Sabtu, 11 Mei 2024

Lingkungan; Tantangan Kepala Daerah Baru

Sembilan kabupaten dan kota di Riau telah menyelenggarakan Pilkada. Kesembilan daerah tersebut Kabupaten Siak, Pelalawan, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Bengkalis, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai total memiliki wilayah hutan, suaka dan pelestarian alam  seluas 660 ribu hektare yang penting untuk dijaga.

Hadirnya Omnibus Law membuat kewenangan pemerintah daerah dipangkas khususnya perlindungan dan pengawasan lingkungan hidup dan sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah pusat. Padahal pemerintah provinsi sebagai pemilik wilayah lebih mengenal keberadaan hutan maupun gambut di wilayahnya. Namun saat ini, justru pemerintah daerah tidak memiliki wewenang luas dalam melaksanakan pengawasan hutan.

Yamaha

Selain itu, Riau memiliki bentang alam yang khas, terutama yang berkaitan dengan keberlangsungan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di Provinsi Riau dan Indonesia, seperti Taman Nasional Tesso Nilo (Pelalawan), Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (Inhu), Cagar Biosfer Giam Siak Kecil (Bengkalis), Taman Nasional Zamrud (Siak), Kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang dan Bukit Baling (Kuansing), Cagar Alam Pulau Berkey (Rohil), Taman Wisata Alam Sungai Dumai (Dumai), Hutan Lindung Sungai Rokan (Rohul) dan Hutan Lindung Tasik Air Putih (Kepulauan Meranti).

Namun keberadaan kawasan ini mulai terancam dari kegiatan penebangan liar, kebakaran hutan, sengketa lahan, perburuan satwa dan pembukaan lahan. Data dari Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PTKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, penggundulan hutan di Provinsi Riau sepanjang 2017 hingga 2019 mencapai 160.670 hektare.

Selain itu, dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan, sepanjang 2015 hingga 2019, di Povinsi Riau luas area terbakar di lahan gambut dan mineral mencapai 403.671 Hektar. Ini terjadi akibat konversi pengembangan lahan perkebunan sawit di kawasan gambut menjadi penyebab dominan kebakaran hutan dan lahan di Riau selama ini. Selain itu pembukaan lahan dan pembuatan kanal yang tidak memperhatikan aspek lingkungan mengakibatkan lahan gambut mengalami kekeringan sehingga mudah terjadi kebakaran.

- Advertisement -
Baca Juga:  Terlalu Banyak Komando

Wilayah pesisir Provinsi Riau kini di hadapkan dengan abrasi yang mengancam Pulau Batu Mandi (Rokan Hilir), Rupat, Bengkalis dan Rangsang Kepulauan Meranti. Selain hantaman gelombang laut dan pertahanan hutan mangrove minim, laju abrasi juga didorong alih fungsi lahan. Untuk Bengkalis paling parah di bagian barat diikuti bagian selatan. Laju abrasi dari 1988-2004, pada level 30-40 hektar rata-rata per tahun, sedangkan pulang Rangsang tampak lebih kritis, dengan luas pulau 909,8 kilometer persegi, rata-rata laju abrasi per tahun hampir setara abrasi Bengkalis yang luasnya 11.481,77 kilometer persegi. Kondisi tanah dan letak pulau pun sama. Umumnya tanah rawa gambut dan langsung berhadapan dengan laut terbuka.

Sedangkan terkait konflik pertanahan, merujuk laporan Ombudsman tahun 2019 menyebutkan sekitar 15,83 persen laporan dari masyarakat terkait sengketa lahan. Dari data tersebut potensi konflik antara masyarakat dengan perusahaan masih tinggi, untuk itu kepala daerah nantinya harus memaksimalkan redistribusi lahan dengan membentuk tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) kabupaten dan kota, tim tersebut akan melakukan pendataan wilayah konflik dan penyelesaian sengketa terkait ketimpangan penguasaan lahan.

- Advertisement -
Baca Juga:  Berebut Ruang Publik di tengah Pandemi

 Keberlangsungan lingkungan hidup bergantung pada pemimpin, dalam menjalankan visi, misi dan program kerjanya, kepala daerah yang terpilih harus berpihak pada lingkungan hidup dan kebencanaan serta isu reformasi birokrasi. Selain itu terkait pengelolaan dan pelesatarian lingkungan hidup, pemerintahan yang baru segera menyusun arah peta jalan kebijakan yang didalamnya berisikan indikator untuk menyelaraskan dengan pembangunan daerah berkelanjutan.

Namun keberpihakan tersebut tentunya akan dibenturkan dengan kepentingan elit dan pihak swasta yang sejak awal terlibat dalam pencalonan kepala daerah, hal ini di perkuat dengan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disebutkan 82 persen calon kepala daerah didanai sponsor. Hasil kajian KPK menyebutkan para calon yang berkontestasi banyak yang mengeluarkan dana kampanye lebih besar dari harta kekayaannya.

Lebih dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diajukan calon kepala daerah ke KPK. Dalam posisi ini pihak swasta membantu pendanaan untuk mendapatkan timbal balik dari calon kepala daerah jika menang pilkada. Lalu muncul praktek penyalahgunakan wewenang untuk keuntungan pihak lain, seperti perjanjian kemudahan perijinan, termasuk sektor kehutanan.  

Masyarakat sipil perlu terlibat dalam memantau jalannya pemerintahan, ini berguna untuk menekan praktek korupsi dan kebijakan yang merusak lingkungan hidup. Penerapan Undang-undang Cipta Kerja akan membuat desentralisasi makin terbatas, maka semakin terbatas pula kesempatan partisipasi dan inisiatif dari pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahan. Karena kebijakan tanpa memahami masalah-masalah lingkungan hidup di lapangan, akan memunculkan krisis lingkungan baru di masa depan.***

Sembilan kabupaten dan kota di Riau telah menyelenggarakan Pilkada. Kesembilan daerah tersebut Kabupaten Siak, Pelalawan, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Bengkalis, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai total memiliki wilayah hutan, suaka dan pelestarian alam  seluas 660 ribu hektare yang penting untuk dijaga.

Hadirnya Omnibus Law membuat kewenangan pemerintah daerah dipangkas khususnya perlindungan dan pengawasan lingkungan hidup dan sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah pusat. Padahal pemerintah provinsi sebagai pemilik wilayah lebih mengenal keberadaan hutan maupun gambut di wilayahnya. Namun saat ini, justru pemerintah daerah tidak memiliki wewenang luas dalam melaksanakan pengawasan hutan.

Selain itu, Riau memiliki bentang alam yang khas, terutama yang berkaitan dengan keberlangsungan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di Provinsi Riau dan Indonesia, seperti Taman Nasional Tesso Nilo (Pelalawan), Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (Inhu), Cagar Biosfer Giam Siak Kecil (Bengkalis), Taman Nasional Zamrud (Siak), Kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang dan Bukit Baling (Kuansing), Cagar Alam Pulau Berkey (Rohil), Taman Wisata Alam Sungai Dumai (Dumai), Hutan Lindung Sungai Rokan (Rohul) dan Hutan Lindung Tasik Air Putih (Kepulauan Meranti).

Namun keberadaan kawasan ini mulai terancam dari kegiatan penebangan liar, kebakaran hutan, sengketa lahan, perburuan satwa dan pembukaan lahan. Data dari Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PTKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, penggundulan hutan di Provinsi Riau sepanjang 2017 hingga 2019 mencapai 160.670 hektare.

Selain itu, dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan, sepanjang 2015 hingga 2019, di Povinsi Riau luas area terbakar di lahan gambut dan mineral mencapai 403.671 Hektar. Ini terjadi akibat konversi pengembangan lahan perkebunan sawit di kawasan gambut menjadi penyebab dominan kebakaran hutan dan lahan di Riau selama ini. Selain itu pembukaan lahan dan pembuatan kanal yang tidak memperhatikan aspek lingkungan mengakibatkan lahan gambut mengalami kekeringan sehingga mudah terjadi kebakaran.

Baca Juga:  Terlalu Banyak Komando

Wilayah pesisir Provinsi Riau kini di hadapkan dengan abrasi yang mengancam Pulau Batu Mandi (Rokan Hilir), Rupat, Bengkalis dan Rangsang Kepulauan Meranti. Selain hantaman gelombang laut dan pertahanan hutan mangrove minim, laju abrasi juga didorong alih fungsi lahan. Untuk Bengkalis paling parah di bagian barat diikuti bagian selatan. Laju abrasi dari 1988-2004, pada level 30-40 hektar rata-rata per tahun, sedangkan pulang Rangsang tampak lebih kritis, dengan luas pulau 909,8 kilometer persegi, rata-rata laju abrasi per tahun hampir setara abrasi Bengkalis yang luasnya 11.481,77 kilometer persegi. Kondisi tanah dan letak pulau pun sama. Umumnya tanah rawa gambut dan langsung berhadapan dengan laut terbuka.

Sedangkan terkait konflik pertanahan, merujuk laporan Ombudsman tahun 2019 menyebutkan sekitar 15,83 persen laporan dari masyarakat terkait sengketa lahan. Dari data tersebut potensi konflik antara masyarakat dengan perusahaan masih tinggi, untuk itu kepala daerah nantinya harus memaksimalkan redistribusi lahan dengan membentuk tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) kabupaten dan kota, tim tersebut akan melakukan pendataan wilayah konflik dan penyelesaian sengketa terkait ketimpangan penguasaan lahan.

Baca Juga:  Memburuknya Peran Pemerintah dalam Struktur Perekonomian Riau

 Keberlangsungan lingkungan hidup bergantung pada pemimpin, dalam menjalankan visi, misi dan program kerjanya, kepala daerah yang terpilih harus berpihak pada lingkungan hidup dan kebencanaan serta isu reformasi birokrasi. Selain itu terkait pengelolaan dan pelesatarian lingkungan hidup, pemerintahan yang baru segera menyusun arah peta jalan kebijakan yang didalamnya berisikan indikator untuk menyelaraskan dengan pembangunan daerah berkelanjutan.

Namun keberpihakan tersebut tentunya akan dibenturkan dengan kepentingan elit dan pihak swasta yang sejak awal terlibat dalam pencalonan kepala daerah, hal ini di perkuat dengan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disebutkan 82 persen calon kepala daerah didanai sponsor. Hasil kajian KPK menyebutkan para calon yang berkontestasi banyak yang mengeluarkan dana kampanye lebih besar dari harta kekayaannya.

Lebih dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diajukan calon kepala daerah ke KPK. Dalam posisi ini pihak swasta membantu pendanaan untuk mendapatkan timbal balik dari calon kepala daerah jika menang pilkada. Lalu muncul praktek penyalahgunakan wewenang untuk keuntungan pihak lain, seperti perjanjian kemudahan perijinan, termasuk sektor kehutanan.  

Masyarakat sipil perlu terlibat dalam memantau jalannya pemerintahan, ini berguna untuk menekan praktek korupsi dan kebijakan yang merusak lingkungan hidup. Penerapan Undang-undang Cipta Kerja akan membuat desentralisasi makin terbatas, maka semakin terbatas pula kesempatan partisipasi dan inisiatif dari pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahan. Karena kebijakan tanpa memahami masalah-masalah lingkungan hidup di lapangan, akan memunculkan krisis lingkungan baru di masa depan.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari