Kamis, 19 September 2024

Suarakan Keresahan lewat Teater

Mengarak karya "Padang Perbu­ruan" ketiga kota di Sumatera, Jambi, Palembang, dan Bengkulu, adalah "sesuatu". Mengapa? Sebab Lembaga Teater Selembayung (Riau) memang berkeinginan berbagi informasi dalam berbagai wacana.

(RIAUPOS.CO) – BERBAGI? Berbagi apa? Pertanyaan itu tentu perlu dijawab. Pasalnya, karya berdurasi 35 menit itu, dihasilkan dari riset yang lumayan memakan waktu dan biaya tak sedikit. Selain itu, karya tersebut telah pula dibentang diberbagai perhelatan seperti Pekan Teater Nasional (PTN) 2018 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Silek Art Festival (SAF) di Padangpanjang (Sumbar), dan lainnya.

Sebagai penulis teks (naskah drama) sekaligus sutradara Fedli Azis, memang berkeinginan untuk membagi pengalaman dalam hal penciptaan karyanya itu kepada publik di luar Riau. Maka program "Mengarak Teater" Lembaga Teater Selembayung pun, disambut hangat Kemendikbud RI melalui program Fasilitasi Kegiatan Kesenian (FKK) 2019 ini. Meski dengan jumlah bantuan yang tidak mentereng, komunitas yang sudah berusia 23 tahun ini tetap mengupayakan agar program itu berjalan sesuai rencana.

Kota Jambi, menjadi kunjungan pertama. Menyusul Kota Palembang, dan diakhiri di Kota Bengkulu. Setiap kota menyisakan kisah dan cerita yang menarik dan perlu dikabarkan pada publik yang lebih luas agar proses silaturahmi dan berbagi informasi itu, dapat pula dipahami sebagai wacana menarik.

- Advertisement -
Baca Juga:  Kamis Jerinx SID Mulai Disidang, Nora Ajukan Penangguhan Penahanan

Di Kota Jambi, karya "Padang Perburuan" digelar Taman Budaya Jambi (TJB) pada 19 Juli silam. Di kota itu, tim mendapat sambutan hangat kawan-kawan teater dan Kepala TJB Didin Sirojuddin yang juga seorang teaterawan. Usai pertunjukan, diskusi yang digelar terasa alot dan penuh keceriaan dengan suasana persahabatan. Kawan-kawan teater Jambi, baik dari komunitas maupun pecinta seni, saling melengkapi pembahasan.

Salah satu pekerja teater Jambi, Agung menjelaskan, suguhan yang dibentang Teater Selembayung (Riau) tentu saja memberikan sesuatu yang lain, baik dalam hal biografi penciptaan maupun wacana yang diangkat. Dijelaskannya, maksud dan pesan yang disampaikan dalam karya "Padang Perburuan" terasa menusuk dan "nakal". Dari karya tersebut, para audiens yang memenuhi gedung pertunjukan malam itu, menjadi tahu tentang persoalan yang terjadi di salah satu wilayah di Riau, tepat di Xlll Koto Kampar.

- Advertisement -

"Ya, kami baru tahu bahwa pembangunan PLTA Koto Panjang di Riau menjadi 'mesin pembunuh' bagi kemaslahatan umat. Penenggelaman 10 kampung tanpa ganti rugi jelas menyengsarakan masyarakat. Dan paling miris, kampung mereka ditenggelamkan namun listrik yang dihasilkan PLTA itu tidak memberi manfaat pada mereka," ulas Agung panjang lebar.

Baca Juga:  518 Pegawai Minta Pimpinan KPK Angkat 75 yang Dinyatakan TMS

Selain itu, terjadi pula perdebatan tentang genre pada karya "Padang Perburuan". Apakah teater mini kata, realis, maupun psychal theatre, dan lainnya. Dalam konteks itu, Fedli Azis selaku sutradara memulangkan pada audiens, sebab baginya, seorang kreator hanya berkarya dan 'cap-cap' biar saja disimpulkan pengamat, kritikus, maupun audiens yang menonton.

Sementara itu, di Kota Palembang, suguhan digelar di Kompleks Taman Budaya Sumsel pada 21 Juli. Kawan-kawan Teater Potlot asuhan Conie Sema menyambut dengan hati lapang. Apalagi, wacana yang ditawarkan Teater Selembayung mirip dengan wacana-wacana yang mereka angkat, yakni kerusakan bentang alam akibat ulah main mata penguasa dan pengusaha. Pertambangan dan perkebunan yang memporak-porandakan budaya lokal.

"Kerusakan bentang alam memang sudah menjadi persoalan Sumatera, Kalimatan, dan Papua. Kerusakan yang diakibatkan ulah manusia ini, perlu juga disuarakan lewat teater. Tema ekologi musti sudah jadi fokus kita saat ini," kata Conie Sema.

Mengarak karya "Padang Perbu­ruan" ketiga kota di Sumatera, Jambi, Palembang, dan Bengkulu, adalah "sesuatu". Mengapa? Sebab Lembaga Teater Selembayung (Riau) memang berkeinginan berbagi informasi dalam berbagai wacana.

(RIAUPOS.CO) – BERBAGI? Berbagi apa? Pertanyaan itu tentu perlu dijawab. Pasalnya, karya berdurasi 35 menit itu, dihasilkan dari riset yang lumayan memakan waktu dan biaya tak sedikit. Selain itu, karya tersebut telah pula dibentang diberbagai perhelatan seperti Pekan Teater Nasional (PTN) 2018 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Silek Art Festival (SAF) di Padangpanjang (Sumbar), dan lainnya.

Sebagai penulis teks (naskah drama) sekaligus sutradara Fedli Azis, memang berkeinginan untuk membagi pengalaman dalam hal penciptaan karyanya itu kepada publik di luar Riau. Maka program "Mengarak Teater" Lembaga Teater Selembayung pun, disambut hangat Kemendikbud RI melalui program Fasilitasi Kegiatan Kesenian (FKK) 2019 ini. Meski dengan jumlah bantuan yang tidak mentereng, komunitas yang sudah berusia 23 tahun ini tetap mengupayakan agar program itu berjalan sesuai rencana.

Kota Jambi, menjadi kunjungan pertama. Menyusul Kota Palembang, dan diakhiri di Kota Bengkulu. Setiap kota menyisakan kisah dan cerita yang menarik dan perlu dikabarkan pada publik yang lebih luas agar proses silaturahmi dan berbagi informasi itu, dapat pula dipahami sebagai wacana menarik.

Baca Juga:  Predator Anak Beraksi melalui Game Online

Di Kota Jambi, karya "Padang Perburuan" digelar Taman Budaya Jambi (TJB) pada 19 Juli silam. Di kota itu, tim mendapat sambutan hangat kawan-kawan teater dan Kepala TJB Didin Sirojuddin yang juga seorang teaterawan. Usai pertunjukan, diskusi yang digelar terasa alot dan penuh keceriaan dengan suasana persahabatan. Kawan-kawan teater Jambi, baik dari komunitas maupun pecinta seni, saling melengkapi pembahasan.

Salah satu pekerja teater Jambi, Agung menjelaskan, suguhan yang dibentang Teater Selembayung (Riau) tentu saja memberikan sesuatu yang lain, baik dalam hal biografi penciptaan maupun wacana yang diangkat. Dijelaskannya, maksud dan pesan yang disampaikan dalam karya "Padang Perburuan" terasa menusuk dan "nakal". Dari karya tersebut, para audiens yang memenuhi gedung pertunjukan malam itu, menjadi tahu tentang persoalan yang terjadi di salah satu wilayah di Riau, tepat di Xlll Koto Kampar.

"Ya, kami baru tahu bahwa pembangunan PLTA Koto Panjang di Riau menjadi 'mesin pembunuh' bagi kemaslahatan umat. Penenggelaman 10 kampung tanpa ganti rugi jelas menyengsarakan masyarakat. Dan paling miris, kampung mereka ditenggelamkan namun listrik yang dihasilkan PLTA itu tidak memberi manfaat pada mereka," ulas Agung panjang lebar.

Baca Juga:  Nyerah Lawan Android dan IOS, Windows 10 Mobile Resmi Pamit

Selain itu, terjadi pula perdebatan tentang genre pada karya "Padang Perburuan". Apakah teater mini kata, realis, maupun psychal theatre, dan lainnya. Dalam konteks itu, Fedli Azis selaku sutradara memulangkan pada audiens, sebab baginya, seorang kreator hanya berkarya dan 'cap-cap' biar saja disimpulkan pengamat, kritikus, maupun audiens yang menonton.

Sementara itu, di Kota Palembang, suguhan digelar di Kompleks Taman Budaya Sumsel pada 21 Juli. Kawan-kawan Teater Potlot asuhan Conie Sema menyambut dengan hati lapang. Apalagi, wacana yang ditawarkan Teater Selembayung mirip dengan wacana-wacana yang mereka angkat, yakni kerusakan bentang alam akibat ulah main mata penguasa dan pengusaha. Pertambangan dan perkebunan yang memporak-porandakan budaya lokal.

"Kerusakan bentang alam memang sudah menjadi persoalan Sumatera, Kalimatan, dan Papua. Kerusakan yang diakibatkan ulah manusia ini, perlu juga disuarakan lewat teater. Tema ekologi musti sudah jadi fokus kita saat ini," kata Conie Sema.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari