Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Pakar HTN Fahri Bedah Konstitusi Pemindahan Ibu Kota

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Kebijakan Presiden Jokowi memindahkan Ibu Kota negara dari Jakarta ke sebagian Kabupaten Penajam Pasir Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartenagara adalah keputusan yang tepat. Itu diungkapkan oleh Pakar hukum tata negara Fahri Bachmid.

Fahri juga menjelaskan, sejarah penamaan awal Daerah Khusus Ibu kota pertama kali tertuang dalam Perpres Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu kota Jakarta Raya yang kemudian menjadi UU PNPS Nomor 2 Tahun 1961.

Menurut dia, dalam konsideransnya, Presiden Soekarno menyatakan Jakarta Raya sebagai Ibu kota Negara dijadikan kota indoktrinasi, kota teladan, dan kota cita-cita bagi seluruh bangsa Indonesia sehingga harus perlu memenuhi syarat-syarat minimum dari kota internasional sesegera mungkin.

”Landasan yuridis berikutnya adalah UU Nomor 10 Tahun 1964. Undang-undang ini pun hanya berisi dua pasal yang menegaskan status Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota serta masa berlaku surutnya dari 22 Juni 1964, yaitu sejak Presiden Soekarno mengumumkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai ibukota negara dengan nama Jakarta,” paparnya.

Namun, menurut Fahri, ketika orde baru berkuasa Presiden Soeharto mencabut kedua UU tersebut dengan mengundangkan UU Nomor 11 tahun 1990 tentang susunan pemerintahan. Meskipun pada masa Soekarno pada bagian pertimbangan dan penjelasan umum UU Nomor 10 Tahun 1964 ditegaskan bahwa Jakarta sebagai kota pencetusan Proklasi dan pusat penggerak segala kegiatan dan kota pemersatu dari pada seluruh aparat, revolusi dan penyebar ideologi Pancasila ke seluruh dunia.

Baca Juga:  Kru Kapal World Dream Negatif Corona

”Ingat dalam konsideransinya disebutkan Jakarta sebagai ibu kota Indonesia memiliki kedudukan dan peranan penting,” tutur Fahri.

Hanya saja, apa yang pernah diubah Presiden Soeharto tersebut, pada saat reformasi tahun 1998, Presidan Habibie mengubah kembali payung hukum DKI Jakarta melalui UU Nomor 34 Tahun 1999.

“Jadi Undang-undang itu mempertegas kekhususan Jakarta karena statusnya sebagai ibu kota negara. Demikian pula ketika era Presidan Susilo Bambang Yudhoyono yang melahirkan UU Nomor 29 tahun 2007,” jelasnya.

Menurut Fahri, dari sisi ilmu hukum tata negara, perubahan Ibu Kota ke kota lain tak otomatis mengubah status kekhususan Jakarta, sebab secara teoritik tergantung pilihan politik hukum dari para pembentuk UU.

“Artinya bisa saja tetap diberikan status khusus dalam bentuk lain, misalnya terkait alasan-alasan historis sebagai bekas Ibu Kota Batavia, dan secara hukum tata negara dapat diterima. Jadi itu tergantung politik hukum pembentuk UU,” ungkap dia.

Menurut Fahri, argumen hukum tersebut dapat merujuk pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahu 1945. Selama memiliki status khusus atau istimewa berdasarkan UU, kata Fahri, secara konstitusional Jakarta bisa jadi tidak akan mengalami banyak perubahan dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dibandingkan dengan keistimewaan Yogyakarta dan Aceh karena pertimbangan sejarahnya.

Baca Juga:  First Look Film Mortal Kombat Dirilis

”Sehingga secara teoritik saya berpendapat bahwa Jakarta layak tetap menyandang status khusus atau istimewa sebagai bekas ibu kota negara nantinya,” tukas Fahri.

Dalam konstitusi, Fahri menyebut setidaknya ada dua pasal yang menyinggung tentang ibu kota negara. Hal tersebut terdapat pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 23G ayat (1) UUD 1945.

Menurut dia, sejarah ketatanegaraan yang berkaitan dengan pemindahan ibu kota negara setidaknya pernah beberapa kali ibu kota negara dipindahkan,walaupun secara konstitusional harus dibaca dalam kerangka serta konteks darurat negara, yaitu dari Jakarta ke Yogjakarta dan ketika Presiden Soekarno memberikan surat kuasa kepada Safruddin Prawiranegara untuk mendirikan pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi Sumatera Barat.

Sementara itu, secara konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ketentuan Pasal 25A UUD 1945 presiden sebagai kepala negara mempunyai kewenangan konstitusional untuk menyatakan pemindahan ibu kota Negara RI yang selanjutnya akan dibahas secara operasional dalam bentuk pengajuan RUU terkait pemindahan itu beserta segala akibat hukumnya, serta dilakukan penyelarasan serta perubahan atas berbagai UU terkait bersama dengan DPR.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Kebijakan Presiden Jokowi memindahkan Ibu Kota negara dari Jakarta ke sebagian Kabupaten Penajam Pasir Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartenagara adalah keputusan yang tepat. Itu diungkapkan oleh Pakar hukum tata negara Fahri Bachmid.

Fahri juga menjelaskan, sejarah penamaan awal Daerah Khusus Ibu kota pertama kali tertuang dalam Perpres Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu kota Jakarta Raya yang kemudian menjadi UU PNPS Nomor 2 Tahun 1961.

- Advertisement -

Menurut dia, dalam konsideransnya, Presiden Soekarno menyatakan Jakarta Raya sebagai Ibu kota Negara dijadikan kota indoktrinasi, kota teladan, dan kota cita-cita bagi seluruh bangsa Indonesia sehingga harus perlu memenuhi syarat-syarat minimum dari kota internasional sesegera mungkin.

”Landasan yuridis berikutnya adalah UU Nomor 10 Tahun 1964. Undang-undang ini pun hanya berisi dua pasal yang menegaskan status Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota serta masa berlaku surutnya dari 22 Juni 1964, yaitu sejak Presiden Soekarno mengumumkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai ibukota negara dengan nama Jakarta,” paparnya.

- Advertisement -

Namun, menurut Fahri, ketika orde baru berkuasa Presiden Soeharto mencabut kedua UU tersebut dengan mengundangkan UU Nomor 11 tahun 1990 tentang susunan pemerintahan. Meskipun pada masa Soekarno pada bagian pertimbangan dan penjelasan umum UU Nomor 10 Tahun 1964 ditegaskan bahwa Jakarta sebagai kota pencetusan Proklasi dan pusat penggerak segala kegiatan dan kota pemersatu dari pada seluruh aparat, revolusi dan penyebar ideologi Pancasila ke seluruh dunia.

Baca Juga:  Kemenhub Usulkan Ada Helipad di Tol Cikampek

”Ingat dalam konsideransinya disebutkan Jakarta sebagai ibu kota Indonesia memiliki kedudukan dan peranan penting,” tutur Fahri.

Hanya saja, apa yang pernah diubah Presiden Soeharto tersebut, pada saat reformasi tahun 1998, Presidan Habibie mengubah kembali payung hukum DKI Jakarta melalui UU Nomor 34 Tahun 1999.

“Jadi Undang-undang itu mempertegas kekhususan Jakarta karena statusnya sebagai ibu kota negara. Demikian pula ketika era Presidan Susilo Bambang Yudhoyono yang melahirkan UU Nomor 29 tahun 2007,” jelasnya.

Menurut Fahri, dari sisi ilmu hukum tata negara, perubahan Ibu Kota ke kota lain tak otomatis mengubah status kekhususan Jakarta, sebab secara teoritik tergantung pilihan politik hukum dari para pembentuk UU.

“Artinya bisa saja tetap diberikan status khusus dalam bentuk lain, misalnya terkait alasan-alasan historis sebagai bekas Ibu Kota Batavia, dan secara hukum tata negara dapat diterima. Jadi itu tergantung politik hukum pembentuk UU,” ungkap dia.

Menurut Fahri, argumen hukum tersebut dapat merujuk pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahu 1945. Selama memiliki status khusus atau istimewa berdasarkan UU, kata Fahri, secara konstitusional Jakarta bisa jadi tidak akan mengalami banyak perubahan dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dibandingkan dengan keistimewaan Yogyakarta dan Aceh karena pertimbangan sejarahnya.

Baca Juga:  First Look Film Mortal Kombat Dirilis

”Sehingga secara teoritik saya berpendapat bahwa Jakarta layak tetap menyandang status khusus atau istimewa sebagai bekas ibu kota negara nantinya,” tukas Fahri.

Dalam konstitusi, Fahri menyebut setidaknya ada dua pasal yang menyinggung tentang ibu kota negara. Hal tersebut terdapat pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 23G ayat (1) UUD 1945.

Menurut dia, sejarah ketatanegaraan yang berkaitan dengan pemindahan ibu kota negara setidaknya pernah beberapa kali ibu kota negara dipindahkan,walaupun secara konstitusional harus dibaca dalam kerangka serta konteks darurat negara, yaitu dari Jakarta ke Yogjakarta dan ketika Presiden Soekarno memberikan surat kuasa kepada Safruddin Prawiranegara untuk mendirikan pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi Sumatera Barat.

Sementara itu, secara konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ketentuan Pasal 25A UUD 1945 presiden sebagai kepala negara mempunyai kewenangan konstitusional untuk menyatakan pemindahan ibu kota Negara RI yang selanjutnya akan dibahas secara operasional dalam bentuk pengajuan RUU terkait pemindahan itu beserta segala akibat hukumnya, serta dilakukan penyelarasan serta perubahan atas berbagai UU terkait bersama dengan DPR.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari