Rabu, 15 Mei 2024

Dari Takwa Institutif Menuju Takwa Intuitif

(RIAUPOS.CO) – Ada dua kategori takwa dalam tulisan ini yakni Takwa Institutif dan Takwa Intuitif. Kedua takwa ini saling ketergantungan dan melengkapi satu dengan lainnya. Takwa institutif yang berbasis al-syariah-normatif-tekstualis, sesungguhnya berada pada posisi dasar atau basis bagi takwa intuitif, karena tanpa keberadaan takwa yang yang pertama, takwa yang kedua ditenggarai akan kehilangan arah bahkan menyimpang.

Tanpa kekokohan takwa yang pertama ini, maka takwa kedua niscaya akan mudah goyah bahkan kehilangan makna spritualitasnya. Begitu pula sebaliknya takwa intuitif yang berbasis al-syariah-historis-kontekstualis, mampu melahirkan kesadaran diri shoimun kemudian menjadi motivasi instrinsik bagi takwa institutive untuk keluar dari kungkungan kekakuan al-syariah-normatif-tekstualis yang tersekat oleh ruang dan waktu, yang berpotensi pula mengukung shoimun menunaikan ibadah berpuasa ramadhan dan ibadah pengayaan lainnya demi tuntutan al-syari’ah-normatif-tekstualis semata.

Yamaha

Melalui dukungan takwa intuitif ini, takwa institutive ini nantinya mampu bertransformasi pada kehidupan senyatanya memenuhi tuntutan al-syari’ah-historis-kontekstualis, melalui dukungan kesadaran diri yang lebih tinggi sebagai hasil tempaan selama menunaikan ibadah puasa Ramadhan dan segala ibadah pengayaan yang mengiringinya.

Takwa intuitif ini sesungguhnya lahir dari kesadaran yang tinggi dalam diri shoimun dengan kemampuan mermati dari beragam makna spritualitas yang termuat dalam ibdah puasa ramadhan dan ibadah-ibadah pengayaan yang mengiringinya melalui kemampuan hati (qalb) semisal selalu mempertanyakan, mengabstraksi, berkontemplasi, berfikir reflektif, dan selalu berzikir (mengingat-ingat Allah swt) yang seperti disebutkan sebelumnya.

Sedemikian rupa melahirkan kedaran diri yang tinggi akan adanya sesuatu yang lebih kaya dan mulia dibalik al-syariah-normatif-tekstualis terutama terkait dengan relasi dengan Allah swt, manusia dan lingkungan. Hal seperti ini sesungguhnya akan ditemukan dalam ibadah puasa Ramadan yang amat sarat dengan nilai-nilai yang memfasilitasi terbangunnya relasi yang akrab dengan Allah swt dan ciptaannya.

- Advertisement -

Muhammad Iqbal, seorang pemikir Islam abad 20 menyimpulkan bahwa diantara tujuan Al-Qur’an diturunkan adalah untuk membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan ciptaanNya. (Kalid Mas’ud, 2007). Pada ranah takwa intuitif ini pula, puasa Ramadan sejatinya tidak lagi sebatas ibadah formal-ahkam syari’ah, yang hanya berada pada bulan Ramadan saja, tetapi lebih dari itu yakni ibadah yang meniscayakan melahirkan kesadaran spiritual, baik di saat maupun setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan dengan iringan ibadah-ibadah pengayaannya.

Baca Juga:  Revolusi Industri 4.0 dan Tantangan Pendidikan Tinggi

Kesadaran spiritual puasa Ramadan ini yang niscaya tumbuh dan berkembang dalam sikap dan perilaku shoimun yang terlihat setidaknya ditandai dengan muncul dan berkembangnya nilai-nilai yang berkaitan dengan jiwa kebajikan orang tersebut (self), orang lain (others) alam (nature), kehidupan (life) yang memuat kualitas kebenaran yang paling mulia didalam sikap dan perilaku senyatanya.(Elkins, et all:1988)

- Advertisement -

Untuk mendorong tetap berkembangnya spiritualitas ibadah-ibadah Ramadan beserta nilai yang dikandungnya tetap hidup dan berkelanjutan baik kuantitas dan kualitasnya di luar bulan Ramadan, perlu mempertimbangkan apa yang dikenal dalam dunia tasawuf, yakni muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri).

Secara praktis muraqabah (mawas diri) merupakan sebuah metoda spiritual-transendental yang dimanfaatkan untuk memunculkan dan mengembangkan kesadaran berfikir yang mendalam dan merenungkan akan kehadiran Allah swt yang amat dekat dan selalu mengawasi setiap perbuatan manusia di dalam kehidupan ini.

Metoda ini tidak hanya dapat melahirkan kesadaran yang tinggi akan adanya Allah swt tetapi juga dapat mengembangkan perilaku akhlak yang lebih baik dan maksimal dalam kehidupan. Sementara itu muhasabah (introspeksi diri) secara umum merupakan sebuah metoda spiritual yang dilakukan dalam bentuk mengevaluasi kerja pikir dan menganalisis perilaku diri sendiri dengan tujuan menyucikan jiwa dan merawat kehidupan perilaku keberagamaan .yang telah dimiliki, bahkan mengembangkannya (al-Daghistani, 2016)

Muhasabah (introspeksi diri) itu sendiri sesunguhnya merupakan irisan dari muraqabah (mawas diri) yang saling menguatkan satu bagi yang lainnya, sedemikian rupa muhasabah (introspeksi diri) ini, juga akan menguatkan perilaku ibadah ramadhan dan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari meskipun di luar bulan Ramadan. Hal ini dikarekan bukankah muhasabah (introspeksi diri) itu sendiri memiliki karakter menelaah pikiran-pikiran dan menganalisis perilaku yang telah dilakukan dengan satu tujuan yakni merawat dan meningkatkannya sesuai dengan ketetapan agama.

Tambahan lagi sesungguhnya muhasabah (introspeksi diri) itu menurut al-Muhasibi (d. 857) sangat diperlukan untuk mengembalikan ke maksud awal dan watak yang sesungguhnya dari sebuah perbuatan itu (al-Daghistani, 2016). Dorongan kuat dari muraqabah (mawas diri) ini misalnya dapat ditangkap dari kemampuan kerja metoda ini yang menempatkan kesadaran akan keberadaan Allah swt selalu mengawasi setiap perilakunya menjadi dasar sebuah perilaku ibadah itu ditunaikan oleh pelakunya.

Baca Juga:  Indonesia Hebat Bersama Umat

Dalam konteks ini dipahami bahwa sesungguhnya menjadi bagian terdalam dari sebuah perilaku ibadah yang ditunaikannya, sedemikia rupa kehadiran Allah swt seperti ini justru menjadi energi dan motivasi yang tiada tandingannya untuk selalu menunaikan ibadah-ibadah yang telah dimilikinya, bahkan memungkinkan pula mngembangkannya menjadi lebih baik dan bermakna dalam kehidupan pelaku ibadah tersebut.

Dapat dipahami pula bahwa kebenaran yang koherensif ditemukan pada muraqabah (mawas diri) karena kemampuannya dapat mendorong perilaku dan sikap ibadah melebihi dari perilaku dan sikap ibadah sebelumnya. Begitu pula metoda muhasabah (introspeksi diri), dinilai mampu mendorong dan mengembangkan perilaku ibadah yang berbasis pada kesadaran diri.

Kemampuannya seperti ini, setidaknya terlihat dari karakteristik kerja metoda ini yang terus menerus melakukan evaluasi terhadap perilaku ibadah untuk selalu tetap selalu pada posisinya semula, jika terjadi degradasi muraqabah (mawas diri) akan mengingatkan maksud semula dan watak sesungguhnya dari sebuah perilaku ibadah itu ditunaikan.

Karakteristik mengontrol, meng­embalikan pada posisi semula serta mengingatkan pelaku ibadah yang dimiliki oleh metoda ini, meniscayakan sebuah perilaku ibadah akan berkelanjutan dilaksakan oleh yang bersangkutan tanpa ada pengurangan baik secara kuantitas maupun kualitas.

