Minggu, 7 Juli 2024

11 Persen Masih Sebut PKI Ancaman

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pemutaran kembali film G 30 S menimbulkan perdebatan lama soal sejarah kelam tersebut. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengadakan survei untuk meneliti opini publik terhadap isu kebangkitan PKI. Hasilnya, 14 persen masih menyatakan percaya bahwa kebangkitan PKI itu ada.Direktur Eksekutif SMRC Sirajuddin Abbas memaparkan bahwa di antara 14 persen responden tersebut, sebagian besar di antaranya masih menganggap kebangkitan PKI adalah ancaman.

"Sebanyak 79 persen di antaranya atau 11 persen dari seluruh populasi menilai kebangkitan PKI sudah menjadi ancaman," jelas Sirajuddin, Rabu (30/9).

- Advertisement -

Dia menambahkan bahwa dari 11 persen populasi itu, mayoritas berpendapat bahwa pemerintah kurang atau tidak tegas sama sekali atas ancaman kebangkitan PKI. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya persepsi ini adalah kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Cina.

Kerja sama dengan Cina dianggap bisa menghidupkan kembali PKI dan komunisme di Indonesia, menurut 26 persen dari populasi yang menilai PKI ancaman tadi. Responden juga ditanya sesuai dengan pilihan partai politik dan presiden pilihan mereka pada dua pilpres terakhir.

Baca Juga:  Plasma Konvalesen Tidak Banyak Membantu Pasien Covid-19 Kritis

Hasil 11 persen sekilas terlihat kecil. Namun menurut pendapat Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, jumlah 11 persen sudah cukup besar jika pihak tertentu ingin membangkitkan sentimen kebangkitan PKI itu nyata dan merupakan ancaman.

- Advertisement -

Usman mengkhawatirkan bahwa isu kebangkitan PKI ini menghidupkan stigma negatif terhadap para penyintas sekaligus menghambat rehabilitasi untuk mereka yang dituduh PKI, pro Soekarno, dan sebagainya.

"Padahal rehabilitasi tahun 2011 sudah dinyatakan MA harus diberikan dan Presiden diminta melakukan rehabilitasi terhadap mereka," jelas Usman.

Lebih jauh, dia menilai bahwa isu kebangkitan PKI ini hanya repetisi dari yang pernah ada, tidak ada kebaruan informasi atas apa yang terjadi September 1965. Politisasi kebangkitan PKI diduga hanya digunakan untuk menyudutkan kelompok yang merupakan lawan politik.

Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menilai bahwa isu kebangkitan PKI terus digaungkan karena belum ada closure atau kesimpulan jelas atas sejarah tersebut.

Baca Juga:  Fasilitasi Dialog Syiah dan Ahmadiyah

"Menurut saya ini adalah salah satu kultur sejarah kita yang memang harus diputus mata rantainya. Karena banyak sekali situasi menggantung dan kita tidak pernah belajar membuat closure secara utuh," papar Alissa.

Berkaitan dengan pemutaran film G 30 S, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD ikut buka suara. Dia menegaskan bahwa tidak perlu ada polemik terkait pemutaran film itu. Mahfud tegas menyebut, dirinya tidak melarang bila ada yang memutar atau menonton film tersebut.

"Pemutaran film itu boleh, tidak ada yang melarang. Tapi, juga tidak (ada yang) mewajibkan," tegasnya.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu pun sudah mempersilakan stasiun televisi yang hendak menayangkan film tersebut.

"Yang mau nonton di YouTube juga silakan," imbuh Mahfud.(deb/syn/jpg)

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pemutaran kembali film G 30 S menimbulkan perdebatan lama soal sejarah kelam tersebut. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengadakan survei untuk meneliti opini publik terhadap isu kebangkitan PKI. Hasilnya, 14 persen masih menyatakan percaya bahwa kebangkitan PKI itu ada.Direktur Eksekutif SMRC Sirajuddin Abbas memaparkan bahwa di antara 14 persen responden tersebut, sebagian besar di antaranya masih menganggap kebangkitan PKI adalah ancaman.

"Sebanyak 79 persen di antaranya atau 11 persen dari seluruh populasi menilai kebangkitan PKI sudah menjadi ancaman," jelas Sirajuddin, Rabu (30/9).

Dia menambahkan bahwa dari 11 persen populasi itu, mayoritas berpendapat bahwa pemerintah kurang atau tidak tegas sama sekali atas ancaman kebangkitan PKI. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya persepsi ini adalah kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Cina.

Kerja sama dengan Cina dianggap bisa menghidupkan kembali PKI dan komunisme di Indonesia, menurut 26 persen dari populasi yang menilai PKI ancaman tadi. Responden juga ditanya sesuai dengan pilihan partai politik dan presiden pilihan mereka pada dua pilpres terakhir.

Baca Juga:  Plasma Konvalesen Tidak Banyak Membantu Pasien Covid-19 Kritis

Hasil 11 persen sekilas terlihat kecil. Namun menurut pendapat Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, jumlah 11 persen sudah cukup besar jika pihak tertentu ingin membangkitkan sentimen kebangkitan PKI itu nyata dan merupakan ancaman.

Usman mengkhawatirkan bahwa isu kebangkitan PKI ini menghidupkan stigma negatif terhadap para penyintas sekaligus menghambat rehabilitasi untuk mereka yang dituduh PKI, pro Soekarno, dan sebagainya.

"Padahal rehabilitasi tahun 2011 sudah dinyatakan MA harus diberikan dan Presiden diminta melakukan rehabilitasi terhadap mereka," jelas Usman.

Lebih jauh, dia menilai bahwa isu kebangkitan PKI ini hanya repetisi dari yang pernah ada, tidak ada kebaruan informasi atas apa yang terjadi September 1965. Politisasi kebangkitan PKI diduga hanya digunakan untuk menyudutkan kelompok yang merupakan lawan politik.

Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menilai bahwa isu kebangkitan PKI terus digaungkan karena belum ada closure atau kesimpulan jelas atas sejarah tersebut.

Baca Juga:  Fasilitasi Dialog Syiah dan Ahmadiyah

"Menurut saya ini adalah salah satu kultur sejarah kita yang memang harus diputus mata rantainya. Karena banyak sekali situasi menggantung dan kita tidak pernah belajar membuat closure secara utuh," papar Alissa.

Berkaitan dengan pemutaran film G 30 S, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD ikut buka suara. Dia menegaskan bahwa tidak perlu ada polemik terkait pemutaran film itu. Mahfud tegas menyebut, dirinya tidak melarang bila ada yang memutar atau menonton film tersebut.

"Pemutaran film itu boleh, tidak ada yang melarang. Tapi, juga tidak (ada yang) mewajibkan," tegasnya.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu pun sudah mempersilakan stasiun televisi yang hendak menayangkan film tersebut.

"Yang mau nonton di YouTube juga silakan," imbuh Mahfud.(deb/syn/jpg)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari