Oleh: Umi Illiyina SH MH ( Orang Riau yang Tinggal di Belanda )
(RIAUPOS.CO) — Sebuah jembatan terbentang di atas sungai Rijn. Membelah pusat kota tua Leiden yang sudah ratusan tahun berdiri. Berbelok ke kiri saya menemukan gedung yang saya ketik di google “Gemeente Leiden”. Baru 3 bulan setelah saya dan keluarga menetap di Belanda tepatnya 2016 silam surat pemberitahuan mengenai aturan sistem basisschool (pendidikan dasar) di negeri kincir angin sudah mendarat di dalam kotak pos rumah saya.
Sistem pendidikan dasar di negara ini mewajibkan anak-anak bersekolah sejak berusia 4 tahun. Dimulai dari grup 1 hingga grup 8. Pendidikan dasar berlangsung selama 8 tahun. Termasuk warga asing seperti saya yang baru saja datang membawa anak berusia 4 tahun 3 bulan tak ada tawar menawar untuk soal pendidikan anak di Belanda, karena jika anak sudah berusia 5 tahun dan belum disekolahkan maka orang tua akan mendapatkan denda dari negara. “Tentu saja saya tak ingin di denda,” saya mendelik. Surat tersebut pun saya masukan kembali ke dalam amplop berwarna putih.
Matahari bersinar terik namun udara tetap terasa dingin. Saya kayuh sepeda menelusuri kanal-kanal di Kota Leiden. Hanya hitungan menit saja saya sudah tiba di kantor Gemeente Leiden (Pemerintah Kota). Gedungnya masih bergaya khas Eropa kuno. Saya masuk ke dalam menuruni belasan anak tangga. Tampak para pengunjung berdiri di depan mesin mengambil nomor urut antrian. Tak perlu waktu lama, saya disambut seorang wanita yang menanyakan keperluan saya. Saya menyodorkan surat perihal sekolah yang saya terima beberapa hari sebelumnya. Hal pertama yang dia tanyakan adalah alamat tempat tinggal saya. Selanjutnya dia membuka sebuah buku besar. Nampaknya, buku tersebut adalah semacam buku zonasi. Beberapa nama basisschool lengkap dengan brosurnya pun saya terima.
Berbekal informasi dari Gemeente, tak jauh dari tempat saya tinggal di belakang kompleks pertokoan di centrum kota gedung Basisschool Openbare/Public school berdiri. Dari luar tampak biasa. Bell pintu saya pencet. Seorang lelaki berpostur tinggi berkemeja lengan panjang membukakan pintu. Ternyata lelaki tersebut adalah Martin, kepala sekolah di basisschool tersebut. Hal yang saya kagumi salah satu budaya baik di Belanda untuk segala urusan dan keperluan harus janjian dulu dan tepat waktu.
Sekolah Openbare ini terdiri dari beberapa lantai. Fasilitas olah raga terbilang lengkap. Setiap ruang kelas hanya diisi oleh belasan anak saja dengan didampingi oleh satu guru utama dan satu lagi guru pendamping. Tak ada anak yang duduk dibarisan paling belakang dan bisa bersembunyi dari pengawasan sang guru. Hampir setiap bulannya posisi tempat duduk anak diacak dan digilir. Di dalam ruangan juga dilengkapi televisi berlayar besar. Martin menjelaskan televisi tersebut berfungsi sebagai media pendukung untuk belajar mengajar di ruang kelas. Tema dekorasi bak layaknya ruang kelas di taman kanak-kanak jika dibandingkan dengan di Indonesia. Ada banyak mainan di ruang tersebut. Dari luar anak-anak tampak sedang bermain padahal sebenarnya mereka sedang proses belajar yang menyenangkan. Fasilitas di luar kelas tak ketinggalan, ada lapangan futsal untuk anak-anak bermain bola, permainan seluncuran, kolam pasir yang dilengkapi pompa air dan lainnya.
Puas berkeliling dan melihat-lihat fasilitas sekolah Martin memberi selembar kertas, saya baca dengan teliti kertas berisi deretan pertanyaan keterangan identitas anak, riwayat kesehatan seperti alergi makanan dan sebagainya. Jika saya menandatangai lembaran kertas tersebut maka anak saya sudah bisa bersekolah seminggu kemudian. Tak ada sistem tahun ajaran di Belanda. Jika anak sudah memasuki usia wajib sekolah maka harus segera di daftarkan ke sekolah terdekat. Yang paling menggembirakan bagi saya adalah hampir tidak adanya biaya untuk sekolah, baik seperti uang pangkal ataupun buku, semua disubsidi negara. Biaya yang perlu dikeluarkan tidak lebih dari 150 Euro pertahun tergantung income orang tua itupun biaya untuk perkumpulan atau semacam acara tahunan saja.
Di sisi lain memasukkan anak ke sekolah publik juga bukan tanpa tantangan. Sebab, bahasa pengantarnya adalah Bahasa Belanda, sedangkan saya dan keluarga saat itu tidak ada yang bisa berbahasa Belanda. Terlebih lagi anak sulung saya, yang belum pernah punya pengalaman tinggal di tempat asing sebelumnya. Ada beberapa pilihan sekolah lainnya di sekitar zona tempat saya tinggal, Private School yaitu sekolah Belanda khusus keagamaan seperti Katolik, ada juga sekolah yang berbasis filosofi seperti Montessori School dan International School yaitu sekolah dengan pengantar berbahasa Inggris yang dikelola swasta namun biaya sekolah ini sangat mahal. Di setiap zona juga memiliki sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus, sekolah ini juga disubsidi oleh negara. Sehingga orang tua tidak perlu memikirkan tentang biaya pendidikan anak-anak mereka yang sudah dicover oleh pemerintah.
Pertimbangan utama pemilihan sekolah di Belanda pada umumnya berdasarkan letak tempat tinggal dengan jarak sekolah. Tentu akan lebih mudah bagi orang tua dalam urusan transportasi dan mobilitas jika jarak yang ditempuh dekat. Selain itu bagi orang tua yang memiliki lebih dari satu anak, otomatis anak berikutnya akan pasti masuk ke sekolah kakaknya.
Soal pemerataan pendidikan di Belanda menggunakan kurikulum yang sama dibuat oleh Pemerintah sehingga tak ada istilah sekolah unggulan atau tidak unggulan di Belanda. Setiap anak memiliki hak yang sama, inilah dasar mengapa di Belanda sangat menekankan tentang mutu pendidikan di negaranya. Namun tak dipungkiri untuk mewujudkan sistem pendidikan yang maju negaranya menggelontorkan pendanaan yang sangat banyak di bidang pendidikan karena mereka sangat menyadari bahwa bangsa yang kuat berawal dari pendidikan yang berkualitas pula.