JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Persebaran virus SARS-CoV-2 mempercepat digitalisasi, termasuk, pada sektor perbankan. Tanpa kemauan dan kemampuan bertransformasi, besar kemungkinan bank akan ditinggalkan nasabahnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, bank menutup kantor-kantor cabang karena digitalisasi. Itu menjadi momentum transformasi digital sekaligus efisiensi perbankan. "Tapi, bank jangan hanya cutting loss, juga harus inovasi,"kata Bhima saat dihubungi (JPG), Ahad (2/5).
Digitalisasi juga menjadi ancaman perbankan dalam mencari sumber dana. Cara untuk menyiasati ancaman itu adalah dengan merger dan akusisi. Karena itu, perlu adanya konsolidasi perbankan. Misalnya, merger beberapa bank berskala kecil atau akuisisi bank skala kecil oleh bank skala besar.
Itu supaya tercipta persaingan usaha yang lebih sehat pascapandemi nanti. "Kadang-kadang di situ sulit mencapai kesepakatan,"ucap Bhima tentang merger dan akuisisi. Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa berperan sebagai penengah atau mediator.
Sebelumnya, OJK melaporkan bahwa sekitar 5 ribu kantor bank tutup. Saat ini, pihaknya masih mengawasi 27.927 kantor dari 95 bank umum. "Penyebab tutupnya adalah nasabah memilih transaksi online, tidak mau datang langsung ke kantor,"papar Direktur Eksekutif Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto pada Sabtu (1/5).
Transaksi perbankan secara digital, menurut dia, terkerek naik sejak pandemi. "Meningkat hampir 400 persen tiap bulan,"imbuhnya.
Bagi bank-bank berskala kecil, go digital adalah tantangan besar. Dana untuk membangun infrastrukturnya juga tidak murah. Direktur Utama Bank Jateng Supriyatno mengakui hal tersebut. Menurut dia, bank pembangunan daerah (BPD) memiliki banyak kendala untuk bertransformasi digital. "Pembangunan lini nonbisnis dan koordinasi menjadi hal yang krusial," ungkapnya.
OJK dan asosiasi fintech bakal membangun fintech data center (FDC). Dengan demikian, mereka bisa mengawasi para debitur dalam mengakses pembiayaan fintech peer-to-peer lending. Termasuk, mengetahui kapasitas membayar debitur.
"Kalau layak tidak masalah. Tapi, yang sering itu tidak sesuai dengan kemampuannya. Besar pasak daripada tiang,"ujar Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta.(han/c13/hep/jpg)