JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kanker paru masih menjadi penyakit paling mematikan di dunia. Bahkan, hingga saat ini belum ada temuan obat yang bisa menyembuhkan. Di Indonesia, angka penyintas kanker paru semakin meningkat setiap tahunnya. Penyebab utamanya, asap rokok.
Lima tahun terakhir kasus kanker paru di Indonesia telah meningkat sebesar 10,85 persen. Berdasar data GLOBOCAN pada 2018, tercatat sebanyak 30.023 jiwa terdiagnosa kanker paru, 26.095 di antaranya dinyatakan meninggal.
Artinya, tidak kurang dari 71 orang setiap harinya meninggal karena kanker paru. Fakta tersebut membuat kanker paru menempati peringkat pertama dan menjadikan Indonesia dalam zona serius.
Namun, angka tersebut bisa ditekan dengan mengendalikan dan menurunkan prevalensi rokok. Serta, mengendalikan polusi udara. Pasalnya, 80–90 persen kematian kanker paru disebabkan asap rokok karena terdapat berbagai kandungan zat karsinogen.
Di samping itu, kanker paru tak hanya membahayakan para perokok aktif. Tetapi, juga mengancam perokok pasif. ”Udara dengan zat polusi itu tersebar di lingkungan dan akhirnya ikut dihirup juga oleh mereka yang tidak merokok,” kata Prof dr Elisna Syahruddin PhD SpP(K).
Menurut dia, gejala kanker paru sulit dibedakan dengan berbagai penyakit paru lainnya. Terutama pada saluran napas karena tidak ada gejala yang khas. Karena itu, sering kali terabaikan oleh masyarakat. ”Akhirnya baru ketahuan terkena kanker paru pas udah stadium lanjut,” ujarnya.
Ketua pokja kanker paru Perhimpunan Dokter Paru Indonesia itu mengimbau masyarakat untuk lebih aware. Juga segera memeriksakan diri ke dokter apabila merasa ada yang tidak beres dengan saluran napasnya.
Apalagi, jika disertai dengan gejala-gejala lain seperti penurunan berat badan dan demam. ”Demamnya sih nggak tinggi, tapi nggak ngerespons obat penurun panas,” jelas Elisna.
Operasi, kemoterapi, terapi radiasi, dan terapi target kerap dijadikan para penyintas kanker paru sebagai pilihan untuk pengobatan. Namun, empat tahun terakhir, muncul imunoterapi. Metode tersebut mengoptimalkan kemampuan imun tubuh untuk digunakan sebagai senjata dalam melawan sel kanker.
Dr Sita Laksmi Andarini PhD SpP(K) menjelaskan, cara kerja pengobatan imunoterapi berbeda dengan kemoterapi. Kemoterapi berfungsi untuk membunuh sel kanker. Sementara itu, imunoterapi meningkatkan respons imunitas antitumor.
”Jadi menghambat pertemuan sel imun yang kerap dimanfaatkan sel kanker untuk menghindari serangan daya tahan tubuh,” papar dokter spesialis paru konsultan onkologi itu.
Dengan begitu, sistem kekebalan pada penyintas akan jauh lebih aktif untuk melawan sel kanker. Meski terbilang baru, Sita menilai, pengobatan tersebut ampuh untuk menyembuhkan. Bisa meningkatkan harapan dan kualitas hidup lebih lama para pasien kanker paru yang sudah stadium lanjut.
Bahkan, sebuah riset yang diterbitkan University of Wollongong, Australia, pada 2019 menyebutkan, tingkat kelangsungan hidup keseluruhan rata-rata dari terapi imunologi mencapai 30 bulan.
Ketua Umum dan Pendiri Cancer Information and Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli Putri menambahkan, kanker paru tak hanya menyerang fisik pasien. Sebab, bila pasien dibuat menunggu pelayanan kesehatan yang lama, itu bisa berdampak pada kondisi psikologisnya. Belum lagi, soal ketersediaan obat yang belum pasti.
”Khawatir dapat memperburuk kesehatan pasien. Apalagi, mayoritasnya terdiagnosis saat sudah stadium lanjut,” tuturnya. Karena itu, dia berharap agar para pemangku kepentingan untuk bekerja sama. Berkesinambungan dalam upaya promotif, preventif, diagnosis, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif untuk penanggulangan kanker.
—
GEJALA KANKER PARU YANG PATUT DIWASPADAI
– Batuk berkepanjangan
– Batuk berdarah
– Sesak napas
– Sakit pada area dada
PENCEGAHAN KANKER PARU
– Jangan merokok atau berhenti merokok
– Perbanyak konsumsi buah dan sayur
– Kurangi mengonsumsi suplemen dengan dosis tinggi
– Berolahraga rutin selama 30 menit setiap hari
– Gunakan masker di tempat yang banyak paparan bahan kimia berbahaya
– Lakukan pemeriksaan secara berkala. Terutama bila memiliki riwayat merokok atau bekerja di lingkungan yang tinggi paparan bahan kimia.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman