JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly sudah menyerahkan kajian hukum terkait amnesti terpidana Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Baiq Nuril Maknun kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno.
Yasonna mengatakan, Presiden melalui Mensesneg Pratikno nantinya akan mengirim surat kepada DPR untuk meminta pertimbangan dalam pemberian amnesti tersebut. ’’Dari yang saya dengar, Ketua DPR, Komisi III, akan memberikan pandangannya sesegera mungkin,’’ kata Yasonna di gedung DPR, Jakarta, Senin (15/7/2019).
Menurut Yasonna, ada dua pandangan dalam pemberian amnesti ini. Dia menjelaskan, ada yang berpandangan bahwa seharusnya amnesti diberikan untuk terpidana atau pidana yang berkaitan dengan politik. Hanya saja, kata dia, dalam kajian yang dilakukan terdapat juga pandangan lain bahwa amnesti bisa diberikan untuk kelompok atau perorangan.
Yasonna menjelaskan, kedua perspektif ini dibahas mendalam dengan melibatkan para pakar, maupun seluruh jajaran yang ada di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) maupun Ditjen Perundang-undangan Kemenkumham.
’’Dari Kemenkumham melihat ada peluang untuk memberikan amnesti karena presedennya iya, diberikan untuk kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan politik, bisa diberikan kepada kelompok, bisa diberikan kepada perorangan. Pernah ada itu yang perorangan, ada Sri Bintang,’’ kata menteri asal PDI Perjuangan itu.
Dia mengatakan, pemerintah dalam melakukan kajian lebih melihat dari segi rasa keadilan masyarakat. Selain itu, kata dia, pihaknya juga mendengar pakar informasi teknologi (IT) yang resmi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), yang melihat bahwa untuk pidana Nuril sudah diputus bebas di tingkat pengadilan negeri (PN), dalam hal ini PN Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). ’’Rasa keadilan masyarakatnya yang kami lihat,’’ tegasnya.
Lebih lanjut Yasonna menyatakan bahwa pesan yang ingin disampaikan adalah pemerintah sangat serius memerhatikan soal-soal perlindungan ketidaksetaraan gender, terutama dalam menyuarakan apa yang dialami seorang perempuan yang berhadapan dengan orang yang lebih berkuasa daripadanya. ’’Ini guru honorer, bukan guru biasa, tetapi guru honorer berhadapan dengan kepala sekolah,’’ ungkap Yasonna.