Puasa sebagai syariat secara turun-temurun diamanahkan kepada para Rasul, tentu saja mengandung dua dimensi sekaligus yakni sebagai bentuk ubudiyah dan muamalah. Ubudiyah karena perintah Allah SWT, muamalah karena ibadah puasa mempunyai keterkaitan dengan kehidupan manusia.
Keduanya seperti dua sisi mata uang, seorang yang berpuasa pada saat yang sama juga harus mempunyai empati kepada masyarakat yang dalam Alquran sering disebut kelompok fuqara-masakin (kelompok kaum fakir dan miskin).
Bukti bahwa Allah SWT tidak menginginkan diri kita terlalu sibuk ibadah, dan mengabaikan nasib para fuqara-masakin sebagai kelompok orang-orang yang terpinggirkan dalam status sosial, politik dan ekonomi dijelaskan dalam Surat Al-Ma’un (1-7) sebagai berikut:
“Tahukah kamu orang yang mendustakan Agama? Mereka yang tidak merawat anak yatim dan tidak memberi makan kepada orang-orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang salat, yang lalai dalam salatnya dan juga bersikap sombong serta enggan memberi bantuan.”
Ayat ini merupakan ancaman yang sangat ekstrem dari Allah SWT kepada umat Islam yang telah melupakan kewajiban mereka dan hak-hak orang-orang pinggiran. Penderitaan orang yang mempunyai harta kecukupan sebatas pada saat siang hari sampai menjelang berbuka puasa.
Sedangkan malamnya aneka hidangan justru melebihi dari hari-hari selain bulan puasa. Sebagian orang-orang muslim yang sudah kecukupan harta lebih sering membangun diri kenikmatan dunia di bulan puasa, sehingga puasa hanya sebatas perpindahan pola makan dari siang hari ke malam hari.
Sedangkan orang-orang pinggiran yang sering terlihat di pinggir jalan, tidur di emperan toko, anak-anak kecil membawa kaleng meminta-minta di pinggir jalan, atau seorang ibu yang lusuh dengan menggendong anaknya yang masih berumur 2 tahunan sambil menawarkan koran atau makanan atau sebatas membersihkan kaca mobil kita.
Sebagian kita kadang tidak peduli nasib mereka, tidak mau membuka dan mengulurkan uang untuk mereka agar bisa menikmati sedikit kebahagiaan di tengah padang penderitaan tiada tepi setiap hari dan setiap waktunya.
Kita berpuasa dan bisa berbuka puasa, mereka berpuasa tapi entah kapan waktunya harus bisa berbuka puasa. Karena itu, membuka mata hati membantu mereka pada saat tertentu atau menjadi orang tua asuh adalah wujud pengamalan agama sebagai agama kemanusiaan, dan juga dalam rangka untuk menjadi penganut agama yang totalitas ikhlas karena-Nya dan tidak dianggap sebagai pendusta agama. Aamiin.***