JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pemerintah tidak satu suara dalam menyikapi pelanggaran zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang dilakukan Tiongkok. Di saat Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi tegas menyatakan protes atas ulah Coast Guard Tiongkok, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan justru meminta kasus tersebut tak dibesar-besarkan. Alasannya, kata Luhut, hal itu dikhawatirkan dapat mengganggu iklim investasi.
Pengamat hubungan internasional Hikmahanto Juwana menyayangkan perbedaan sikap itu. Seharusnya empat poin yang disampaikan Menlu setelah rapat koordinasi di Kemenko Polhukam menjadi suara pemerintah. Sehingga semua instansi harus tunduk, termasuk Menko Kemaritiman dan Investasi.
”Lagi pula, jangan sampai masalah investasi Tiongkok, bahkan utang dari Tiongkok, menjadi faktor yang melemahkan kita untuk menegakkan hak berdaulat,” tegasnya kemarin (4/1).
Menurut Hikmahanto, banyak negara yang punya sengketa wilayah, tapi investasinya aman-aman saja. Sebut saja Tiongkok daratan dengan Taiwan. Meski secara politik kedua negara berseberangan, investasi tetap mulus.
Jangan sampai, tutur Hikmahanto, sikap lembek pemerintah Indonesia itu oleh publik dipersepsi telah mencederai politik luar negeri yang bebas aktif. ”Justru, bila perlu presiden mengulang kembali bentuk ketegasan Indonesia pada tahun 2016 dengan mengadakan rapat terbatas di kapal perang Indonesia di Natuna Utara,” ungkapnya.
Pernyataan Luhut itu pun dinilai sama dengan sikap Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Dalam pernyataan sebelumnya, Prabowo menyatakan bakal mencari solusi terbaik. Hal tersebut seperti mengisyaratkan adanya jalan tengah bagi kedua negara. ”Masalah Natuna tidak seharusnya diselesaikan di meja perundingan, mengingat Tiongkok tidak mengakui ZEE Natuna Utara. Indonesia kan juga tidak mengakui klaim Traditional Fishing Right Tiongkok,” tuturnya.
Menurut Hikmahanto, saat ini yang perlu dilakukan pemerintah ialah meningkatkan patroli di Natuna Utara. Juga melakukan penegakan hukum bila ada nelayan asing, termasuk asal Tiongkok, yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal. Peningkatan patroli itu juga bertujuan agar nelayan-nelayan Indonesia tidak mendapat gangguan dari kapal-kapal Coast Guard Tiongkok.
”Tapi, perlu dipahami, Indonesia tidak dalam situasi akan berperang karena adanya pelanggaran yang dilakukan Coast Guard Tiongkok,” ungkap guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut.
Sementara itu, pemerintah dan militer menyatakan bahwa kondisi perairan Natuna sudah aman dari kapal asing. Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksdya TNI Achmad Taufiqoerrochman mengatakan, kapal-kapal nelayan Tiongkok tidak ditemukan beredar di wilayah perairan Indonesia sejak Jumat (3/1) siang. Kapal Marinir juga tetap siaga untuk mengamankan perairan.
Meski demikian, hingga kemarin sore (4/1), tidak ada data jelas berapa kapal asing yang sudah keluar atau masih ada di wilayah ZEE yang disampaikan pihak berwenang. Taufiq mengatakan, pemerintah sebisa-bisanya mengatasi sendiri konflik tersebut. Artinya, belum ada inisiatif untuk membawa permasalahan itu ke meja internasional. ”Kita tidak ke sana (internasional), hanya penyamaan persepsi, itu sikap kita. Kesepakatan seluruh dunia seperti itu karena kita tidak dalam situasi perang,” lanjutnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman