JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Kendati Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa vaksin Sinovac aman, banyak yang masih takut dengan efek atau risiko kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI). Kepala Divisi Penyakit Infeksi dan Tropis Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dr Dominicus Husada SpA (K) menyatakan, pada dasarnya tidak ada tindakan medis yang tak berisiko.
Namun, berdasar data, semua obat dan vaksin yang dikeluarkan izinnya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terbukti aman.
"’Dalam semua izin obat dan vaksin yang diberikan, tentu hal-hal seperti itu (KIPI) sudah dievaluasi. Jadi, terjamin keamanannya," katanya kepada Jawa Pos kemarin (13/1).
KIPI adalah setiap kejadian medis yang tidak diinginkan setelah pemberian imunisasi. Namun, belum tentu memiliki hubungan kausalitas dengan vaksin. "Meski sudah terbukti aman, tidak ada produksi manusia yang 100 persen tidak menimbulkan apa-apa. Namun, risikonya tidak banyak," ujarnya.
Dominicus menuturkan, vaksinasi Covid-19 berbeda dengan imunisasi yang menyasar anak-anak. Yang terjadi saat ini, sasaran vaksin Covid-19 adalah orang dewasa. Tentu mereka mudah sekali untuk mengeluh. "Keluhan itu tidak selalu karena vaksin," tegasnya.
Meski begitu, tenaga kesehatan (nakes) harus mencatat setiap kejadian atau laporan pascavaksinasi. Sebab, menentukan penyebab keluhan tidaklah mudah. "Bagi dokter saja tidak gampang membedakan keluhan itu karena vaksin atau bukan. Apalagi orang awam. Jadi, harus benar-benar orang yang berkompetensi," ujarnya.
Dominicus mengatakan, nakes harus mematuhi petunjuk teknis yang ditetapkan Kemenkes. Sementara itu, orang yang divaksin harus tahu bahwa vaksin tersebut aman meskipun akan ada satu atau dua keluhan. Kemudian, jika ada kontraindikasi atau komorbid, mereka harus melapor.
Dominicus menegaskan, berdasar informasi yang disampaikan Kepala BPOM Penny K Lukito, vaksin Sinovac memiliki efek samping 0,1–1 persen. Keluhan yang timbul umumnya ringan dan sembuh sendiri. Jika dibandingkan dengan vaksin buatan Amerika yang memiliki efek samping hingga 40 persen, vaksin Sinovac lebih bagus. "Yang terpenting, keluhan yang sama didapatkan pada kelompok bukan vaksin. Jadi, secara umum, masyarakat tidak perlu khawatir," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) Sri Rezeki menyatakan, vaksin Sinovac merupakan jenis vaksin inactivated atau dari virus mati. Menurut Sri, PT Bio Farma sudah jago dalam memproduksi vaksin jenis itu. "Sudah ada beberapa vaksin yang diproduksi dengan platform yang sama," ucapnya. Contohnya, rabies dan hepatitis A.
Dia juga menyatakan bahwa dua jenis vaksin inactivated yang diproduksi PT Bio Farma tersebut memiliki KIPI yang rendah. Sebab, vaksin itu menggunakan virus mati yang ditambah zat adjuvan. Penambahan itu bertujuan untuk meningkatkan respons imun. "Adjuvan ini yang kerap membuat KIPI," kata Sri.
KIPI yang sering terjadi tidak parah. Misalnya, bengkak atau merah di tempat suntikan. Karena itu, suntikan harus dalam dan masuk ke otot. "Kalau jarumnya pendek, bikin bengkak. Para dokter sudah tahu persis," imbuhnya.
Lalu, apakah vaksinasi menjamin 100 persen kekebalan tubuh? Sri menjelaskan, di dunia ini tak ada yang bisa menjamin keberhasilan 100 persen. Itu bergantung perilaku dan lingkungan sekitar. "Kalau sudah diimunisasi, kena Covid-19 bisa tidak berat," katanya.
Selain itu, yang harus diperhatikan, antibodi tidak langsung tinggi setelah disuntik vaksin kedua. Tubuh memerlukan waktu untuk membentuk antibodi. Setidaknya baru 14 hari hingga satu bulan maksimal antibodi terbentuk dalam tubuh. "Di antara waktu itu orang masih rentan. Maka, masker tidak boleh lepas," ucapnya.
Penolakan vaksin juga menghambat herd immunity. Sebab, bisa jadi semua orang tidak aman. Karena itu, imunisasi harus dilakukan bersama-sama.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi