JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Masih terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya, harga sejumlah bahan pangan melonjak naik di momen besar salah satunya Natal dan Tahun Baru (Nataru). Akhir tahun ini, tiga komoditas pangan yakni minyak goreng, telur ayam, dan cabai, menjadi komoditas yang naik paling agresif. Faktor permintaan yang tinggi ditambah dengan berbagai faktor eksternal yang menimbulkan biaya produksi ekstra diduga jadi penyebabnya.
Berdasarkan statistik Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, tiga komoditas di atas harganya jauh meninggalkan harga normal. Minyak goreng misalnya, yang rata-rata dibanderol dengan harga Rp 20.050 per liter. Padahal, harganya eceran tertinggi minyak goreng yang direkomendasikan pemerintah adalah Rp12.500 per liter.
Selanjutnya harga telur ayam ras. Harga rata-rata menyentuh nyaris Rp30.000 per kg, bahkan di beberapa daerah di Indonesia Timur khususnya, harga sudah melebihi Rp30.000 per kg. Harga telur di masa normal berkisar antara Rp24.000 per kg. Harga cabai bergerak tak kalah liar. Cabai rawit merah menyentuh harga rata-rata Rp81.000 per kg, harga cabai rawit hijau ada di rata-rata Rp57.500 per kg. Bahkan di sejumlah pasar tradisional, pedagang melaporkan harga cabai menyentuh angka Rp100.000 per kg di level konsumen.
DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) menyayangkan beberapa komoditas pangan di akhir tahun mengalami lonjakan cukup tinggi. Dalam catatan Ikappi, menjelang pergantian tahun 2021 ke 2022 beberapa komoditas mengalami kenaikan harga yang tidak wajar dan baru pertama kali ini terjadi.
Sekretaris Jenderal DPP Ikappi Reynaldi Sarijowan mengamini bahwa kenaikan harga yang tidak wajar tersebut terjadi di tiga komoditas yaitu minyak goreng, cabai rawit merah, dan telur.
"Kami tidak menduga bahwa kenaikan harga pangan yang relatif panjang dan tinggi ini terjadi di akhir tahun 2021," ujar Reynaldi, kemarin (27/12).
Untuk minyak goreng. Ikappi menyebut minyak goreng mengalami kenaikan yang cukup tinggi dibandingkan sebelum-sebelumnya. Menurut Reynaldi, harga minyak goreng naik karena harga CPO dunia tinggi.
"Kami berharap pemerintah mengantisipasi dan melakukan upaya lanjutan sehingga tahun 2022 minyak goreng segera bisa turun harganya," urainya.
Sementara cabai rawit merah, Reynaldi menyebutkan bahwa cabai rawit merah adalah komoditas yang rutin terjadi di akhir tahun. Terdapat dua faktor yang membuat harga cukup tinggi yang pertama karena cuaca dan karena permintaan tinggi supply dan demand tidak seimbang.
"Kami berharap ke depan ada grand design pangan, strategi pangan untuk cabai rawit merah agar wilayah-wilayah produksi cabai rawit merah bisa di perbanyak dan bisa di selesaikan persoalan ini sehingga tidak kunjung tinggi harganya setiap tahun, tahun lalu sudah terjadi mencapai Rp 100.000 per kg, kali ini terjadi lagi," beber Reynaldi.
Menanggapi soal kenaikan harga telur, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan menjelaskan kenaikan harga dipicu oleh harga pakan yang masih tinggi. Kondisi ini diikuti dengan permintaan yang meningkat menjelang akhir tahun. "Pertengahan Januari mudah-mudahan kembali normal," ujar Oke.
Oke menegaskan pemerintah tidak akan melakukan banyak intervensi. Dia mengatakan kenaikan harga jual telur menjadi momentum bagi peternak ayam atau petelur untuk memulihkan pemasukan beberapa bulan terakhir menelan kerugian besar karena harga sempat anjlok.
"Kita ketahui bersama selama 4 bulan terakhir harga jual di peternak rendah karena permintaan turun, di sisi lain harga pakan relatif tinggi. Ini jadi momentum peternak untuk mengembalikan pemasukan setelah lama merugi," katanya.
Oke cukup meyakini tren harga telur di level Rp30.000 per kg tidak akan berlangsung lama. Dia mengatakan upaya penyediaan pakan terjangkau telah ditempuh melalui penugasan pada Perum Bulog untuk menyerap 30.000 ton jagung lokal.
"Stok jagung Bulog diharapkan bisa memenuhi keperluan dalam beberapa waktu ke depan," pungkasnya.
Sementara itu Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin ikut menyoroti fenomena kenaikan keperluan pokok jelang Tahun Baru. Menurut dia, melambungnya harga keperluan sebagai indikasi rapuhnya kedaulatan pangan Indonesia. Sultan mengatakan, sebagai negara tropis yang subur, Indonesia tentu memiliki semua alasan untuk terbebas dari ketidakstabilan harga pangan.
"Namun, karena persoalan mendasar ini diserahkan ke mekanisme pasar bebas, kita terpaksa harus terbiasa dengan inflasi pangan setiap tahunnya", ujarnya.
Ancaman inflasi telah menunjukkan gejalanya, dan signifikan menekan daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok kelas menengah-bawah. Dampaknya akan semakin berat terasa oleh masyarakat di daerah dan desa.
Menurutnya, grafik inflasi yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun harus dikendalikan dengan pendekatan strategi produksi dan pasar yang lebih sistematis dan berkelanjutan. Karena pendekatan operasi pasar tidak bisa cukup meng-cover semua daerah dan tentunya tidak bisa diandalkan untuk kepentingan jangka panjang.
Oleh karena itu, instrumen logistik seperti Badan Pangan yang telah dibentuk harus segera menyiapkan langkah-langkah strategis dan fundamental dalam mengatasi permasalahan pangan, khususnya sembako. "Kami ingin sistem manajemen pangan harus dilakukan secara terstruktur dari hulu sampai hilir", ujarnya.
Mekanisme pasar, tambah Sultan, harus berada dalam kendali negara. Menurut dia, percuma memiliki lembaga pangan berikut istrumen Terkait hukum pangan, jika stabilitas harga sembako masih menjadi polemik dan menjadi penyebab utama inflasi. Indonesia membutuhkan sistem pangan yang kuat dan berdaulat.
"Daerah otonom diharapkan menjadi penyeimbang hegemoni pasar dalam mengendalikan harga pangan dengan kebijakan pangan yang sistematis", urainya.
Lebih lanjut Sultan menyampaikan bahwa DPD RI mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk segera menyiapkan langkah-langkah strategis dan sistematis dalam menghadapi fenomena inflasi di masa depan.(agf/lum/jpg)