AMSTERDAM (RIAUPOS.CO) – Pertama kali dalam sejarah, Belanda gagal mementaskan balapan MotoGP. Itu terjadi karena pandemi virus corona (Covid-19) yang belum ada tanda-tanda berakhir. Padahal Belanda tak pernah absen menyelenggarakan balapan tersebut sejak pertama kali diselenggarakan pada 1949.
MotoGP Belanda di Sirkuit Assen adalah bagian dari sejarah unik penyelenggaraan balap motor MotoGP karena tak pernah absen menjadi tuan rumah selama 71 tahun.
Pihak penyelenggara sebelumnya berencana menggelar acara perayaan karena MotoGP Belanda tahun ini bertepatan dengan 90 tahun balap motor di Belanda. Kali terakhir balapan di Assen dibatalkan ketika Nazi menginvasi Belanda sekitar 1940-1945.
Kegagalan menggelar balapan MotoGP berarti Sirkuit Assen kehilangan sebagian besar pendapatan. Biasanya hampir separuh pemasukan datang dari ajang MotoGP.
Lantaran durasi yang panjang dalam menggelar balapan, Sirkuit Assen tak ubahnya sebagai saksi bisu kemenangan para pembalap-pembalap motor papan atas dari masa ke masa. Dari era Geoff Duke dan John Surtees pada awal 1950-an yang berlanjut ke masa Mike Hailwood dan Giacomo Agostini hingga ke zaman Mick Doohan serta saat kejayaan Valentino Rossi.
Pebalap yang paling sering menang di Assen adalah Angel Nieto. Dari 15 gelar, sembilan di antaranya dibukukan di kelas 125 cc dan enam lainnya di kelas 50cc. Nieto punya satu gelar lebih banyak ketimbang Agostini, sementara Rossi sudah mengumpulkan 10 trofi di Assen.
Sirkuit Assen yang ada saat ini merupakan hasil modifikasi dari trek asli yang merupakan sirkuit jalan raya dengan panjang 28,57 kilometer. Pada 1955, sirkuit permanen sepanjang 7,7 kilometer menjadi pengganti sirkuit lama. Panjang sirkuit sempat berubah menjadi 4,75 kilometer pada 2006 dan kembali dipangkas menjadi 4,55 kilometer pada 2010.
Balap MotoGP Belanda pun memiliki ciri tersendiri, yakni dilangsungkan pada Sabtu. Baru pada 2016 MotoGP Belanda ikut kelaziman penyelenggaraan yang dilaksanakan hari Ahad.
Sumber: CNN/Crash/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun
AMSTERDAM (RIAUPOS.CO) – Pertama kali dalam sejarah, Belanda gagal mementaskan balapan MotoGP. Itu terjadi karena pandemi virus corona (Covid-19) yang belum ada tanda-tanda berakhir. Padahal Belanda tak pernah absen menyelenggarakan balapan tersebut sejak pertama kali diselenggarakan pada 1949.
MotoGP Belanda di Sirkuit Assen adalah bagian dari sejarah unik penyelenggaraan balap motor MotoGP karena tak pernah absen menjadi tuan rumah selama 71 tahun.
- Advertisement -
Pihak penyelenggara sebelumnya berencana menggelar acara perayaan karena MotoGP Belanda tahun ini bertepatan dengan 90 tahun balap motor di Belanda. Kali terakhir balapan di Assen dibatalkan ketika Nazi menginvasi Belanda sekitar 1940-1945.
Kegagalan menggelar balapan MotoGP berarti Sirkuit Assen kehilangan sebagian besar pendapatan. Biasanya hampir separuh pemasukan datang dari ajang MotoGP.
- Advertisement -
Lantaran durasi yang panjang dalam menggelar balapan, Sirkuit Assen tak ubahnya sebagai saksi bisu kemenangan para pembalap-pembalap motor papan atas dari masa ke masa. Dari era Geoff Duke dan John Surtees pada awal 1950-an yang berlanjut ke masa Mike Hailwood dan Giacomo Agostini hingga ke zaman Mick Doohan serta saat kejayaan Valentino Rossi.
Pebalap yang paling sering menang di Assen adalah Angel Nieto. Dari 15 gelar, sembilan di antaranya dibukukan di kelas 125 cc dan enam lainnya di kelas 50cc. Nieto punya satu gelar lebih banyak ketimbang Agostini, sementara Rossi sudah mengumpulkan 10 trofi di Assen.
Sirkuit Assen yang ada saat ini merupakan hasil modifikasi dari trek asli yang merupakan sirkuit jalan raya dengan panjang 28,57 kilometer. Pada 1955, sirkuit permanen sepanjang 7,7 kilometer menjadi pengganti sirkuit lama. Panjang sirkuit sempat berubah menjadi 4,75 kilometer pada 2006 dan kembali dipangkas menjadi 4,55 kilometer pada 2010.
Balap MotoGP Belanda pun memiliki ciri tersendiri, yakni dilangsungkan pada Sabtu. Baru pada 2016 MotoGP Belanda ikut kelaziman penyelenggaraan yang dilaksanakan hari Ahad.
Sumber: CNN/Crash/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun