Banyak pakar memperkirakan perang dagang antara Amerika dan Cina sudah akan usai tahun 2020 ini. Paling tidak tensi dan tekanannya terhadap perekonomian berbagai negara akan menurun. Ciutan Trump memberi sinyal positif untuk itu. Pelaku ekonomi pun mempersepsikan itu sebagai momentum untuk perbaikan. Bagi Indonesia sendiri nampaknya sudah mulai agak kebal dengan perseteruan tersebut. Nilai tukar rupiah dalam resonansi ekonomi global justru sedikit membaik. Mungkin pelaku ekonomi mulai yakin akan ekonomi kekinian dan prospeknya di masa yang akan datang. Carut marut politik bukan untuk diseduh sepanjang musim. Mesin ekonomi harus diputar supaya pundi-pundi dana tidak terkuras dan bankrupt. Pebisnis harus tetap berpikir keras agar tetap eksis meskipun harus banting strategi atau bahkan berpindah-pindah lapangan usaha.
Bagi Riau, baik pelaku usaha maupun masyarakat prospek ekonomi tahun 2020 memang masih penuh tanda tanya. Setahun terakhir perekonomian Riau diliputi kinerja yang sedikit mencekam. Pada triwulan ketiga tahun 2019 pertumbuhan ekonomi Riau justru lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya. Laporan perekonomian Riau yang dirilis Bank Indonesia Pekanbaru mencatat pertumbuhan ekonomi Riau Oktober 2019 hanya 2,74 persen. Lebih rendah dari kondisi Oktober 2018 yang tumbuh sebesar 2,94 persen. Melemahnya perekonomian Riau menjadi tantangan besar untuk bangkit merebut peluang ke depannya.
Lebih menyakitkan lagi pada sisi lain justru tingkat inflasi lebih tinggi. Pada Oktober 2018 tingkat Inflasi di Riau hanya sebesar 2,45 persen. Masih lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi ketika itu. Berbeda dengan kondisi pada Oktober 2019 inflasi meningkat menjadi 3,5 persen padahal pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 2,74 persen. Ini berarti tekanan kehidupan ekonomi rakyat semakin berat dan dapat kian memperparah kemiskinan. Harga-harga yang lebih mahal tentunya akan semakin sulit dijangkau dengan perolehan nilai tambah ekonomi yang tidak memadai. Implikasinya adalah pada penurunan daya beli rakyat. Muaranya akan nampak kembali pada kemerosotan ekonomi karena selama ini pertumbuhan ekonomi Riau dari sisi penggunaan banyak ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Penurunan konsumsi ini akan makin memberatkan bila harga-harga komoditas unggulan Riau tidak dapat didongkrak.
Pada sisi lain, untuk menggerakkan perekonomian dapat juga dilakukan melalui intermediasi perbankan dalam bentuk pengucuran kredit pada para pelaku usaha dan masyarakat. Baik untuk kredit investasi, modal kerja dan konsumsi. Data Bank Indonesia mengungkapkan bahwa pertumbuhan kredit perbankan berdasarkan lokasi proyek jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Pada Oktober 2018 kredit mampu tumbuh 21,78 persen sedangkan pada Oktober 2019 mengkerut karena hanya tumbuh sebesar 2,22 persen. Ini terbukti dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) yang memang lebih rendah. Pada Oktober 2019 LDR turun menjadi 81,83 persen dari yang semula sebesar 83,24 persen. Ini artinya ekspansi kredit untuk membiayai usaha-usaha produktif rakyat dan kebutuhan-kebutuhan konsumsi masyarakat guna menaikkan daya beli kian melemah.
Parahnya lagi, kualitas aktiva bank justru makin memburuk. Posisi Oktober 2018 Non Performing Loans (NPLs) perbankan di Riau sebesar 2,73 persen sedangkan Oktober 2019 naik menjadi 2,95 persen. Meskipun masih di bawah standar yang ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) namun NPLs yang memburuk adalah cerminan perekonomian yang kurang baik. Kekhawatiran terhadap ini kian kentara jika kita amati apa yang dialami Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Lembaga keuangan yang berfokus untuk melayanai kelompok in the bottom of the pyramid ini, yakni kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah dan tidak teratur, tinggal di daerah terpencil, buruh yang tidak mempunyai dokumen identitas legal, masyarakat pinggiran, maupun masyarakat dengan usaha-usaha ekonomi yang mikro dan kecil, performanya juga mencemaskan. LDR meningkat dari 91,12 persen pada Oktober 2018 menjadi 98,31 persen pada Oktober 2019. Sakitnya kualitas aktivanya juga semakin memburuk di mana pada posisi yang sama NPL-nya naik dari 11,72 persen menjadi 13,09 persen. Pada sisi lain yang lebih mencemaskan adalah perspektif dan harapan para pengusaha sendiri yang menjalankan bisnisnya di Riau. Survei yang dilakukan Bank Indonesia Pekanbaru pada Triwulan III tahun 2019 justru memberi sinyal betapa kian pesimisnya para pelaku usaha di Riau selama satu tahun terakhir. Hal ini ditandai dengan turunnya Saldo Bersih Likuiditas Perusahaan dari 30,59 persen pada TW III 2018 menjadi hanya sebesar 25,47 persen pada TW III 2019. Saldo Bersih Tertimbang Kegiatan Usaha melorot dari 19,17 persen menjadi 14,3 persen. Kemampuan perusahaan mencetak laba merosot dari 27,41 persen menjadi 23,41 persen dan para pengusaha merasa bahwa setahun terakhir ini kemudahan mengakses kredit justru semakin sulit yang ditandai dengan penrunan indeks dari 6,89 persen tahun 2018 menjadi hanya 4,8 persen di tahun 2019.
Perlambatan tersebut justru terjadi pada usaha-usah di sektor yang selama ini memiliki kontribusi besar dalam struktur perekonomian Riau dan lekat dengan sumber kehidupan rakyat seperti pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, dan perdagangan, serta hotel dan restoran. Di sektor pertanian dalam arti luas tersebut ke depan justru diperkirakan akan terjadi kontraksi karena melemahnya permintaan akan komoditas di pasar dunia. Akibatnya, pengangguran akan meningkat, pendapatan masyarakat kian menurun dan persoalan-persoalan sosial akan marak pula. Mengamati kondisi-kondisi masa lalu tersebut sudah sewajarnya pemerintah semakin berperan dalam menstimulus perekonomian di Riau secara terencana dan konsisten. Bila tidak maka peluang-peluang ekonomi yang terbuka, baik di tataran global maupun nasional tidak akan mampu ditangkap secara optimal. Apalagi semakin besar peluang maka semakin besar pula tantangan untuk memanfaatkannya. Setiap return yang diharapkan senantiasa diikuti risiko yang dihadapi untuk merealisasinya.
Pertama, pemerintah harus menunjukkan kepemimpinan (leadership) yang baik untuk membangkitkan kembali kepercayaan masyarakat dan dunia usaha. Kebijakan yang senantiasa berubah-ubah tanpa alasan yang jelas justru akan membingunkan pelaku bisinis dan masyarakat. Kedua, setiap kebijakan haruslah tidak lepas dari pendekatan proporsional dan professional agar ada rasa kepastian dari rakyat. Ketiga, pemerintah harus memberi proteksi (protection policy) untuk usaha-usaha khusus yang menyangkut kepentingan masyarakat umum agar ada keterjangkauan secara efisien dan efektif. Keempat, perlu senantiasa dilakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap pelaku-pelaku bisnis yang saat ini masih lemah namun memiliki prospek yang menjanjikan.
Kelima, memupuk dan menumbuhkan inovasi rakyat untuk menciptakan produk-produk unggulan daerah yang marketable dan berkesinambungan. Keenam, pengembangan jejaring ekonomi melalui adanya kerjasama (cooperation) multi pihak untuk mendapatkan kenerja yang lebih tinggi. Ketujuh, mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan (skill and knowledge) rakyat secara terkait dengan prosepk usaha yang tersedia.
Kedelapan, pengembangan usaha yang beraneka ragam (diversity) agar ada portfolio usaha yang dapat menjamin adanya pengalihan risiko. Selama ini selalu saja Riau bergantung pada satu komoditas. Lepas dari minyak bumi masuk ke minyak sawit. Tidak beragam hasil usaha rakyat yang dikembangkan sehingga Riau terperangkap dalam persoalan meletakkan telur dalam satu keranjang. Kesembilan, adanya framework yang benar dan disepakati bersama dalam membuat dan melakukan kebijakan serta program pelaksanaanya. Usaha coba-coba dan tanpa adanya rencana yang baik maka hasilnya tentu tidak akan baik pula.
Untuk melakukan pembangunan daerah di Riau dengan hasil yang lebih optimal dan efisien perlu kiranya disadari secara mendalam bahwa sinergi merupakan kunci penting. Sebagai sebuah proses di mana pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat sipil harus bekerjasama maka kepemimpinan untuk menemukan resultan semua pemangku kepentingan (stakeholder) mutlak diperlukan. Mungkin tidak akan popular di mata beberapa orang atau tim sukses tetapi untuk menjamin semua sumber daya pembangunan dan kapasitas lokal secara efisien dan efektif hal itu mestilah ditempuh. Pembangunan daerah itu harus bersifat holistic sehingga tidak hanya menyangkut dimensi ekonomi tetapi juga mencakup aspek sosial, politik-administratif, dan budaya. Manfaat bersama hanya akan mampu dituai dari implementasi semangat kerja sama dan sama bekerja. Bukannya dengan kebijakan dan keputusan-keputusan yang begelemakpeak tanpa dapat dibutir nilai manfaatnya.***