Kamis, 19 September 2024

Kata Pakar Hukum, “Persetujuan” Jadi Kunci Penanda Kekerasan Seksual atau Tidak

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menjelaskan pentingnya kata "persetujuan" dalam aturan kekerasan seksual. Kata itu, menurutnya, menjadi penanda terjadinya kekerasan seksual atau tidak.

Bivitri mengatakan keberadaan kata "persetujuan" atau consentini belakangan dipersoalkan oleh beberapa pihak yang memprotes Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).

Ia pun mengatakan beberapa anggota DPR RI juga mencoba menghilangkan kata "persetujuan" itu dari draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

"Kata 'persetujuan' ini, bagi kami yang mencoba mendorong RUU ini sejak lama sebenarnya jadi kata kunci yang penting karena itulah penanda ada kekerasan seksual," kata Bavitri dalam konferensi pers yang digelar Aliansi Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Rabu (24/11/2021) lalu.

- Advertisement -
Baca Juga:  Jumatan di London

Bivitri mengatakan jika kata "persetujuan" itu dihapus maka semua bentuk tindakan yang terkait dengan seksualitas bisa dipersoalkan penegak hukum. Sebab, beberapa anggota DPR yang menyusun RUU TPKS juga mengusulkan agar kata "kekerasan" dihapus dari judul RUU tersebut sehingga menjadi RUU Tindak Pidana Seksual.

"Ada upaya-upaya beberapa fraksi di DPR, fraksi dan individu-individu yang mencoba menghilangkan kata 'persetujuan', seperti yang selama ini kita juga bahas di Permendikbud (PPKS)," tutur Bivitri.

- Advertisement -

"Padahal kata 'kekerasan' dan kata 'persetujuan' itu adalah kunci untuk menjadi penanda bahwa yang kita maksud  dengan kekerasan ini," tambahnya.

Bivitri menjelaskan dengan keberadaan kata "persetujuan" dalam aturan mengenai kekerasan seksual, tidak berarti melegalkan perzinaan. Sebab, persoalan perzinaan sudah diatur dalam undang-undang lain, yakni KUHP.

Baca Juga:  Bertengkar dengan Kekasih, Cewek Sayat Tangan dan Leher

Yang di luar itu hal-hal lainnya bukannya tidak dilarang tapi sudah ada ketentuannya, antara lain di KUHP, pasal perzinaan, sudah ada. Yakinlah dan di luar itu juga sudah ada norma-norma lain," terang Bivitri.

Sebelumnya Permendikbud PPKS, yang diteken Mendikbud Ristek Nadiem Makarim, menuai kritik, terutama dari kalangan ormas Islam, lantaran dianggap melegalkan zina dan seks bebas. Hal itu didasarkan frasa "tanpa persetujuan" di pasal 5 yang menjelaskan soal bentuk kekerasan seksual.

Sumber: JPNN/News/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menjelaskan pentingnya kata "persetujuan" dalam aturan kekerasan seksual. Kata itu, menurutnya, menjadi penanda terjadinya kekerasan seksual atau tidak.

Bivitri mengatakan keberadaan kata "persetujuan" atau consentini belakangan dipersoalkan oleh beberapa pihak yang memprotes Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).

Ia pun mengatakan beberapa anggota DPR RI juga mencoba menghilangkan kata "persetujuan" itu dari draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

"Kata 'persetujuan' ini, bagi kami yang mencoba mendorong RUU ini sejak lama sebenarnya jadi kata kunci yang penting karena itulah penanda ada kekerasan seksual," kata Bavitri dalam konferensi pers yang digelar Aliansi Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Rabu (24/11/2021) lalu.

Baca Juga:  Jumatan di London

Bivitri mengatakan jika kata "persetujuan" itu dihapus maka semua bentuk tindakan yang terkait dengan seksualitas bisa dipersoalkan penegak hukum. Sebab, beberapa anggota DPR yang menyusun RUU TPKS juga mengusulkan agar kata "kekerasan" dihapus dari judul RUU tersebut sehingga menjadi RUU Tindak Pidana Seksual.

"Ada upaya-upaya beberapa fraksi di DPR, fraksi dan individu-individu yang mencoba menghilangkan kata 'persetujuan', seperti yang selama ini kita juga bahas di Permendikbud (PPKS)," tutur Bivitri.

"Padahal kata 'kekerasan' dan kata 'persetujuan' itu adalah kunci untuk menjadi penanda bahwa yang kita maksud  dengan kekerasan ini," tambahnya.

Bivitri menjelaskan dengan keberadaan kata "persetujuan" dalam aturan mengenai kekerasan seksual, tidak berarti melegalkan perzinaan. Sebab, persoalan perzinaan sudah diatur dalam undang-undang lain, yakni KUHP.

Baca Juga:  Bertengkar dengan Kekasih, Cewek Sayat Tangan dan Leher

Yang di luar itu hal-hal lainnya bukannya tidak dilarang tapi sudah ada ketentuannya, antara lain di KUHP, pasal perzinaan, sudah ada. Yakinlah dan di luar itu juga sudah ada norma-norma lain," terang Bivitri.

Sebelumnya Permendikbud PPKS, yang diteken Mendikbud Ristek Nadiem Makarim, menuai kritik, terutama dari kalangan ormas Islam, lantaran dianggap melegalkan zina dan seks bebas. Hal itu didasarkan frasa "tanpa persetujuan" di pasal 5 yang menjelaskan soal bentuk kekerasan seksual.

Sumber: JPNN/News/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari