana mereka diberi kebebasan untuk menuangkan aspirasinya tentang suatu topik pembahasan yang dibungkus dalam ensiklopedi yang menarik.
Pada akhirnya, dari pemaparan penulis di atas, setidaknya ada satu benang merah yang bisa ditarik guna mempercepat proses terbentuknya sistem Merdeka Belajar yang diimpikan. Benang merah itu ialah literasi digital, dimana setiap peserta didik nantinya diharapkan mampu mengejawantahkan setiap produk pendidikan dengan bijak, cermat dan terukur. Menurut Paul Glister, literasi digital merupakan kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dan sumber, dengan sangat luas yang diakses melalui piranti elektronik.
Literasi digital adalah kecakapan dalam menggunakan media digital, alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh terhadap hukum sesuai dengan kegunaannya. Dalam rangka membina komunikasi dan interaksi kehidupan sehari-hari. Tentunya hal ini juga diharapkan mampu menginisiasi peserta didik untuk berpikir kritis, kreatif, inovatif, serta inspiratif dalam berbagai ranah kompetisi digital nantinya.
Literasi digital juga merupakan standar bagi peserta didik untuk menentukan kadar kognitif dan teknikal mereka dalam berbagai bidang keilmuwan yang mereka gemari. Dalam penerapannya, dibutuhkan keterampilan teknis dan berfokus pada aspek-aspek yang menunjang keberlangsungan proses terbentuknya sumber daya manusia yang eksis dalam bidang-bidang keilmuwan terkait. Literasi digital memiliki konklusi sebagai respon terhadap perkembangan teknologi dalam menggunakan media, untuk mendukung masyarakat memiliki kemampuan membaca, serta meningkatkan keinginan untuk membaca berbagai macam literatur, yang nantinya mampu menunjang pemerataan pendidikan di masyarakat.***
M Muaddib Qomarsyah LC, Guru SMA IT Al-Ittihad Pekanbaru