Minggu, 7 Juli 2024

Mengganggu Kegiatan Masyarakat Sepanjang Tepian

Sungai Subayang merupakan salah satu sungai besar di Kabupaten Kampar yang berada di Rantau Kampar Kiri dan membelah banyak desa. Puluhan ribu jiwa bergantung kepada sungai ini untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari.

Laporan: KUNNI MASROHANTI (Kampar)

- Advertisement -

Sungai Subayang  membelah puluhan desa yang terletak di Kecamatan Kampar Kiri Hulu dan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Desa-desa tersebut antara lain; Pangkalan Serai, Subayang Jaya, Terusan, Aur Kuning, Gajah Betalut,Tanjung Beringin, Batu Sanggan, Muara Bio, Tanjung Belit, Tanjung Belit Selatan (Pulau Pencong), Gema, Domo, Sungai Liti, Padang Sawah, Kuntu Darussalam, Kuntu, Teluk Paman, Teluk Paman Timur dan Lipatkain Selatan. Kegiatan masyarakat seperti mandi dan mencuci masih dilakukan di sungai ini.

Masyarakat juga mencari ikan di Sungai Subayang. Baik dengan cara menjaring, memancing atau pun menembak. Berbagai adat dan tradisi masyarakat layaknya masyarakat sungai, juga berjalan hingga saat ini. Antara lain Lubuk Larangan, Turun Mandi dan memandikan jenazah, khususnya di bagian hulu Subayang. Sedangkan di bagian hilir, mayoritas masyarakat memanfaatkan sungai ini untuk mencari ikan, mandi dan mencuci. Kegiatan masyarakat ini akan sangat terganggu bila Sungai Subayang sudah tidak jernih lagi.

Keruh Sungai Subayang ini memang dipengaruhi banyak sebab. Hujan lebat beberapa hari, khususnya di bagian hulu, keruhnya akan sampai ke hilir. Runtuhnya tebing-tebing sungai di beberapa bagian sungai juga bisa membuat Sungai Subayang keruh. Aktivitas penambangan seperti tambang pasir dan batu (sirtu) atau yang dikenal dengan kuari, juga demikian. Banyak hal yang bisa mengancam kelestarian Sungai Subayang.

- Advertisement -

Usaha kuari yang ada di Pulau Pencong Kecamatan Kampar Kiri Hulu dan dikelola CV Mitra Anugerah saat ini, juga diprotes warga yang tergabung dalam masyarakat peduli subayang (MPS) akhir April lalu. Bahkan MPS sempat mendatangi pengelola di lokasi kuari pada 22 Maret 2020 dan meminta agar usaha tersebut ditinjau ulang bahkan dihentikan.

Masyarakat yang tergabug dalam MPS ini terdiri dari warga beberapa desa. Antara lain Desa Padang Sawah, Domo dan Kuntu. Mereka  ini mayoritas masyarakat yang biasa mencari ikan di sungai denga cara menembak, yakni menembak ikan dengan mengandalkan penglihatan langsung ke air. Jika air jernih, ikan terlihat jelas. Tapi jika keruh, semua menjadi gelap.

Bukan hanya soal air yang keruh, keberadaan usaha kuari juga merusak jalan utama sepanjang Kecamatan Kampar Kiri, yakni dari Lipatkain hingga Desa Gema. Ini pun diprotes warga. Bahkan 8 kepala desa di Kecamatan Kampar Kiri mengadakan pertemuan bersama dan meminta pengusaha tersebut untuk memperbaiki jalan yang rusak. Perundingan demi perundingan telah dilalui. Terkait kuari Pulau Pencong yang diduga menjadi penyebab rusaknya kelestarian Sungai Subayang ini juga sempat viral di grup-grup Whatsapp dan Facebook serta mendapat simpati dari banyak pihak.

Baca Juga:  Wako Dumai Teken Perjanjian Pinjaman dengan Bank Riau Kepri

Saat ini, usaha kuari tersebut berhenti sementara waktu. Bukan karena protes warga semata, tapi juga karena bulan Ramadan dan dekatnya Hari Raya Idulfitri. Sabtu (16/5) saat Riau Pos ke sana, lokasi kuari terlihat sepi. Tidak ada kegiatan sama sekali. Alat berat tidak terlihat di tepi atau tengah sungai. Puluhan pengangkut sirtu yang biasanya lalu lalang di sepanjang jalan, juga tidak ada. Yang terlihat hanya pasir dan batu di tengah sungai yang jernih serta beberapa ruas jalan yang rusak serta sudah disiram kerikil.

"Subayang sekarang memang tidak seperti dulu. Hujan sebentar, air naik, banjir dan langsung keruh. Ada bagian tebing-tebing sungai yang runtuh, juga bisa membuat sungai keruh. Aktivitas penambangan juga begitu. Di Sungai Subayang ini sudah ada beberapa usaha kuari. Dulu di Domo, lama juga beroperasi dan tidak ada izin. Akibatnya sungai keruh. Untung sekarang sudah berhenti. Habis kuari di Domo, sekarang ada lagi di Pulau Pencong atau Tanjung Belit Selatan yang juga berperan atas keruhnya air Sungai Subayang. Akibatnya, masyarakat tidak bisa mencari ikan, air sungai tidak nyaman digunakan untuk kegiatan sehari-hari. Kalau dibiarkan dalam waktu yang lama, rusaklah sungai. Tradisi masyarakat yang berhubungan dengan sungai masih sangat kental. Kelestarian ini harus dijaga terus. Bagaimana keberadaan kuari di Pulau pencong ini juga harus ditinjau kembali," ujar Kasmono, koordinator MPS kepada Riau Pos.

Di lain tempat, tokoh masyarakat Padang Sawah, Datuk Darnius Padas, juga menyoroti persoalan ini. Dikatakannya, atas hak ulayat, pengelolaan sungai secara adat ada yang berkuasa, yaitu Datuk Antau. Di setiap desa atau negeri, ada datuknya. Begitu juga di Pulau Pencong. Tapi Datuk Antau tidak bisa memutuskan sendiri terkait pengelolaan sungai seperti usaha kuari itu, harus sepakat dengan datuk-datuk lainnya.

Kalau sudah sepakat dan diserahkan kepada investor, tugas investor selanjutnya mengurus izin, amdal, proses pengangkutan dan lain-lain. Dalam aturan pengelolaan ini sudah diatur semua, kata Datuk Darnius, termasuk konpensasi untuk desa dan kewajiban melestarikan lingkungan. Kalau pencemaran sungai parah, tentu bertentangan dengan ketentuan. Pengelola harus melaksanakan hak dan kewajibannya.

Baca Juga:  Botol Minuman

Terkait aksi protes yang dilakukan warga karena keberadaan kuari Pulau Pencong mengakibatkan air Sungai Subayang keruh, Datuk Darnius menyikapi dengan serius. Katanya, usaha kuari di Sungai Subayang sudah berjalan sekitar 15 tahun. Selain di Pulau Pencong, sebelumnya ada dua di Desa Domo dan baru tutup belum lama ini karena tidak ada izin. Di Gema juga ada, di Kuntu juga ada dua tempat yakni di Sungai Siantan dan Pulau Rendah.

"Kalau rusak Sungai Subayang tak bisa dituduhkan kepada galian C  atau kuari saja. Banyak sungai kecil yang muaranya ke Subayang dan di semua hulunya merupakan bukaan lahan sawit. Mulai dari Danau Sentul, Sungai Subangi, Sungai Mandang dan Batang Bunian yang di kanan kirinya bukaan lahan sawit. Bahkan seberang Gema juga bukaan lahan sawit. Kalau hujan, tanahnya jatuh ke sungai dan larinya ke Subayang. Begitu juga jalan rusak, bukan hanya karena truk galian  C saja. Ada mobil sawit, mobil balak, dan lainnya yang lewat di sepanjang Lipatkain sampai Gema itu. Tapi bagaimanapun, pengelola galian C wajib  memenuhi prosedur dalam menjalankan usahanya sehingga kejernihan sungai tetap terjaga. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Jangan warga dirugikan," kata Datuk Darnius.  

Sementara itu, Datok Moja, pengawas lapangan yang juga salah satu datuk di Desa Pulau Pencong, mengatakan, usaha kuari tersebut dimulai atas permintaan ninik mamak. Cukup lama dia mencari investor dan baru bertemu dengan CV Mitra Anugerah setelah dua tahun kemudian. Kini dia dipercaya sebagai perwakilan CV Mitra Anugerah sebagai pengawas lapangan yang sehari-hari memantau dan mengkoordinir jalannya usaha kuari tersebut.

"Usaha kuari ini atas permintaan masyarakat melalui ninik mamak Pulau Pencong dan desa yang menikmati hasilnya. Masjid besar yang ada di Pulau Pencong, 70 persen dibangun dari usaha kuari ini. Dulu kalau hujan lebat, tebing kanan kiri sungai runtuh karena dangkal sebab ada pulau di tengah sungai. Pulau itu yang dikelola investor. Alhamdulillah sekarang pulaunya sudah dimanfaatkan, masyarakat menerima hasilnya dan tebing tidak runtuh lagi karena bagian tengah sungai sudah dalam. Sekarang, usaha kuari ini memang kita hentikan sementara, karena mau Lebaran juga. Insyaallah habis Lebaran akan kita mulai lagi. Semua kewajiban seperti membayar pajak dan kejernihan air, pasti jadi perhatian kami sebagaimana kewajiban kami yang tercantum dalam perizinan usaha ini," kata Datok Moja saat ditemui di Pulai Pencong, Sabtu lalu.***

 

Sungai Subayang merupakan salah satu sungai besar di Kabupaten Kampar yang berada di Rantau Kampar Kiri dan membelah banyak desa. Puluhan ribu jiwa bergantung kepada sungai ini untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari.

Laporan: KUNNI MASROHANTI (Kampar)

Sungai Subayang  membelah puluhan desa yang terletak di Kecamatan Kampar Kiri Hulu dan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Desa-desa tersebut antara lain; Pangkalan Serai, Subayang Jaya, Terusan, Aur Kuning, Gajah Betalut,Tanjung Beringin, Batu Sanggan, Muara Bio, Tanjung Belit, Tanjung Belit Selatan (Pulau Pencong), Gema, Domo, Sungai Liti, Padang Sawah, Kuntu Darussalam, Kuntu, Teluk Paman, Teluk Paman Timur dan Lipatkain Selatan. Kegiatan masyarakat seperti mandi dan mencuci masih dilakukan di sungai ini.

Masyarakat juga mencari ikan di Sungai Subayang. Baik dengan cara menjaring, memancing atau pun menembak. Berbagai adat dan tradisi masyarakat layaknya masyarakat sungai, juga berjalan hingga saat ini. Antara lain Lubuk Larangan, Turun Mandi dan memandikan jenazah, khususnya di bagian hulu Subayang. Sedangkan di bagian hilir, mayoritas masyarakat memanfaatkan sungai ini untuk mencari ikan, mandi dan mencuci. Kegiatan masyarakat ini akan sangat terganggu bila Sungai Subayang sudah tidak jernih lagi.

Keruh Sungai Subayang ini memang dipengaruhi banyak sebab. Hujan lebat beberapa hari, khususnya di bagian hulu, keruhnya akan sampai ke hilir. Runtuhnya tebing-tebing sungai di beberapa bagian sungai juga bisa membuat Sungai Subayang keruh. Aktivitas penambangan seperti tambang pasir dan batu (sirtu) atau yang dikenal dengan kuari, juga demikian. Banyak hal yang bisa mengancam kelestarian Sungai Subayang.

Usaha kuari yang ada di Pulau Pencong Kecamatan Kampar Kiri Hulu dan dikelola CV Mitra Anugerah saat ini, juga diprotes warga yang tergabung dalam masyarakat peduli subayang (MPS) akhir April lalu. Bahkan MPS sempat mendatangi pengelola di lokasi kuari pada 22 Maret 2020 dan meminta agar usaha tersebut ditinjau ulang bahkan dihentikan.

Masyarakat yang tergabug dalam MPS ini terdiri dari warga beberapa desa. Antara lain Desa Padang Sawah, Domo dan Kuntu. Mereka  ini mayoritas masyarakat yang biasa mencari ikan di sungai denga cara menembak, yakni menembak ikan dengan mengandalkan penglihatan langsung ke air. Jika air jernih, ikan terlihat jelas. Tapi jika keruh, semua menjadi gelap.

Bukan hanya soal air yang keruh, keberadaan usaha kuari juga merusak jalan utama sepanjang Kecamatan Kampar Kiri, yakni dari Lipatkain hingga Desa Gema. Ini pun diprotes warga. Bahkan 8 kepala desa di Kecamatan Kampar Kiri mengadakan pertemuan bersama dan meminta pengusaha tersebut untuk memperbaiki jalan yang rusak. Perundingan demi perundingan telah dilalui. Terkait kuari Pulau Pencong yang diduga menjadi penyebab rusaknya kelestarian Sungai Subayang ini juga sempat viral di grup-grup Whatsapp dan Facebook serta mendapat simpati dari banyak pihak.

Baca Juga:  Komit Tingkatkan Hak Tumbuh Kembang Anak, Rohul Berharap KLA Naik Peringkat ke Nindya

Saat ini, usaha kuari tersebut berhenti sementara waktu. Bukan karena protes warga semata, tapi juga karena bulan Ramadan dan dekatnya Hari Raya Idulfitri. Sabtu (16/5) saat Riau Pos ke sana, lokasi kuari terlihat sepi. Tidak ada kegiatan sama sekali. Alat berat tidak terlihat di tepi atau tengah sungai. Puluhan pengangkut sirtu yang biasanya lalu lalang di sepanjang jalan, juga tidak ada. Yang terlihat hanya pasir dan batu di tengah sungai yang jernih serta beberapa ruas jalan yang rusak serta sudah disiram kerikil.

"Subayang sekarang memang tidak seperti dulu. Hujan sebentar, air naik, banjir dan langsung keruh. Ada bagian tebing-tebing sungai yang runtuh, juga bisa membuat sungai keruh. Aktivitas penambangan juga begitu. Di Sungai Subayang ini sudah ada beberapa usaha kuari. Dulu di Domo, lama juga beroperasi dan tidak ada izin. Akibatnya sungai keruh. Untung sekarang sudah berhenti. Habis kuari di Domo, sekarang ada lagi di Pulau Pencong atau Tanjung Belit Selatan yang juga berperan atas keruhnya air Sungai Subayang. Akibatnya, masyarakat tidak bisa mencari ikan, air sungai tidak nyaman digunakan untuk kegiatan sehari-hari. Kalau dibiarkan dalam waktu yang lama, rusaklah sungai. Tradisi masyarakat yang berhubungan dengan sungai masih sangat kental. Kelestarian ini harus dijaga terus. Bagaimana keberadaan kuari di Pulau pencong ini juga harus ditinjau kembali," ujar Kasmono, koordinator MPS kepada Riau Pos.

Di lain tempat, tokoh masyarakat Padang Sawah, Datuk Darnius Padas, juga menyoroti persoalan ini. Dikatakannya, atas hak ulayat, pengelolaan sungai secara adat ada yang berkuasa, yaitu Datuk Antau. Di setiap desa atau negeri, ada datuknya. Begitu juga di Pulau Pencong. Tapi Datuk Antau tidak bisa memutuskan sendiri terkait pengelolaan sungai seperti usaha kuari itu, harus sepakat dengan datuk-datuk lainnya.

Kalau sudah sepakat dan diserahkan kepada investor, tugas investor selanjutnya mengurus izin, amdal, proses pengangkutan dan lain-lain. Dalam aturan pengelolaan ini sudah diatur semua, kata Datuk Darnius, termasuk konpensasi untuk desa dan kewajiban melestarikan lingkungan. Kalau pencemaran sungai parah, tentu bertentangan dengan ketentuan. Pengelola harus melaksanakan hak dan kewajibannya.

Baca Juga:  PH Suami Bunga Zainal Ditutup Sementara

Terkait aksi protes yang dilakukan warga karena keberadaan kuari Pulau Pencong mengakibatkan air Sungai Subayang keruh, Datuk Darnius menyikapi dengan serius. Katanya, usaha kuari di Sungai Subayang sudah berjalan sekitar 15 tahun. Selain di Pulau Pencong, sebelumnya ada dua di Desa Domo dan baru tutup belum lama ini karena tidak ada izin. Di Gema juga ada, di Kuntu juga ada dua tempat yakni di Sungai Siantan dan Pulau Rendah.

"Kalau rusak Sungai Subayang tak bisa dituduhkan kepada galian C  atau kuari saja. Banyak sungai kecil yang muaranya ke Subayang dan di semua hulunya merupakan bukaan lahan sawit. Mulai dari Danau Sentul, Sungai Subangi, Sungai Mandang dan Batang Bunian yang di kanan kirinya bukaan lahan sawit. Bahkan seberang Gema juga bukaan lahan sawit. Kalau hujan, tanahnya jatuh ke sungai dan larinya ke Subayang. Begitu juga jalan rusak, bukan hanya karena truk galian  C saja. Ada mobil sawit, mobil balak, dan lainnya yang lewat di sepanjang Lipatkain sampai Gema itu. Tapi bagaimanapun, pengelola galian C wajib  memenuhi prosedur dalam menjalankan usahanya sehingga kejernihan sungai tetap terjaga. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Jangan warga dirugikan," kata Datuk Darnius.  

Sementara itu, Datok Moja, pengawas lapangan yang juga salah satu datuk di Desa Pulau Pencong, mengatakan, usaha kuari tersebut dimulai atas permintaan ninik mamak. Cukup lama dia mencari investor dan baru bertemu dengan CV Mitra Anugerah setelah dua tahun kemudian. Kini dia dipercaya sebagai perwakilan CV Mitra Anugerah sebagai pengawas lapangan yang sehari-hari memantau dan mengkoordinir jalannya usaha kuari tersebut.

"Usaha kuari ini atas permintaan masyarakat melalui ninik mamak Pulau Pencong dan desa yang menikmati hasilnya. Masjid besar yang ada di Pulau Pencong, 70 persen dibangun dari usaha kuari ini. Dulu kalau hujan lebat, tebing kanan kiri sungai runtuh karena dangkal sebab ada pulau di tengah sungai. Pulau itu yang dikelola investor. Alhamdulillah sekarang pulaunya sudah dimanfaatkan, masyarakat menerima hasilnya dan tebing tidak runtuh lagi karena bagian tengah sungai sudah dalam. Sekarang, usaha kuari ini memang kita hentikan sementara, karena mau Lebaran juga. Insyaallah habis Lebaran akan kita mulai lagi. Semua kewajiban seperti membayar pajak dan kejernihan air, pasti jadi perhatian kami sebagaimana kewajiban kami yang tercantum dalam perizinan usaha ini," kata Datok Moja saat ditemui di Pulai Pencong, Sabtu lalu.***

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari