Jumat, 22 November 2024

Labilnya Rupiah karena Kondisi Global Tak Cukup Stabil

- Advertisement -

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Perjalanan nilai tukar mata uang Rupiah (IDR) terhadap dolar Amerika Serikat (USD) sepanjang 2019 tak luput dari bayangan sentimen global. Namun, mata uang Garuda masih terbilang mampu bertahan dibandingkan mata uang negara berkembang lainnya.

Rupiah Perkasa pada Awal Tahun

- Advertisement -

Meskipun berada di atas level 14.000, Rupiah masih mampu bertahan dari kegoncangan global. Sepanjang Januari, aksi Rupiah tak begitu buruk dalam menghantam dolar Abang Sam (AS).

Ketika itu, Rupiah memanfaatkan momen pelemahan USD. Mata uang raksasa dunia itu sempat goyah dipicu pernyataan Ketua Federal Reserve Jerome Powell yang menyatakan akan fleksibel pada kenaikan suku bunga sekaligus mengindikasikan sikap ‘dovish’.

Tercatat, pada 8 Januari 2019 lalu, Rupiah berada di level 14.031. Namun, pergerakannya sangat fluktuatif, dan menyentuh level terburuk Januari, pada 22 Januari di level 14.221.

- Advertisement -

Keperkasaan rupiah berlanjut hingga Februari 2019. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatatkan sepanjang Januari hingga pertengahan Februari 2019. Bahkan, Rupiah sempat berada di level tertinggi pada 6 Februari diposisi 13.947.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, per 13 Februari 2019, Rupiah berada di level 14.027. Terjadi penguatan nilai tukar sebesar 2,68 persen dibandingkan awal 2018.

Menurutnya, faktor utama yang memengaruhi penguatan mata uang Garuda ini karena keputusan Bank Sentral AS, The Fed yang tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 2,25 persen-2,50 persen. Kendati demikian, dia memastikan pemerintah terus mewaspadai risiko-risiko global yang dapat memberikan tekanan pada Rupiah.

Baca Juga:  Tingkatkan Tata Kelola, PLN Sukses Turunkan Tingkat Risiko ESG

“Risiko seperti kelanjutan perundingan dagang antara AS dan Tiongkok, serta perkembangan lebih lanjut terkait dengan Brexit,” ujarnya (13/2).

Pemilu Turut Warnai Gerak Rupiah

Sayangnya, penguatan Rupiah tak berlangsung lama. Pada 11 Maret 2019, Rupiah kembali terkapar melawan USD hingga lengser ke posisi 14.324. Saat itu, USD terus menguat lantaran positifnya data manufaktur di AS. serta kenaikan harga minyak dunia.

Faktor geopolitik seperti tidak tercapainya kesepakatan AS dan Korea Utara, hingga ketidakjelasan Brexit turut memengaruhi penguatan USD. Sementara itu, jelang pemilu serentak 2019, Rupiah mulai bangkit.

Pada 19 April, nilai tukar Rupiah terhadap USD berada di level 14.016. Namun sayangnya, euforia pilpres dan pemilu legislatif tak bertahan lama. Pada 22 Mei 2019 USD kembali mengamuk hingga menyeret Rupiah terjerembab ke level 14.525.

Pemicu utamanya, selain dibayangi oleh faktor global, banyak yang mengatakan, anjloknya nilai tukar mata uang Garuda lantaran terjadinya gejolak politik di dalam negeri. Saat itu, hasil hitung cepat sementara memenangkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Panasnya suhu politik membuat Rupiah demam. Terjadi aksi demonstrasi berkali-kali yang dilakukan oleh pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan hasil resmi Pemilu 2019.

Dolar Mulai Jinak, tapi Kadang Galak

Perang dagang AS-Tiongkok yang tak kunjung menemukan titik terang membuat USD loyo. Bahkan pada 15 Juli, Rupiah sempat cerah di posisi 13.885. Akan tetapi, hingga memasuki kuartal-III, gerak Rupiah bagai roller coaster.

Baca Juga:  Labersa Berikan Promo Holidays Nan Fitri

Pada 6 Agustus 2019, Rupiah kembali loyo ke level 14.350. Namun kemudian menguat lagi pada 13 September ke level 13.950.

Selain karena perang dagang AS-Tiongkok, kebijakan moneter BI juga turut mempengaruhi geliat Rupiah. BI memangkas suku bunga tiga bulan berturut-turut masing-masing 25 basis poin (bps).

Sementara itu, the Fed juga memangkas suku bunga sebanyak dua kali yakni pada Juli dan September, masing-masing 25 bps menjadi 1,75-2 persen. Melemahnya ekonomi AS membuat the Fed melonggarkan kebijakan moneternya.

Pada periode itu, ekonomi AS memang kurang begitu bagus. Bahkan AS diprediksi akan mengalami resesi setelah terjadi inversi yield obligasi (Treasury) AS.

Perang Dagang Masih jadi Misteri

Sepanjang Oktober 2019, Rupiah mengalami apresiasi sebesar 1,18 persen. Gubernur BI, Perry Warjiyo menyebutkan penguatan tersebut sejalan dengan kinerja Neraca Pembayaran Indonesia yang tetap baik.

Selain itu, ketidakpastian pasar keuangan global yang sedikit menurun turut memberikan sentimen positif terhadap Rupiah. Sentimen perang dagang antara AS dan Tiongkok masih menjadi misteri bagi para investor pasar uang.

Pada 3 Oktober 2019 rupiah berada di level 14.193. Kemudian pada 24 Oktober sempat menyentuh level 13.996.

Memasuki pengujung tahun, pada 4 Desember 2019, nilai tukar Rupiah berada pada posisi 14.125. Sementara itu, pada hari raya Natal 25 Desember kemarin, nilai tukar Rupiah kembali menguat ke posisi 13.978.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Perjalanan nilai tukar mata uang Rupiah (IDR) terhadap dolar Amerika Serikat (USD) sepanjang 2019 tak luput dari bayangan sentimen global. Namun, mata uang Garuda masih terbilang mampu bertahan dibandingkan mata uang negara berkembang lainnya.

Rupiah Perkasa pada Awal Tahun

- Advertisement -

Meskipun berada di atas level 14.000, Rupiah masih mampu bertahan dari kegoncangan global. Sepanjang Januari, aksi Rupiah tak begitu buruk dalam menghantam dolar Abang Sam (AS).

Ketika itu, Rupiah memanfaatkan momen pelemahan USD. Mata uang raksasa dunia itu sempat goyah dipicu pernyataan Ketua Federal Reserve Jerome Powell yang menyatakan akan fleksibel pada kenaikan suku bunga sekaligus mengindikasikan sikap ‘dovish’.

- Advertisement -

Tercatat, pada 8 Januari 2019 lalu, Rupiah berada di level 14.031. Namun, pergerakannya sangat fluktuatif, dan menyentuh level terburuk Januari, pada 22 Januari di level 14.221.

Keperkasaan rupiah berlanjut hingga Februari 2019. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatatkan sepanjang Januari hingga pertengahan Februari 2019. Bahkan, Rupiah sempat berada di level tertinggi pada 6 Februari diposisi 13.947.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, per 13 Februari 2019, Rupiah berada di level 14.027. Terjadi penguatan nilai tukar sebesar 2,68 persen dibandingkan awal 2018.

Menurutnya, faktor utama yang memengaruhi penguatan mata uang Garuda ini karena keputusan Bank Sentral AS, The Fed yang tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 2,25 persen-2,50 persen. Kendati demikian, dia memastikan pemerintah terus mewaspadai risiko-risiko global yang dapat memberikan tekanan pada Rupiah.

Baca Juga:  Daihatsu Berbagi Cara Merawat Kendaraan saat PPKM

“Risiko seperti kelanjutan perundingan dagang antara AS dan Tiongkok, serta perkembangan lebih lanjut terkait dengan Brexit,” ujarnya (13/2).

Pemilu Turut Warnai Gerak Rupiah

Sayangnya, penguatan Rupiah tak berlangsung lama. Pada 11 Maret 2019, Rupiah kembali terkapar melawan USD hingga lengser ke posisi 14.324. Saat itu, USD terus menguat lantaran positifnya data manufaktur di AS. serta kenaikan harga minyak dunia.

Faktor geopolitik seperti tidak tercapainya kesepakatan AS dan Korea Utara, hingga ketidakjelasan Brexit turut memengaruhi penguatan USD. Sementara itu, jelang pemilu serentak 2019, Rupiah mulai bangkit.

Pada 19 April, nilai tukar Rupiah terhadap USD berada di level 14.016. Namun sayangnya, euforia pilpres dan pemilu legislatif tak bertahan lama. Pada 22 Mei 2019 USD kembali mengamuk hingga menyeret Rupiah terjerembab ke level 14.525.

Pemicu utamanya, selain dibayangi oleh faktor global, banyak yang mengatakan, anjloknya nilai tukar mata uang Garuda lantaran terjadinya gejolak politik di dalam negeri. Saat itu, hasil hitung cepat sementara memenangkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Panasnya suhu politik membuat Rupiah demam. Terjadi aksi demonstrasi berkali-kali yang dilakukan oleh pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan hasil resmi Pemilu 2019.

Dolar Mulai Jinak, tapi Kadang Galak

Perang dagang AS-Tiongkok yang tak kunjung menemukan titik terang membuat USD loyo. Bahkan pada 15 Juli, Rupiah sempat cerah di posisi 13.885. Akan tetapi, hingga memasuki kuartal-III, gerak Rupiah bagai roller coaster.

Baca Juga:  Fastron Eco Green Rangkul Komunitas KCI dengan Jambore Se-Sumatera

Pada 6 Agustus 2019, Rupiah kembali loyo ke level 14.350. Namun kemudian menguat lagi pada 13 September ke level 13.950.

Selain karena perang dagang AS-Tiongkok, kebijakan moneter BI juga turut mempengaruhi geliat Rupiah. BI memangkas suku bunga tiga bulan berturut-turut masing-masing 25 basis poin (bps).

Sementara itu, the Fed juga memangkas suku bunga sebanyak dua kali yakni pada Juli dan September, masing-masing 25 bps menjadi 1,75-2 persen. Melemahnya ekonomi AS membuat the Fed melonggarkan kebijakan moneternya.

Pada periode itu, ekonomi AS memang kurang begitu bagus. Bahkan AS diprediksi akan mengalami resesi setelah terjadi inversi yield obligasi (Treasury) AS.

Perang Dagang Masih jadi Misteri

Sepanjang Oktober 2019, Rupiah mengalami apresiasi sebesar 1,18 persen. Gubernur BI, Perry Warjiyo menyebutkan penguatan tersebut sejalan dengan kinerja Neraca Pembayaran Indonesia yang tetap baik.

Selain itu, ketidakpastian pasar keuangan global yang sedikit menurun turut memberikan sentimen positif terhadap Rupiah. Sentimen perang dagang antara AS dan Tiongkok masih menjadi misteri bagi para investor pasar uang.

Pada 3 Oktober 2019 rupiah berada di level 14.193. Kemudian pada 24 Oktober sempat menyentuh level 13.996.

Memasuki pengujung tahun, pada 4 Desember 2019, nilai tukar Rupiah berada pada posisi 14.125. Sementara itu, pada hari raya Natal 25 Desember kemarin, nilai tukar Rupiah kembali menguat ke posisi 13.978.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari