Masyarakat Sabu Raijua sangat menghormati persahabatan. Jika seseorang mengajak kita "cium hidung" (henge’do), berarti mereka percaya dengan kita. Dia akan membantu kesulitan apa pun yang kita alami.
Oleh Hary B Koriun
Saya penasaran mencari siapa penulis buku tersebut. Saya lihat-lihat sekilas sampai akhir. Isinya menarik. Tentang cerita rakyat Pulau Sabu dan hal-hal lainnya yang dalam pikiran saya, ini bisa menjadi salah satu pintu masuk untuk memahami pulau ini secara keseluruhan. Setelah membolak-balik, akhirnya saya menemukan tulisan-tulisan dengan font kecil di bagian terbawah di semua halaman: Penulis Dorkas Dira Tome (Naraja Edo Huddi Piga Raja Manu).
Nah, saya baru paham sekarang siapa penulis buku sederhana tetapi memberikan informasi awal yang menarik ini. Dan, nama Penginapan Komang, ternyata diambil dari nama anak ketika pasangan ini, Komang Adyatha. Dan, ini menegaskan, bahwa pemilik penginapan ini adalah keluarga Ibu Dorkas Dira Tome-Pak I Putu Sudiarta.
Dua orang ASN dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) Kabupaten Sabu Raijua, datang ke penginapan setelah Zuhur, dan kami sudah bangun dari istirahat setelah semalaman kurang nyenyak tidur di kapal. Mereka adalah Kabid Kebudayaan Drs Livingstone Hulu dan stafnya, Martinus Rihi Dima. Livingstone mengucapkan selamat datang berdiskusi dengan Salim tentang rencana pertemuan dengan Pemkab Sabu Raijua esok, Jumat. Semua yang menyangkut acara “penyerahan” saya sebagai orang yang menjalani program ini kepada Pemkab Sabu Raijua memang sudah didiskusikan oleh Salim dan beberapa pejabat di daerah ini. Kadis Pendidikan, I Putu Sudiarta sudah menyerahkan tanggung jawab itu kepada Livingstone. Saya sendiri hanya terima bersih, tak ikut campur masalah ini.
Setelah semuanya klir dan Pak Livinstone pamit, kami bersiap-siap mencari makan siang. Abang Brother –begitu kami kemudian memanggil Martinus Rihi Dima, staf yang ditugaskan mendampingi kami itu– kemudian membawa kami ke Seba, ibukota Sabu Raijua, daerah yang pertama kami injak saat turun di pelabuhan. Dari sinilah kemudian –nanti— saya bisa menyimpulkan dan merasakan sendiri bagaimana keterbatasan soal mencari makan, terutama untuk kebutuhan berbuka dan sahur saat menjalani ibadah puasa Ramadan nanti.
Kami makan di rumah makan padang “Sederhana” yang dikelola pasangan suami-istri asal Sulit Air, Solok, Sumatera Barat (Sumbar), Syahrial dan Nurma Wilis. Mereka ternyata pernah tinggal di Pekanbaru sejak 1992 hingga 2011 sebelum pindah ke Sabu. Di Pekanbaru, mereka juga membuka rumah makan di kawasan Harapan Raya. Setelah sempat merantau ke Surabaya beberapa bulan, mereka kemudian memutuskan pindah ke Pulau Sabu. Rasanya senang ketemu "orang sekampung" di tempat yang jauh seperti ini.
Di pulau ini, mereka memiliki dua rumah makan. Tidak terlalu besar memang. Satu di Seba dan satu lagi di Menia, persis di sebelah Bank NTT, yang memiliki bangunan paling modern di pulau ini. Menu rumah makan ini juga tidak banyak. Hanya gulai ayam, ayam goreng, dan ikan laut goreng.
“Lumayanlah, bisa menjadi alternatif Hary untuk cari makan selama di sini,” kata Dr Sastri.
Tapi, selama saya tinggal di Pulau Sabu, setiap sore saya akan membeli nasi untuk berbuka puasa, ternyata lebih sering rumah makan “Sederhana” ini sudah tutup. Sudah habis karena di siang hari mereka tetap buka. Maklumlah, karena populasi muslim di Sabu tidak besar, maka mau tak mau semua rumah makan di Sabu –meski pemiliknya muslim— tetap buka di siang hari karena masyarakat di sana yang mayoritas Protestan, harus makan siang.