Senin, 8 Desember 2025
spot_img

Bashori, Dosen Manajemen Pendidikan Islam UIN Imam Bonjol Padang

Orang Baik dan Ketakutan Menolak

​KASUS operasi tangkap tangan (OTT) terhadap seorang gubernur yang meminta fee dari bawahannya di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) kembali menyoroti rapuhnya moralitas dalam lingkar kekuasaan. Peristiwa ini tidak hanya menggambarkan perilaku tidak etis seorang pejabat publik, tetapi juga mendorong penyelidikan yang lebih mendalam: mengapa banyak individu yang dianggap “baik”—yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, mematuhi prinsip-prinsip agama, dan memahami kerangka hukum—menunjukkan keengganan untuk menentang arahan yang jelas tidak etis? Apa yang menjelaskan penyimpangan dari akal sehat dan standar etika ketika dihadapkan dengan kekuatan otoritas yang memaksa?

​Secara rasional, setiap orang dewasa memiliki kapasitas untuk berpikir kritis dan memikul kewajiban moral untuk membedakan yang benar dari yang salah. Dalam skenario yang optimal, seseorang harus mampu mengartikulasikan “tidak” ketika dihadapkan dengan permintaan yang melanggar ketentuan hukum. Namun, realitas yang berlaku dalam lanskap birokrasi dan politik kita menunjukkan sebaliknya. Sejumlah besar karyawan atau pejabat bawahan memilih untuk tetap diam, menyetujui, atau bahkan mengambil bagian dalam pelanggaran. Hal ini bukan karena ketidaktahuan akan kesalahannya, melainkan karena mereka mendiami kerangka kerja yang membuat perbedaan pendapat tampaknya tidak praktis. Kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan, ancaman penugasan kembali (mutasi), tekanan sosial, dan stigma yang terkait dengan dicap “tidak setia” membuat ketabahan moral menjadi atribut yang sangat langka.

​Fenomena ini tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai kekurangan pribadi tunggal. Ini adalah simbol dari budaya kepatuhan dan hierarki kekuasaan yang telah mendarah daging dalam sistem pemerintahan kita. Dalam struktur birokrasi yang ditandai dengan tingkat hierarki yang tinggi, kesetiaan kepada atasan sering menggantikan keharusan integritas. Akibatnya, bawahan menunjukkan rasa takut yang lebih besar terhadap individu yang berwenang daripada terhadap pelanggaran moral itu sendiri. Ketaatan, yang seharusnya berasal dari kesadaran etis, berubah menjadi kepatuhan mekanis terhadap arahan, bahkan ketika perintah tersebut pada dasarnya salah.

Ketaatan dan Kekuasaan
​Seorang tokoh psi­kolog sosial, Stanley Milgram (1963), secara empiris menunjukkan bahwa individu menunjukkan kecenderungan untuk mematuhi figur otoritas, bahkan ketika arahan tersebut bertentangan dengan standar etika pribadi. Dalam penyelidikannya, sebagian besar subjek memberikan “kejutan listrik” yang berbahaya kepada orang lain semata-mata karena pengaruh kehadiran otoritatif. Perilaku yang diamati ini menunjukkan bahwa individu mampu bertindak bertentangan dengan keyakinan moral mereka ketika dihadapkan dengan dinamika kekuasaan. Fenomena serupa terlihat dalam struktur birokrasi. Ketika arahan berasal dari individu dalam posisi otoritas yang memegang kendali atas lintasan karier bawahan atau prospek masa depan, banyak karyawan mengalami rasa paksaan untuk mematuhi. Kepatuhan sering ditafsirkan sebagai indikasi kesetiaan, meskipun hal itu menuntut penekanan perasaan bersalah. Ungkapan seperti “Saya hanya menjalankan perintah” berkembang menjadi rasionalisasi untuk melepaskan akuntabilitas etis. Dalam kerangka Milgram, keadaan psikologis ini disebut sebagai keadaan agentik, di mana individu menganggap diri mereka hanya sebagai instrumen, bukan sebagai pelaku pelanggaran moral.

Baca Juga:  Kasus Anggaran Perjalanan Dinas, Sekwan DPRD Pekanbaru Dipanggil Jaksa

​Sosiolog Richard Emerson (1962) berpendapat bahwa kekuasaan berasal dari ketergantungan. Sejauh mana seorang individu bergantung pada entitas lain untuk pekerjaan, remunerasi keuangan, atau rasa aman berkorelasi positif dengan kekuatan yang dimiliki oleh entitas tersebut. Dalam struktur birokrasi, dinamika ini sangat menonjol: bawahan bergantung pada atasan untuk kemajuan dan evaluasi. Akibatnya, menentang arahan atasan dianggap berbahaya. Skenario ini menghadirkan kebingungan moral: memilih kesetiaan pada hati nurani seseorang memerlukan kesiapan untuk melepaskan posisi; sebaliknya, memilih kepatuhan memerlukan penghapusan integritas seseorang. Banyak individu yang berniat baik terperangkap dalam persetujuan yang salah arah. Mereka mungkin tidak menyadari sifat arahan yang salah, tetapi mereka menemukan diri mereka terjerat dalam sistem di mana rasa takut menggantikan keyakinan moral.

​Psikolog sosial Solomon Asch (1951) menunjukkan bahwa individu menunjukkan kecenderungan untuk menyelaraskan diri dengan mayoritas, bahkan dalam kasus ketika mereka memiliki kesadaran bahwa sikap mayoritas itu salah. Dalam lingkungan birokrasi yang telah menormalkan praktik “setoran” atau “biaya proyek”, setiap penolakan untuk mematuhi dianggap sebagai perilaku yang menyimpang. Individu yang berusaha untuk menegakkan kejujuran sering menghadapi stigmatisasi sebagai tidak kooperatif atau tidak setia. Dalam lingkungan organisasi seperti itu, pelanggaran etika didefinisikan ulang—dari dilihat sebagai tindakan menyimpang menjadi komponen integral dari budaya tempat kerja yang berlaku. Victor dan Cullen (1988) mencirikan fenomena ini sebagai iklim etika instrumental, yaitu suasana organisasi yang mengevaluasi tindakan terutama berdasarkan kepentingan individu atau kolektif, bukan pada pertimbangan etis. Kerangka budaya ini memperkuat hierarki kesetiaan: bawahan menunjukkan kepatuhan kepada atasan mereka, alih-alih kepatuhan pada nilai-nilai etika. Ketika kesetiaan diprioritaskan di atas integritas, pelanggaran menjadi tertanam dalam kerangka sistemik yang mapan.

Baca Juga:  OTT di Dinas PUPR Riau: KPK Temukan “Jatah Preman” Anggaran, Gubri Diperiksa

​Psikolog Albert Bandura (1999) menambahkan aspek penting lainnya: keterlibatan moral (moral disengagement). Aspek ini adalah kemampuan manusia untuk melepaskan kontrol moral mereka, sehingga mereka dapat melakukan kesalahan tanpa merasa bersalah. Rasionalisasi seperti “semuanya juga begitu” atau “ini perintah atasan” dapat membantu mengurangi perasaan bersalah. Orang baik dapat melakukan tindakan buruk tanpa merasa jahat karenanya. Bandura menjelaskan bahwa mereka bukan kehilangan akal sehat. Sebaliknya, mereka menghilangkan rasa empati dan tanggung jawab moral untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang tidak bermoral. Rasa bersalah menjadi rasa “normal” dalam birokrasi yang telah lama terbiasa dengan penyimpangan. Orang-orang yang baik juga menyesuaikan diri agar tidak terlihat “aneh” di tengah ketidakbenaran sistemik.

Antara Fee dan Fear
Persoalan utama yang dihadapi birokrasi kita sesungguhnya bukan hanya soal fee atau uang, melainkan soal fear—rasa takut yang mengakar. Ketakutan akan mutasi, pengucilan, atau kehilangan posisi membuat banyak orang memilih diam. Dalam sistem yang menjadikan rasa takut sebagai norma, keberanian moral menjadi sesuatu yang langka. Selama kekuasaan lebih menghargai kepatuhan daripada kejujuran, orang-orang baik akan terus tersingkir—bukan karena kalah oleh kejahatan, tetapi oleh ketakutannya sendiri.

​Upaya memberantas korupsi tidak cukup hanya dengan menegakkan hukum. Penindakan memang penting, namun akar persoalannya terletak pada pudarnya keberanian moral dalam birokrasi. Kita membutuhkan keberanian untuk berkata “tidak” meski berdiri sendiri, keberanian untuk melawan arus, dan keberanian untuk menolak perintah yang bertentangan dengan nurani. Institusi publik semestinya menjadi ruang aman bagi mereka yang melaporkan pelanggaran, bukan malah menghukum mereka. Sudah saatnya loyalitas baru dibangun—bukan kepada individu atau jabatan, melainkan kepada kebenaran dan integritas publik. Sebab, “korupsi kerap terjadi bukan berawal dari niat jahat, melainkan dari orang baik yang kehilangan keberanian untuk menolak.”***

Bashori, Dosen Manajemen Pendidikan Islam UIN Imam Bonjol Padang

​KASUS operasi tangkap tangan (OTT) terhadap seorang gubernur yang meminta fee dari bawahannya di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) kembali menyoroti rapuhnya moralitas dalam lingkar kekuasaan. Peristiwa ini tidak hanya menggambarkan perilaku tidak etis seorang pejabat publik, tetapi juga mendorong penyelidikan yang lebih mendalam: mengapa banyak individu yang dianggap “baik”—yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, mematuhi prinsip-prinsip agama, dan memahami kerangka hukum—menunjukkan keengganan untuk menentang arahan yang jelas tidak etis? Apa yang menjelaskan penyimpangan dari akal sehat dan standar etika ketika dihadapkan dengan kekuatan otoritas yang memaksa?

​Secara rasional, setiap orang dewasa memiliki kapasitas untuk berpikir kritis dan memikul kewajiban moral untuk membedakan yang benar dari yang salah. Dalam skenario yang optimal, seseorang harus mampu mengartikulasikan “tidak” ketika dihadapkan dengan permintaan yang melanggar ketentuan hukum. Namun, realitas yang berlaku dalam lanskap birokrasi dan politik kita menunjukkan sebaliknya. Sejumlah besar karyawan atau pejabat bawahan memilih untuk tetap diam, menyetujui, atau bahkan mengambil bagian dalam pelanggaran. Hal ini bukan karena ketidaktahuan akan kesalahannya, melainkan karena mereka mendiami kerangka kerja yang membuat perbedaan pendapat tampaknya tidak praktis. Kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan, ancaman penugasan kembali (mutasi), tekanan sosial, dan stigma yang terkait dengan dicap “tidak setia” membuat ketabahan moral menjadi atribut yang sangat langka.

​Fenomena ini tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai kekurangan pribadi tunggal. Ini adalah simbol dari budaya kepatuhan dan hierarki kekuasaan yang telah mendarah daging dalam sistem pemerintahan kita. Dalam struktur birokrasi yang ditandai dengan tingkat hierarki yang tinggi, kesetiaan kepada atasan sering menggantikan keharusan integritas. Akibatnya, bawahan menunjukkan rasa takut yang lebih besar terhadap individu yang berwenang daripada terhadap pelanggaran moral itu sendiri. Ketaatan, yang seharusnya berasal dari kesadaran etis, berubah menjadi kepatuhan mekanis terhadap arahan, bahkan ketika perintah tersebut pada dasarnya salah.

Ketaatan dan Kekuasaan
​Seorang tokoh psi­kolog sosial, Stanley Milgram (1963), secara empiris menunjukkan bahwa individu menunjukkan kecenderungan untuk mematuhi figur otoritas, bahkan ketika arahan tersebut bertentangan dengan standar etika pribadi. Dalam penyelidikannya, sebagian besar subjek memberikan “kejutan listrik” yang berbahaya kepada orang lain semata-mata karena pengaruh kehadiran otoritatif. Perilaku yang diamati ini menunjukkan bahwa individu mampu bertindak bertentangan dengan keyakinan moral mereka ketika dihadapkan dengan dinamika kekuasaan. Fenomena serupa terlihat dalam struktur birokrasi. Ketika arahan berasal dari individu dalam posisi otoritas yang memegang kendali atas lintasan karier bawahan atau prospek masa depan, banyak karyawan mengalami rasa paksaan untuk mematuhi. Kepatuhan sering ditafsirkan sebagai indikasi kesetiaan, meskipun hal itu menuntut penekanan perasaan bersalah. Ungkapan seperti “Saya hanya menjalankan perintah” berkembang menjadi rasionalisasi untuk melepaskan akuntabilitas etis. Dalam kerangka Milgram, keadaan psikologis ini disebut sebagai keadaan agentik, di mana individu menganggap diri mereka hanya sebagai instrumen, bukan sebagai pelaku pelanggaran moral.

Baca Juga:  Kemanunggalan TNI dan Rakyat

​Sosiolog Richard Emerson (1962) berpendapat bahwa kekuasaan berasal dari ketergantungan. Sejauh mana seorang individu bergantung pada entitas lain untuk pekerjaan, remunerasi keuangan, atau rasa aman berkorelasi positif dengan kekuatan yang dimiliki oleh entitas tersebut. Dalam struktur birokrasi, dinamika ini sangat menonjol: bawahan bergantung pada atasan untuk kemajuan dan evaluasi. Akibatnya, menentang arahan atasan dianggap berbahaya. Skenario ini menghadirkan kebingungan moral: memilih kesetiaan pada hati nurani seseorang memerlukan kesiapan untuk melepaskan posisi; sebaliknya, memilih kepatuhan memerlukan penghapusan integritas seseorang. Banyak individu yang berniat baik terperangkap dalam persetujuan yang salah arah. Mereka mungkin tidak menyadari sifat arahan yang salah, tetapi mereka menemukan diri mereka terjerat dalam sistem di mana rasa takut menggantikan keyakinan moral.

- Advertisement -

​Psikolog sosial Solomon Asch (1951) menunjukkan bahwa individu menunjukkan kecenderungan untuk menyelaraskan diri dengan mayoritas, bahkan dalam kasus ketika mereka memiliki kesadaran bahwa sikap mayoritas itu salah. Dalam lingkungan birokrasi yang telah menormalkan praktik “setoran” atau “biaya proyek”, setiap penolakan untuk mematuhi dianggap sebagai perilaku yang menyimpang. Individu yang berusaha untuk menegakkan kejujuran sering menghadapi stigmatisasi sebagai tidak kooperatif atau tidak setia. Dalam lingkungan organisasi seperti itu, pelanggaran etika didefinisikan ulang—dari dilihat sebagai tindakan menyimpang menjadi komponen integral dari budaya tempat kerja yang berlaku. Victor dan Cullen (1988) mencirikan fenomena ini sebagai iklim etika instrumental, yaitu suasana organisasi yang mengevaluasi tindakan terutama berdasarkan kepentingan individu atau kolektif, bukan pada pertimbangan etis. Kerangka budaya ini memperkuat hierarki kesetiaan: bawahan menunjukkan kepatuhan kepada atasan mereka, alih-alih kepatuhan pada nilai-nilai etika. Ketika kesetiaan diprioritaskan di atas integritas, pelanggaran menjadi tertanam dalam kerangka sistemik yang mapan.

Baca Juga:  PPh Pasal 21 Menambah Beban Pajak?

​Psikolog Albert Bandura (1999) menambahkan aspek penting lainnya: keterlibatan moral (moral disengagement). Aspek ini adalah kemampuan manusia untuk melepaskan kontrol moral mereka, sehingga mereka dapat melakukan kesalahan tanpa merasa bersalah. Rasionalisasi seperti “semuanya juga begitu” atau “ini perintah atasan” dapat membantu mengurangi perasaan bersalah. Orang baik dapat melakukan tindakan buruk tanpa merasa jahat karenanya. Bandura menjelaskan bahwa mereka bukan kehilangan akal sehat. Sebaliknya, mereka menghilangkan rasa empati dan tanggung jawab moral untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang tidak bermoral. Rasa bersalah menjadi rasa “normal” dalam birokrasi yang telah lama terbiasa dengan penyimpangan. Orang-orang yang baik juga menyesuaikan diri agar tidak terlihat “aneh” di tengah ketidakbenaran sistemik.

- Advertisement -

Antara Fee dan Fear
Persoalan utama yang dihadapi birokrasi kita sesungguhnya bukan hanya soal fee atau uang, melainkan soal fear—rasa takut yang mengakar. Ketakutan akan mutasi, pengucilan, atau kehilangan posisi membuat banyak orang memilih diam. Dalam sistem yang menjadikan rasa takut sebagai norma, keberanian moral menjadi sesuatu yang langka. Selama kekuasaan lebih menghargai kepatuhan daripada kejujuran, orang-orang baik akan terus tersingkir—bukan karena kalah oleh kejahatan, tetapi oleh ketakutannya sendiri.

​Upaya memberantas korupsi tidak cukup hanya dengan menegakkan hukum. Penindakan memang penting, namun akar persoalannya terletak pada pudarnya keberanian moral dalam birokrasi. Kita membutuhkan keberanian untuk berkata “tidak” meski berdiri sendiri, keberanian untuk melawan arus, dan keberanian untuk menolak perintah yang bertentangan dengan nurani. Institusi publik semestinya menjadi ruang aman bagi mereka yang melaporkan pelanggaran, bukan malah menghukum mereka. Sudah saatnya loyalitas baru dibangun—bukan kepada individu atau jabatan, melainkan kepada kebenaran dan integritas publik. Sebab, “korupsi kerap terjadi bukan berawal dari niat jahat, melainkan dari orang baik yang kehilangan keberanian untuk menolak.”***

Bashori, Dosen Manajemen Pendidikan Islam UIN Imam Bonjol Padang

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

​KASUS operasi tangkap tangan (OTT) terhadap seorang gubernur yang meminta fee dari bawahannya di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) kembali menyoroti rapuhnya moralitas dalam lingkar kekuasaan. Peristiwa ini tidak hanya menggambarkan perilaku tidak etis seorang pejabat publik, tetapi juga mendorong penyelidikan yang lebih mendalam: mengapa banyak individu yang dianggap “baik”—yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, mematuhi prinsip-prinsip agama, dan memahami kerangka hukum—menunjukkan keengganan untuk menentang arahan yang jelas tidak etis? Apa yang menjelaskan penyimpangan dari akal sehat dan standar etika ketika dihadapkan dengan kekuatan otoritas yang memaksa?

​Secara rasional, setiap orang dewasa memiliki kapasitas untuk berpikir kritis dan memikul kewajiban moral untuk membedakan yang benar dari yang salah. Dalam skenario yang optimal, seseorang harus mampu mengartikulasikan “tidak” ketika dihadapkan dengan permintaan yang melanggar ketentuan hukum. Namun, realitas yang berlaku dalam lanskap birokrasi dan politik kita menunjukkan sebaliknya. Sejumlah besar karyawan atau pejabat bawahan memilih untuk tetap diam, menyetujui, atau bahkan mengambil bagian dalam pelanggaran. Hal ini bukan karena ketidaktahuan akan kesalahannya, melainkan karena mereka mendiami kerangka kerja yang membuat perbedaan pendapat tampaknya tidak praktis. Kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan, ancaman penugasan kembali (mutasi), tekanan sosial, dan stigma yang terkait dengan dicap “tidak setia” membuat ketabahan moral menjadi atribut yang sangat langka.

​Fenomena ini tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai kekurangan pribadi tunggal. Ini adalah simbol dari budaya kepatuhan dan hierarki kekuasaan yang telah mendarah daging dalam sistem pemerintahan kita. Dalam struktur birokrasi yang ditandai dengan tingkat hierarki yang tinggi, kesetiaan kepada atasan sering menggantikan keharusan integritas. Akibatnya, bawahan menunjukkan rasa takut yang lebih besar terhadap individu yang berwenang daripada terhadap pelanggaran moral itu sendiri. Ketaatan, yang seharusnya berasal dari kesadaran etis, berubah menjadi kepatuhan mekanis terhadap arahan, bahkan ketika perintah tersebut pada dasarnya salah.

Ketaatan dan Kekuasaan
​Seorang tokoh psi­kolog sosial, Stanley Milgram (1963), secara empiris menunjukkan bahwa individu menunjukkan kecenderungan untuk mematuhi figur otoritas, bahkan ketika arahan tersebut bertentangan dengan standar etika pribadi. Dalam penyelidikannya, sebagian besar subjek memberikan “kejutan listrik” yang berbahaya kepada orang lain semata-mata karena pengaruh kehadiran otoritatif. Perilaku yang diamati ini menunjukkan bahwa individu mampu bertindak bertentangan dengan keyakinan moral mereka ketika dihadapkan dengan dinamika kekuasaan. Fenomena serupa terlihat dalam struktur birokrasi. Ketika arahan berasal dari individu dalam posisi otoritas yang memegang kendali atas lintasan karier bawahan atau prospek masa depan, banyak karyawan mengalami rasa paksaan untuk mematuhi. Kepatuhan sering ditafsirkan sebagai indikasi kesetiaan, meskipun hal itu menuntut penekanan perasaan bersalah. Ungkapan seperti “Saya hanya menjalankan perintah” berkembang menjadi rasionalisasi untuk melepaskan akuntabilitas etis. Dalam kerangka Milgram, keadaan psikologis ini disebut sebagai keadaan agentik, di mana individu menganggap diri mereka hanya sebagai instrumen, bukan sebagai pelaku pelanggaran moral.

Baca Juga:  RPPLH, Pondasi Riau Hijau untuk Riau Bermarwah

​Sosiolog Richard Emerson (1962) berpendapat bahwa kekuasaan berasal dari ketergantungan. Sejauh mana seorang individu bergantung pada entitas lain untuk pekerjaan, remunerasi keuangan, atau rasa aman berkorelasi positif dengan kekuatan yang dimiliki oleh entitas tersebut. Dalam struktur birokrasi, dinamika ini sangat menonjol: bawahan bergantung pada atasan untuk kemajuan dan evaluasi. Akibatnya, menentang arahan atasan dianggap berbahaya. Skenario ini menghadirkan kebingungan moral: memilih kesetiaan pada hati nurani seseorang memerlukan kesiapan untuk melepaskan posisi; sebaliknya, memilih kepatuhan memerlukan penghapusan integritas seseorang. Banyak individu yang berniat baik terperangkap dalam persetujuan yang salah arah. Mereka mungkin tidak menyadari sifat arahan yang salah, tetapi mereka menemukan diri mereka terjerat dalam sistem di mana rasa takut menggantikan keyakinan moral.

​Psikolog sosial Solomon Asch (1951) menunjukkan bahwa individu menunjukkan kecenderungan untuk menyelaraskan diri dengan mayoritas, bahkan dalam kasus ketika mereka memiliki kesadaran bahwa sikap mayoritas itu salah. Dalam lingkungan birokrasi yang telah menormalkan praktik “setoran” atau “biaya proyek”, setiap penolakan untuk mematuhi dianggap sebagai perilaku yang menyimpang. Individu yang berusaha untuk menegakkan kejujuran sering menghadapi stigmatisasi sebagai tidak kooperatif atau tidak setia. Dalam lingkungan organisasi seperti itu, pelanggaran etika didefinisikan ulang—dari dilihat sebagai tindakan menyimpang menjadi komponen integral dari budaya tempat kerja yang berlaku. Victor dan Cullen (1988) mencirikan fenomena ini sebagai iklim etika instrumental, yaitu suasana organisasi yang mengevaluasi tindakan terutama berdasarkan kepentingan individu atau kolektif, bukan pada pertimbangan etis. Kerangka budaya ini memperkuat hierarki kesetiaan: bawahan menunjukkan kepatuhan kepada atasan mereka, alih-alih kepatuhan pada nilai-nilai etika. Ketika kesetiaan diprioritaskan di atas integritas, pelanggaran menjadi tertanam dalam kerangka sistemik yang mapan.

Baca Juga:  Tiga Modal Usaha, Yang Pertama Bukan Uang

​Psikolog Albert Bandura (1999) menambahkan aspek penting lainnya: keterlibatan moral (moral disengagement). Aspek ini adalah kemampuan manusia untuk melepaskan kontrol moral mereka, sehingga mereka dapat melakukan kesalahan tanpa merasa bersalah. Rasionalisasi seperti “semuanya juga begitu” atau “ini perintah atasan” dapat membantu mengurangi perasaan bersalah. Orang baik dapat melakukan tindakan buruk tanpa merasa jahat karenanya. Bandura menjelaskan bahwa mereka bukan kehilangan akal sehat. Sebaliknya, mereka menghilangkan rasa empati dan tanggung jawab moral untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang tidak bermoral. Rasa bersalah menjadi rasa “normal” dalam birokrasi yang telah lama terbiasa dengan penyimpangan. Orang-orang yang baik juga menyesuaikan diri agar tidak terlihat “aneh” di tengah ketidakbenaran sistemik.

Antara Fee dan Fear
Persoalan utama yang dihadapi birokrasi kita sesungguhnya bukan hanya soal fee atau uang, melainkan soal fear—rasa takut yang mengakar. Ketakutan akan mutasi, pengucilan, atau kehilangan posisi membuat banyak orang memilih diam. Dalam sistem yang menjadikan rasa takut sebagai norma, keberanian moral menjadi sesuatu yang langka. Selama kekuasaan lebih menghargai kepatuhan daripada kejujuran, orang-orang baik akan terus tersingkir—bukan karena kalah oleh kejahatan, tetapi oleh ketakutannya sendiri.

​Upaya memberantas korupsi tidak cukup hanya dengan menegakkan hukum. Penindakan memang penting, namun akar persoalannya terletak pada pudarnya keberanian moral dalam birokrasi. Kita membutuhkan keberanian untuk berkata “tidak” meski berdiri sendiri, keberanian untuk melawan arus, dan keberanian untuk menolak perintah yang bertentangan dengan nurani. Institusi publik semestinya menjadi ruang aman bagi mereka yang melaporkan pelanggaran, bukan malah menghukum mereka. Sudah saatnya loyalitas baru dibangun—bukan kepada individu atau jabatan, melainkan kepada kebenaran dan integritas publik. Sebab, “korupsi kerap terjadi bukan berawal dari niat jahat, melainkan dari orang baik yang kehilangan keberanian untuk menolak.”***

Bashori, Dosen Manajemen Pendidikan Islam UIN Imam Bonjol Padang

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari