JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Mundurnya Wahyu Setiawan sebagai komisioner KPU memunculkan nama I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi sebagai calon penggantinya. Pria yang kini menjabat anggota Bawaslu Provinsi Bali itu adalah peraih suara terbanyak ke-8 dalam pemilihan komisioner KPU periode 2017-2022 oleh Komisi II DPR pada 5 April 2017. Dia memperoleh 21 suara.
Kepada JPG, (11/1), Raka Sandi, sapaan karibnya mengaku telah mendengar kabar tersebut. Namun pergantian antarwaktu (PAW) komisioner KPU yang melibatkan dirinya masih sebatas informasi yang berkembang di kalangan pers. ’’Saya ikuti beritanya. Tapi saya menunggu pemberitahuan resmi dari KPU,” kata I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, kemarin.
Dia mengaku siap mengemban tugas baru tersebut. Meski begitu, dirinya tidak mau terburu-buru. Sebab ada tahapan dan mekanise yang harus dilalui dalam proses PAW anggota penyelenggara pemilu. Dia akan menghormati proses yang sedang berjalan tersebut. ’’Semua ada mekanismenya. Itu saja yang kita tunggu,” ujar mantan ketua KPU Provinsi Bali itu.
Sambil menunggu proses itu, Raka Sandi juga mengaku akan segara melakukan konsultasi. Baik dengan KPU maupun Bawaslu. Menanggapi hal itu, Ketua KPU Arief Budiman menyampaikan pihaknya lebih dulu akan memproses pemberhentian Wahyu Setiawan.
Pemberhentian dilakukan melalui surat keputusan presiden (Keppres). Dalam keppres juga sekaligus kan mengangkat pengganti yang bersangutan. ’’Presiden tinggal menerbitkan keppres tentang pemberhentian (Wahyu Setiawan, red) dan pengangkatan (Raka Sandi, red) sebagai komisioner,” jelas Arief Budiman.
Kasus yang membelit Wahyu Setiawan menjadi tamparan keras bagi KPU. Lembaga tersebut harus bekerja keras mengembalikan kepercayaan publik. Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik mengingatkan pihaknya untuk bekerja sesuai prosesur, termasuk KPU provinsi dan kabupaten/kota.
Semua pihak, kata dia harus menjalankan code of conduct yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8/2019 tentang Pedoman Perilaku anggota KPU. Salah satunya larangan keras bagi anggota untuk melakukan perbuatan tercela. Termasuk menghindari praktik suap dan korupsi. Menegakkan integritas dan prinsip transparansi. ’’Code of conduct ini semacam pengawasan internal yang harus dipatuhi,” paparnya.
Evi mengklaim mekanisme pengawasan internal kini semakin gencar disosialisasikan ke seluruh jajaran KPU. Selain ke internal, sosialisasi juga dilakukan ke publik. Tujuannya agar masuyarakat ikut terlibat dalam pengawasan perilaku penyelenggara pemilu. Sehingga jika muncul indikasi penyimpangan dari penyelenggara, publik bisa ikut melaporkan.
Untuk memperkuat pengawasan internal, KPU juga segera membangun kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). ’’Jika ada transaksi mencurigakan yang melibatkan anggota, PPATK bisa mengusut,” imbuhnya. (jpg)