PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — ISAK tangis Zetma Erna Wilis seketika pecah. Nenek 56 tahun ini tak kuasa menahan tangis usai mendengar vonis bebas yang diterima sang suami Syafrudin (69). Ia tak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur atas keadilan diberikan majelis hakim dalam perkara kebakaran lahan seluas 20×20 meter di Kecamatan Rumbai, Pekanbaru pada 2019 lalu.
Zetma kembali menyambangi Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Selasa (4/2) petang, setelah berjalan kaki ratusan meter dari Kantor LBH Pekanbaru Jalan Kuda Laut. Aksi long march bersama ratusan simpatisan merupakan bentuk solidaritas menjemput petani kecil yang dituntut pidana penjara 4 tahun dan denda Rp3 miliar.
Kedatangan dia bersama anak-anak merupakan yang kesekian dan terakhir kali untuk menyaksikan jalan persidangan atas kasus tengah dihadapi sang suami. Sidang penentuan nasib Syafrudin yang digelar di Ruang Utama Cakra tak seperti biasanya. Seisi ruang sidang dipenuhi pengunjung dan mendapat pengawalan ketat dari pihak kepolisian.
Zetma mengunakan jilbab merah muda duduk di kursi paling depan tampak gelisah menanti jalan persidangan. Tak menunggu lama, akhirnya Syafrudin yang didampingi JPU masuk ke ruangan sidang. Sidang beragendakan pembacaan amar putusan oleh majelis hakim diketuai Sorta Ria Neva. Dalam amar putusan, hakim ketua menyampaikan, beberapa pertimbangan hukum. Di antaranya Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak bisa menghadirkan saksi ahli dalam persidangan untuk menguatkan alat bukti berupa surat uji laboratorium mengenai dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan.
Karena keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan KUHAP Pasal 186. Dan hal ini, bertolak belakang dengan Surat Keputusan Mahkamah Agung No 36/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Sebab, bukti berupa surat antara lain hasil laboratorium mesti dituangkan dalam bentuk tertulis dan dikuatkan dengan keterangan ahli di persidangan.
Selain itu, kata Sorta, perbuatan terdakwa bukan tindak pidana mengingat kebakaran lahan tidak mencapai 2 hektare. Kemudian, Syafrudin membakar bukan untuk membuka lahan, melainkan untuk berladang atau menanam tanaman palawija yang telah dilakukannya sejak tahun 1993. Sehingga unsur kesengajan yang didakwaan kepada Syafrudin tidak terpenuhi.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Syafruddin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagai mana dakwaan kesatu dan kedua jaksa penuntut umum. Membebaskan terdakwa Syafrudian dari semua dakwan," tegas Sorta.
Tak hanya itu saja, hakim ketua JPU mengeluarkan terdakwa dari tahanan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas IIB Sialang Bungkuk, serta memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan. kedudukan, harkat dan martabat.
"Menyatakan barang bukti berupa sebuah mancis warna putih, kayu bekas terbakar dan satu potongan ban bekas terbakar dirampas negara untuk dimusnahkan. Kemudian membebankan biaya perkara kepada negara," Sorta mengetuk palu.
Mendengar putusan itu, terdakwa Syafrudin duduk terdiam di atas kursi pesakitan. Pria enam anak itu tak berkata-kata saat ditanya terkait sikapnya atas vonis bebas dalam kasus kebakaran lahan yang diberikan hakim.
"Bapak bebas, bagaimana jawaban bapak. Atau berkonsultasi dulu dengan penasihat hukum," tanya Sorta kepada Syafrudin.
Lalu, Syafrudin yang mengenakan baju dilapisi rompi oranye berjalan menuju penasihat hukumnya, Andi Wijaya. Tak lama setelah itu, Syafrudin kembali ke tempat duduknya.
"Yang Mulia, Bapak Syafrudin tidak tahu putusan ini. Kami sudah kasih tahu beliau bebas, kami menerima putusan ini," kata Andi.
Lain halnya dari JPU Kejari Pekanbaru, Nuraini Lubis. Dia menyampaikan, pihaknya bakal menempuh upaya hukum lanjutan, yaitu kasasi ke Mahkamah Agung atas vonis tersebut. Jawab Nuraini membuat ratusan simpatisan serta keluarga Syafrudin meradang dan bersorak.
Usai mendengarkan jawaban dari penasihat hukum dan JPU atas vonis itu, hakim ketua langsung menyatakan sidang ditutup. Sementara itu, Syafrudin yang masih duduk di atas kursi pesakitan dibantu berdiri oleh Andi untuk menghampiri sang istri, Zetma Erna Wilis, anaknya serta kerabat yang turut datang menyaksikan persidangan tersebut.
"Saya bahagia atas putusan ini, saya ingin kembali kumpul bersama keluarga," ujar Syafrudin berlinang air mata seraya memeluk istrinya.
Kendati telah dinyatakan bebas, saat itu Syafrudin belum bisa langsung diboyong keluarga ke rumah. Kakek 69 tahun ini mesti kembali ke rumah tahanan. Karena, ada prosedur yang dilalui keluarganya untuk menjemput Syafrudin langsung ke Rutan Sialang Bungkuk.
Zetma Erna Wilis mengaku, bahagia atas vonis bebas yang diterima suaminya. Ibu rumah tangga itu menyampaikan, rasa terima kasih kepada majelis hakim dan pihak-pihak yang telah membantu, mendukung serta mengawal proses hukum ini sejak awal.
"Saya ucapkan terima kasih kepada media dan orang-orang yang sudah bantu bapak," sebutnya.
Dikatakan dia, dirinya segera menjemput Syafruddin di Rutan Klas IIB Sialang Bungkuk. Karena dirinya bersama anak-anak sudah tidak sabar lagi berkumpul dengan Syafrudin setelah sekian lama berpisah.
Mirwan, anak kedua Syafrudin menambahkan, dirinya merasa senang dan bersyukur kepada Tuhan Maha Kuasa atas vonis bebas yang diterima orangtuanya. Ia menyampaikan, terima kasih kepada seluruh mahasiswa, media serta LBH Pekanbaru yang selama ini telah membantu bapaknya. "Saya bersyukur. Terima kasih mahasiwa, LBH Pekanbaru dan media yang mendukung dan membantu bapak," imbuh pria berusia 36 tahun.
Selama orangtuanya ditahan, kata Mirwan, dirinya bersama adik-adiknya bahu-membahu memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Karena, Syafrudin merupakan tulang punggung keluarga.
Terpisah, Andi Wijaya menyatakan seperti inilah seharusnya hukum ditegakkan, di mana tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Andi menyebut hukum harus berpihak kepada petani kecil dan tidak memihak korporasi pembakar lahan.
Andi menerangkan, ada beberapa pertimbangan hakim yang membuat Syafruddin divonis bebas. Di antaranya, kearifan lokal dalam membakar lahan yang diakui dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Dia menjelaskan, membuka lahan dengan membakar boleh dilakukan petani dengan syarat di bawah 2 hektare. Syaratnya, petani harus mengumpulkan dan membuat sekat api agar tidak merembet ke lahan lainnya. Berikutnya, lanjut Andi, terkait alat bukti surat. Dalam hal ini, JPU tidak bisa menghadirkan ahli dan hanya membacakan keterangan di bawah sumpah saat penyidikan di kepolisian.
"Harusnya ahli hadir sehingga bukti surat lainnya seperti hasil uji laboratorium tidak dapat diterima hakim," terang Andi.
Terkait upaya hukum lain yang dilakukan JPU, Andi menilai jaksa sangat memaksa agar petani kecil dihukum. "JPU sangat bernafsu memenjarakan petani," cecar Andi.
Vonis bebas Syafrudin tak terlepas dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru. Di mana pengacara dan timnya membuat change.or.ig untuk membantu kliennya bebas dari tuntutan pidana empat tahun dan denda Rp3 miliar. Petisi yang berjudul "Bebaskan Syafrudin dari Tuntutan Hukum: Petani Bukan Penjahat Lingkungan" hingga berita diturunkan ditandatangani sembilan ribuan orang. Di kalimat akhir tertulis, "Kami meminta Pengadilan Negeri Pekanbaru membebaskan Syafrudin dari tuntutan hukum, karena petani kecil seperti Syafrudin bukan penjahat lingkungan!"
Saat itu petani kecil yang tak mengenal aksara asal Rumbai itu, tak sengaja membakar lahan 20×20 meter persegi di lahan tempatnya bekerja. Hingga akhirnya pada 17 Maret 2019, ia dijemput oleh pihak kepolisian lalu wajib lapor. Kemudian Oktober 2019 dijadikan tersangka. LBH Pekanbaru terus mengawalnya. Bahkan sang pengacara pun dari LBH yaitu Andi Wijaya dan Rian Sibarani. Usai dinyatakan bebas, Rian sapaan akrabnya mengucapkan terima kasih karena telah menandatangani petisi dan rela datang ke pengadilan dengan long march dari LBH.
"Terima kasih kami ucapkan untuk teman-teman media, mahasiswa, dan masyarakat umum berkat bantuan dan dukungannya akhirnya PN Pekanbaru menjatuhkan vonis tidak bersalah kepada petani kecil Syafrudin," imbuh Rian.
Hal tersebut, kata Rian menjadi cerminan bagi penegak hukum untuk tidak melakukan kriminalisasi kepada petani kecil.
"Majelis hakim menyatakan tidak terbukti karena termasuk dalam kearifan lokal. Seharusnya korporasi pembakar lahan yang dihukum bukan petani," jelasnya.(ted)
Laporan: RIRI RADAM dan SOFIAH