Dengan memanfaatkan metoda muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri) seperti dipaparkan di atas, secara niscaya para shoimun dapat dorongan yang amat kuat dari dalam dirinya untuk meneruskan sikap dan perilaku ibadah Ramadhan dan ibadah lain yang mengiringinya, berawal dari ketaataan kesholihan al-syariah-normatif-tektualis ke ketaatan dan kesholihan al-syariah-historis-kontekstualis. Sebuah kesolihan yang meniscayakan lahirnya perilaku ibadah-ibadah Ramadhan serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan terus hidup subur didalam kepribadian shoimun di pasca Ramadan. ***

(RIAUPOS.CO) – Ada dua kategori takwa dalam tulisan ini yakni Takwa Institutif dan Takwa Intuitif. Kedua takwa ini saling ketergantungan dan melengkapi satu dengan lainnya. Takwa institutif yang berbasis al-syariah-normatif-tekstualis, sesungguhnya berada pada posisi dasar atau basis bagi takwa intuitif, karena tanpa keberadaan takwa yang yang pertama, takwa yang kedua ditenggarai akan kehilangan arah bahkan menyimpang.

Tanpa kekokohan takwa yang pertama ini, maka takwa kedua niscaya akan mudah goyah bahkan kehilangan makna spritualitasnya. Begitu pula sebaliknya takwa intuitif yang berbasis al-syariah-historis-kontekstualis, mampu melahirkan kesadaran diri shoimun kemudian menjadi motivasi instrinsik bagi takwa institutive untuk keluar dari kungkungan kekakuan al-syariah-normatif-tekstualis yang tersekat oleh ruang dan waktu, yang berpotensi pula mengukung shoimun menunaikan ibadah berpuasa ramadhan dan ibadah pengayaan lainnya demi tuntutan al-syari’ah-normatif-tekstualis semata.

Melalui dukungan takwa intuitif ini, takwa institutive ini nantinya mampu bertransformasi pada kehidupan senyatanya memenuhi tuntutan al-syari’ah-historis-kontekstualis, melalui dukungan kesadaran diri yang lebih tinggi sebagai hasil tempaan selama menunaikan ibadah puasa Ramadhan dan segala ibadah pengayaan yang mengiringinya.

Takwa intuitif ini sesungguhnya lahir dari kesadaran yang tinggi dalam diri shoimun dengan kemampuan mermati dari beragam makna spritualitas yang termuat dalam ibdah puasa ramadhan dan ibadah-ibadah pengayaan yang mengiringinya melalui kemampuan hati (qalb) semisal selalu mempertanyakan, mengabstraksi, berkontemplasi, berfikir reflektif, dan selalu berzikir (mengingat-ingat Allah swt) yang seperti disebutkan sebelumnya.

Sedemikian rupa melahirkan kedaran diri yang tinggi akan adanya sesuatu yang lebih kaya dan mulia dibalik al-syariah-normatif-tekstualis terutama terkait dengan relasi dengan Allah swt, manusia dan lingkungan. Hal seperti ini sesungguhnya akan ditemukan dalam ibadah puasa Ramadan yang amat sarat dengan nilai-nilai yang memfasilitasi terbangunnya relasi yang akrab dengan Allah swt dan ciptaannya.

Muhammad Iqbal, seorang pemikir Islam abad 20 menyimpulkan bahwa diantara tujuan Al-Qur’an diturunkan adalah untuk membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan ciptaanNya. (Kalid Mas’ud, 2007). Pada ranah takwa intuitif ini pula, puasa Ramadan sejatinya tidak lagi sebatas ibadah formal-ahkam syari’ah, yang hanya berada pada bulan Ramadan saja, tetapi lebih dari itu yakni ibadah yang meniscayakan melahirkan kesadaran spiritual, baik di saat maupun setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan dengan iringan ibadah-ibadah pengayaannya.

Baca Juga:  Peran Guru Tak Akan Tergantikan oleh Apa pun

Kesadaran spiritual puasa Ramadan ini yang niscaya tumbuh dan berkembang dalam sikap dan perilaku shoimun yang terlihat setidaknya ditandai dengan muncul dan berkembangnya nilai-nilai yang berkaitan dengan jiwa kebajikan orang tersebut (self), orang lain (others) alam (nature), kehidupan (life) yang memuat kualitas kebenaran yang paling mulia didalam sikap dan perilaku senyatanya.(Elkins, et all:1988)

Untuk mendorong tetap berkembangnya spiritualitas ibadah-ibadah Ramadan beserta nilai yang dikandungnya tetap hidup dan berkelanjutan baik kuantitas dan kualitasnya di luar bulan Ramadan, perlu mempertimbangkan apa yang dikenal dalam dunia tasawuf, yakni muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri).

Secara praktis muraqabah (mawas diri) merupakan sebuah metoda spiritual-transendental yang dimanfaatkan untuk memunculkan dan mengembangkan kesadaran berfikir yang mendalam dan merenungkan akan kehadiran Allah swt yang amat dekat dan selalu mengawasi setiap perbuatan manusia di dalam kehidupan ini.

Metoda ini tidak hanya dapat melahirkan kesadaran yang tinggi akan adanya Allah swt tetapi juga dapat mengembangkan perilaku akhlak yang lebih baik dan maksimal dalam kehidupan. Sementara itu muhasabah (introspeksi diri) secara umum merupakan sebuah metoda spiritual yang dilakukan dalam bentuk mengevaluasi kerja pikir dan menganalisis perilaku diri sendiri dengan tujuan menyucikan jiwa dan merawat kehidupan perilaku keberagamaan .yang telah dimiliki, bahkan mengembangkannya (al-Daghistani, 2016)

Muhasabah (introspeksi diri) itu sendiri sesunguhnya merupakan irisan dari muraqabah (mawas diri) yang saling menguatkan satu bagi yang lainnya, sedemikian rupa muhasabah (introspeksi diri) ini, juga akan menguatkan perilaku ibadah ramadhan dan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari meskipun di luar bulan Ramadan. Hal ini dikarekan bukankah muhasabah (introspeksi diri) itu sendiri memiliki karakter menelaah pikiran-pikiran dan menganalisis perilaku yang telah dilakukan dengan satu tujuan yakni merawat dan meningkatkannya sesuai dengan ketetapan agama.

Tambahan lagi sesungguhnya muhasabah (introspeksi diri) itu menurut al-Muhasibi (d. 857) sangat diperlukan untuk mengembalikan ke maksud awal dan watak yang sesungguhnya dari sebuah perbuatan itu (al-Daghistani, 2016). Dorongan kuat dari muraqabah (mawas diri) ini misalnya dapat ditangkap dari kemampuan kerja metoda ini yang menempatkan kesadaran akan keberadaan Allah swt selalu mengawasi setiap perilakunya menjadi dasar sebuah perilaku ibadah itu ditunaikan oleh pelakunya.

Baca Juga:  Indonesia Hebat Bersama Umat

Dalam konteks ini dipahami bahwa sesungguhnya menjadi bagian terdalam dari sebuah perilaku ibadah yang ditunaikannya, sedemikia rupa kehadiran Allah swt seperti ini justru menjadi energi dan motivasi yang tiada tandingannya untuk selalu menunaikan ibadah-ibadah yang telah dimilikinya, bahkan memungkinkan pula mngembangkannya menjadi lebih baik dan bermakna dalam kehidupan pelaku ibadah tersebut.

Dapat dipahami pula bahwa kebenaran yang koherensif ditemukan pada muraqabah (mawas diri) karena kemampuannya dapat mendorong perilaku dan sikap ibadah melebihi dari perilaku dan sikap ibadah sebelumnya. Begitu pula metoda muhasabah (introspeksi diri), dinilai mampu mendorong dan mengembangkan perilaku ibadah yang berbasis pada kesadaran diri.

Kemampuannya seperti ini, setidaknya terlihat dari karakteristik kerja metoda ini yang terus menerus melakukan evaluasi terhadap perilaku ibadah untuk selalu tetap selalu pada posisinya semula, jika terjadi degradasi muraqabah (mawas diri) akan mengingatkan maksud semula dan watak sesungguhnya dari sebuah perilaku ibadah itu ditunaikan.

Karakteristik mengontrol, meng­embalikan pada posisi semula serta mengingatkan pelaku ibadah yang dimiliki oleh metoda ini, meniscayakan sebuah perilaku ibadah akan berkelanjutan dilaksakan oleh yang bersangkutan tanpa ada pengurangan baik secara kuantitas maupun kualitas.

Dengan memanfaatkan metoda muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri) seperti dipaparkan di atas, secara niscaya para shoimun dapat dorongan yang amat kuat dari dalam dirinya untuk meneruskan sikap dan perilaku ibadah Ramadhan dan ibadah lain yang mengiringinya, berawal dari ketaataan kesholihan al-syariah-normatif-tektualis ke ketaatan dan kesholihan al-syariah-historis-kontekstualis. Sebuah kesolihan yang meniscayakan lahirnya perilaku ibadah-ibadah Ramadhan serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan terus hidup subur didalam kepribadian shoimun di pasca Ramadan. ***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari