JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Industri kelapa sawit masih memegang peran penting sebagai penopang ekonomi nasional. Namun, lima tahun terakhir, sektor ini menghadapi masalah serius: produksi crude palm oil (CPO) yang stagnan di kisaran 50 juta ton per tahun.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menyebut penyebab utamanya adalah program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang belum berjalan optimal. “Tanaman sawit seperti manusia, kalau sudah tua diberi pupuk atau input sebanyak apa pun tidak akan produktif. Harus diremajakan. Sayangnya, PSR belum pernah mencapai target,” ujar Eddy, Kamis (11/9).
Hambatan PSR datang dari persoalan legalitas lahan, status kawasan hutan, hingga keraguan petani menebang sawit karena takut kehilangan penghasilan. Padahal, produktivitas sawit yang diremajakan bisa naik hingga 2,5 kali lipat hanya dalam 4–5 tahun.
Di sisi lain, kewajiban mendukung program biodiesel juga menghadirkan dilema. Eddy menjelaskan, produksi nasional memang masih cukup untuk program B50. Namun jika ekspor dikurangi demi kebutuhan domestik, dana pungutan ekspor bisa menurun. “Dana ini bukan hanya untuk insentif biodiesel, tapi juga peremajaan sawit rakyat. Kalau dana berkurang, bisa muncul masalah baru, bahkan lingkaran setan,” tambahnya.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (Dirjen PEN) Kemendag, Fajarini Puntodewi, menegaskan bahwa sawit menjadi komoditas terbesar kedua penyumbang pertumbuhan ekonomi setelah batu bara. Indonesia juga tercatat sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan produksi 47 juta metrik ton, jauh di atas Malaysia yang 19 juta ton dan Thailand 3,45 juta ton.
“Sektor palm oil ini sangat penting. Saya pribadi menyebut palm oil sebagai mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia. Begitu pentingnya,” kata Punto.