PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Minimnya kaum perempuan yang menduduki jabatan tinggi, pada birokrasi sebagai pengambil keputusan dari pada laki-laki, menjadikan Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Sumatera menggelar pertemuan Femokrat Tingkat Provinsi Riau, di Hotel Grand Zuri, Jalan Teuku Umar, Pekanbaru, Kamis (22/8).
Direktur PPSW Sumatera, Endang Silviana mengatakan, perempuan memiliki kesempatan dan kompetensi yang sama dalam berkiprah di lingkup pemerintahan dan legeslatif. Meski demikian masih sedikit kaum perempuan yang menduduki berbagai posisi penting pada tatanan birokrasi dan pengambilan keputusan di Indonesia.
“Itulah mengapa dalam acara yang ditaja, kami mengundang para kaum hawa di berbagai OPD di Pekanbaru, Kampar maupun Rokan Hilir. Sehingga mereka yang hadir di sini bisa memberi tahu kepada kantor tempatnya bekerja tentang pentingnya responsif gender. Menjadikan permasalahan yang terjadi di lini mereka khusunya perempuan bisa teratasi,†sebutnya.
Ada faktor penghambat yang tak terlihat, untuk maju dibidang pemerintahan maupun legislatif. Seperti sistem pemerintahan yang masih mewarisi budaya organisasi maskulin, aspek budaya dan agama melahirkan ‘pelabelan tertentu’ pada pejabat perempuan dan pilihan personal perempuan. Di mana secara relatif hanya untuk memenuhi target kuantitas.
“Masyarakat yang berstatus perempuan harus turut serta dalam pengambilan keputusan, bahkan penyandang disabilitas sekalipun maupun orang awam,†imbuhnya.
Pengarusan utama gender merupakan salah satu strategi pembangunan, yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan dan laki-laki ke dalam perencanaan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan kegiatan di berbagai bidang kehidupan.
Dalam materi yang dipaparkan pun diselipkan perihal Sustainable Development Goals (SDGs) kelanjutan MNGs kepada para peserta OPD. Di mana terdapat 17 goals di antaranya pertama, tanpa kemiskinan atau menghapus kemiskinan. Tidak boleh ada negara di dunia yang miskin.
Kedua, tanpa kelaparan. Masyarakat diseluruh dunia tidak boleh ada yang kelaparan. Ketiga, kesehatan dan kesejahteraan. Tidak boleh ada orang sakit. Keempat, pendidikan berkualitas. Tidak boleh ada yang buta huruf.
Kelima, kesetaraan gender yang menjadi ruh. Keenam, sanitasi bersih. Sampai saat ini belum punya akses air bersih. Agar tidak ada gizi buruk.
Dari poin itu, menurutnya yang paling dekat dengan perempuan adalah satu sampai lima. Prinsip dasar SDGs yang tidak boleh ditinggalkan yaitu semua pihak harus dilibatkan seperti disabilitas dan suku terasing.
Sementara Staff Advokasi dan Jaringan Fitra Riau, Sartika Edi turut serta mengatakan bahwa seharusnya 30 persen pejabat publik adalah wanita. Namun kenyataannya anggota DPRD perempuan di Riau belum mencapai target. Data terakhir pun merosot dari 15 orang menjadi 12 orang.
“Sudahlah belum terpenuhi kuota yang 30 persen itu malah sekarang jumlah legislator menurun. Padahal seyogyanya angka 30 persen itu untuk menyerap aspirasi responsif gender,†sebutnya.
Dengan berkumpulnya para organisasi perangkat daerah (OPD) katanya, pemangku kebijakan harus bisa memaksimalkam program kerja yang berbasis perempuan dan gender.(*3)